Ada Apa Dengan Prana

1110 Kata
Aku dan Rangga akhirnya berjalan ke bawah, “Tan, hayok, aku gak bawa mobil nih, kita pesan taksi atau gimana?” aku menggeleng, “Kamu turun duluan, Ngga, di basement mobilku warna merah tua metalik, kayaknya gak ada mobil lain selain mobilku, deh. Jadi kamu turun duluan ke bawah, ambil mobilku, Ga. Ini kunci mobilnya, paling mobil paling ujung. Ada yang ketinggalan di meja, aku harus balik ke ruangan dulu sebentar.” Rangga menggangguk. Secepat yang aku bisa, aku berjalan setengah berlari, sih, sebenarnya aku kembali ke mejaku untuk mengambil beberapa barang dan mengambil kopi yang Prana buat tadi. Bagaimana pun, dia sudah berniat baik untuk membuatkanku kopi. Ketika semua barang yang aku butuhkan sudah aku masukan ke dalam tas, tidak lupa gelas kopi yang dibuatkan Prana juga aku bawa, aku berjalan ke luar, menuju lift untuk turun ke pintu masuk. Sambil jalan, aku celingak celinguk, mencari keberadaan Prana, entah lelaki itu entah di mana, ketika hampir sampai di depan pintu lift, rasa penasaran membuatku mengurungkan niat untuk segera turun, akhirnya aku berbelok dan insting menuntunku untuk menyusuri ruangan hingga menemukan dia sedang duduk sambil bermain game di ponselnya. Lampu ruangan sudah dimatikan sebagian menyisakan pencahayaan yang remang. Sedetik dua detik, aku ragu menyapanya, aku takut mengganggunya, aku yakin dia seperti ini karena kehadiran Rangga, tapi akhirnya aku putuskan untuk menyapanya, “Prana, tidak pulang?” tanyaku. Tidak ada jawaban, dia diam, Prana hanya melirik sekilas lalu menggeleng. Setelah memastikan Prana ada di tempat yang aman, well … emangnya dia mau kemana, aku berterima kasih atas kopi yang tadi dia buatkan untukku, “Jangan kelamaan sendiri di sini, nanti ada yang nemenin yang gak kasat mata, loh. By the way, makasih kopinya, ini aku minum, ya.” dia mengangkat kepalanya, lalu bilang, “Ngapain kopi itu dibawa, bukannya kamu bakal makan di tempat yang enak, kencan berdua sama teman lamamu itu, dan bisa mendapatkan minuman lain yang lebih enak. Dibuang aja kopinya, toh udah dingin juga. Kamu kan gak suka kalo minum kopi udah gak panas lagi.” Lalu dia tertawa, aku memperlihatkan wajah penuh tanda tanya, lalu karena penasaran dengan ucapannya, aku akhirnya bertanya, “Apa maksudnya, Prana?” dia menatapku lekat, membuatku jadi salah tingkah, dia meneruskan ucapannya, “Ah … sial, bahkan kopi kesukaanmu saja aku hapal, Tan. Tapi rupanya hal itu tidak ada gunanya, ya. Semua perhatian dan perlakuan istimewa yang aku tunjukkan kalah sama kehadiran cinta dari masa lalumu.” Benar dugaanku, Prana memang terganggu dengan kehadiran Rangga, tapi toh Rangga hanya teman saja, bukan siapa-siapa dan tidak ada hubungan istimewa denganku. Maka, daripada semua hal ini jadi tambah runyam, aku memilih diam tidak menanggapi ucapan Prana barusan, aku pamit untuk pulang duluan, “Prana, semua yang barusan kamu ucapkan itu salah, aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Rangga. Well … daripada kita jadi semakin gak jelas meributkan apa, aku lebih baik pulang. Aku turun duluan, Prana.” Prana tidak bereaksi apa-apa, dia hanya diam, dan kembali menekuri handphonenya, sama seperti ketika aku menemukannya di sini. Sepanjang perjalanan, aku merasakan hal yang aneh, perasaan yang tidak biasa. Kenapa aku jadi merasa bersalah, toh sebenarnya aku dan Prana tidak ada hubungan apa-apa, kalaupun aku dan Rangga ada hubungan yang melebihi hubungan pertemanan memang apa salahnya, di mana salahnya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah Prana merasakan hal yang sama seperti ini, ketika dia dan Banun pergi berdua saja, dan aku melihat itu, apakah Prana merasa bersalah karena membuat aku sedih? Ah … rasanya tidak, buktinya dia tidak melakukan apa pun, bahkan sekedar untuk memastikan apakah aku baik-baik saja atau tidak. Karena sudah berjanji kepada Rangga, bahwa hari ini aku akan menghabiskan waktu sama dia, sekedar ngobrol, maka aku kesampingkan dulu urusan hatiku untuk Prana ini, untuk apa aku menanggapi sesuatu yang becanda dengan perasaan yang serius, maka aku bergegas, untuk turun ke bawah, karena rencananya, kami berdua, aku dan Rangga akan makan dan mungkin saja nonton. Sudah lama tidak bertemu tentu saja ada banyak hal yang ingin kami utarakan, lihat nantilah, ke mana arah kaki ini akan membawa kami. Tapi entah mengapa suasananya berubah menjadi suram, sehingga kupercepat langkah demi meninggalkan kantor. Khawatir Magrib habis juga, rencananya akan kuajak Rangga buat salat di Masjid Al Hidayah di ujung perempatan jalan utama. Setelah sampai di pintu masuk kantor, aku mendengar suara orang memanggil namaku, suara yang cukup aku kenal, “Tania!” Langkahku terhenti tepat di ujung lorong ketika mendengar suara Prana memanggilku. Kutolehkan wajah untuk melihatnya, dia tersenyum dengan kerutan di keningnya, aku menjawab panggilannya, “Ya, Prana, kenapa?” jawabku. Seperti ada yang mau diutarakan olehnya tapi kemudia dia menggelengkan kepala, “Gak jadi, deh. Have fun, ya, kalian hati-hati aja di jalan.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Prana lantas berjalan mendekatiku, aku pikir ada sesuatu yang mau dia ucapkan atau dia berikan, tapi ternyata tidak, dia berjalan lurus dan melewati diriku. Lalu berbelok menuju parkiran. Ketika sedang memperhatikan sikap aneh Prana, bunyi klakson mobil mengejutkanku, saat aku melihat mobil sudah menunggu di depan. Rangga dengan senyumannya sudah siap untuk pergi. Dia bertanya, “Gak ajak Pak Prana sekalian, Tan?” aku menggeleng, “Gak, dia mau langsung pulang.” Lalu Rangga melajukan mobil keluar dari pekarangan kantor. Aku menatap Rangga di balik roda kemudi, mengandalikannya dengan lihai membawa kita berdua meninggalkan area pabrik. “Ngapain? Dari sini lurus dulu, Ga. Kita salat di Al Hidayah.” Rangga langsung tertawa mendengar ucapanku. Tatapannya menunjukkan bahwa dia mendengar sesuatu yang menarik. “Ih, malah ketawa.” Aku memprotesnya. Dia menimpali ucapanku dengan gaya khasnya, “Dari dulu kita memang sehati ya, Tan. Tadi aku juga mau ajak kamu salat dulu.” Kutanggapi selorohannya dengan senyum seraya mengingat-ngingat masa lalu, dan bilang, “Masa lalu hanya untuk dikenang, Ga.” Dia diam, tapi kemudian bilang ke aku, “Memangnya kenapa, kok hanya untuk dikenang, kalo bisa disambung dan disahkan, lebih baik, kan?” aku diam, tidak mau menanggapi ucapannya. Ketika sudah memasuki kawasan masjid, petugas parkir menyambut kami dan mengarahkan Rangga untuk parkir di tempat yang tersedia. Lalu kami turun dan berjalan masing-masing menuju sisi masjid yang berbeda. Setelah selesai berdoa, ketika mau melipat mukena, azan isya berkumandang, aku berpikir daripada nanti kami keluar dari sini malah ketinggalan salat lebih lama, aku mengirim pesan ke Rangga agar kami ikut jamaahan salat isya aja sekalian, “Ga, kita salat isya sekalian aja di sini, ya. Daripada nanti malah telat banget salat isyanya. Nanti tunggu di mobil aja kalo kamu udah selesai duluan, Ga, gimana?" Tanyaku ke Rangga, tidak berapa lama, handphoneku nerbunyi, aku lihat balasan pesan dari Rangga masuk, “Siap tuan puteri. Laksanakan.” Dan kami memutuskan untuk salat isya dulu baru setelahnya kami berdua jalan ke tempat makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN