POV Prana_Menggalau

1100 Kata
Belum selesai aku bicara, dia menatapku, dan menangis, ya Allah ... Tania kenapa menangis, sesedih itu, suara tangisannya menyayat hatiku, ingin sekali aku memeluknya, membiarkannya terisak dalam pelukanku, dan menumpahkan semua masalah juga kesedihannya. Keinginanku untuk melindungi dia semakin besar. Pak Dirman tiba, dia membawa segelas air putih dan kotak P3K, aku memang meminta beliau untuk membawanya sebelum menghampiri Tania tadi. "Aku takut, sungguh ... Aku takut ...'' Klimatnya menggantung, seraya menyusut air mata dan terus menekan darah yang gak mau berhenti. Aku ingin berkata padanya, kita ke rumah sakit aja, karena sepertinya lukanya dalam, tapi ... ''Dia datang, tadi pagi. Mengajakku rujuk, dia minta maaf. Aku gak bisa, aku gak mau menerimanya kembali, tapi dia menarik tanganku, memaksaku untuk dipeluknya, aku melawan, dia terus memaksa, dan tiba-tiba dia mengeluarkan pisau, mengancamku. Dia mencegatku di jalan sepi, tepat sekitar jarak seratus meter dari rumahku, aku takut ...'' Akuu tercengang, aku mendekatinya, dia runtuh juga. Ini yang aku takutkan, aku menenangkannya, dengan menyodorkan air minum yang dibawa Pak Dirman. ''Besok, sampai seterusnya, aku akan mengantar jemputmu. aku akan menemanimu. Maaf, kami pria-pria ini lebih suka memakai otot alih-alih membicarakan hal seperti ini baik-baik. Maafkan karena aku tidak ada di sampingmu dan melindungimu. Tapi aku janji akan selalu menjagamu mulai detik ini, tenang, ya.'' Dia masih terisak, aku mengambil tangannya, aku melihat ada goresan yang cukup dalam di sana, Allah ... maafkan aku, harus memegang tangan ini, aku tau dia bukan mahramku, tapi semoga Engkau menilai ini keadaan mendesak, lalu mulai membasuh tangan Tania sambil terus beristighfar dalam hati. Pak Dirman mencoba membantuku sebisanya, meski lelaki tua ini terlihat pucat dan gemetaran. Setelah selesai aku bersihkan, aku beri obat merah, lalu menutupnya dengan perban yang kemudian direkatkan dengan plester. Tania sudah cukup tenang, dia sudah tidak menangis lagi, tapi wajahnya masih menampakkan kekhawatiran, sungguh, Allah ... ini menyiksaku, aku harus bagaimana? “Mbak Tania kenapa?” tanya Banun yang baru saja tiba. Dia mengernyit jijik melihat tetesan darah di lantai yang sedang dibersihkan oleh Pak Dirman. “Gak apa-apa, Nun. Saya ceroboh tadi,” jawab Tania. Banun hanya mengangguk-angguk lantas raut wajahnya seketika berubah saat melihatku, lantas dia menyerahkan sebuah paper Bag. “Aku tadi masak ini, Pak. Lumayan buat makan siang,” ucapnya. Aku menerima pemberiannnya, akhir-akhir ini Banun sering sekali memberikan makanan untukku. * Jam kerja telah usai, aku sudah siap untuk mengantarkan Tania pulang. Mobil berwarna putih milik Ayah yang selalu aku bawa setiap hari sudah siap untuk mengantarkan perempuan itu hingga aman dari ancaman mantan suaminya. “Siap, Tan?” tanyaku kala Tania keluar kantor diikuti oleh Yani dan Banun. “Siap apa, Pak?” tanya Tania kebingungan. Yani dan Banun lantas pamit mendahului Tania. “Aku sudah janji mau nganterin kamu pulang, ingat janjiku tadi pagi?” dia terlihat ragu, “Ehm ... Iya, sih, tapi aku bawa mobil, Prana. Terima kasih, ya, atas tawarannya. Tapi maaf, biar aku pulang sendiri aja, gak apa-apa. Tadi aku hanya benar-benar kalut, sekarang, insyaallah aku sudah baik-baik saja.” Lalu dia berjalan di depanku. Terkadang aku bingung menghadapi Tania, tadi dia baik-baik saja dan mau mengutarakan kegelisahannya, sekarang dia acuh dan terkesan menjaga jarak. Sangat membingungkan. Tapi kemudian tiba-tiba langkahnya terhenti, dia memutar wajahnya ke arahku, “Kalau mau, Prana anterin Banun saja, dia gak bawa motor. Lagi pula kalian selama ini dekat, kan? Maksudnya biar PDKT alias saling mengenalnya lebih dalem, gitu. Dan, tadi Pak Prana juga nerima bekal dari Banun, kan? Aku lihat, loh, kamu lahap banget makan bekal dari dia,” tukas Tania lantas pergi meninggalkanku sendirian. Tania berjalan lurus, tanpa menoleh lagi, meninggalkanku yang terkesiap karena ucapannya. Mungkinkah dia tidak menyukai kala aku menerima pemberian Banun? Itu kan Rezeki, mana boleh ditolak. Aku mengusap wajah gusar, benar-benar frustasi menghadapi perempuan yang satu ini. Hilang akal, aku masih belum paham arah hati Tania. Sekali waktu dia acuh, kali lain dia seperti tidak suka padaku. Tapi kadang dia ngambek dan tidak suka jika aku berbincang dengan perempuan, bahkan menerima pemberian Banun. Saat mobil Tania sudah tidak kelihatan di parkiran sempat terbersit di pikiranku untuk mengikutinya sekadar melindungi dia dari mantan suaminya. Sayangnya terlalu beresiko, bisa-bisa Tania marah karena aku menguntitnya. Aku perlu bantuan seseorang agar bisa berpikir jernih, aku tidak bisa menghadapi ini sendirian. "Assalamualaikum, Cak, ada di rumah? Aku perlu ngobrol," ucapku dalam sambungan telepon. "Waalaikumsalam. Wah ... Ada kabar apa nih, sama bujang tampan kita yang satu ini?" Tawa Cak Anwar seperti meledekku di seberang sana. "Ya sudah, daripada menggalau kelamaan gitu, mampirlah ke sini, aku tau, anak muda, kau sedang jatuh cinta. Tapi kudengar dari suaramu, sepertinya hubunganmu tidak berjalan lancar, ya. Kenapa dengan wanitamu? Sulit ditaklukan? ahahahaa ... Jangan lupa mampir di tukang martabak depan gang." Dia memang selalu begini, tanpa cerita pun, pasti tau, apa yang sedang aku alami, selalu tau, bahkan. Aku pernah sekali waktu bertanya serius kepadanya, apa dia peramal, "Kok bisa, sih, Cak, kamu tau semua masalah orang, terutama masalahku, kamu peramal, ya, Cak?" Dan lagi-lagi, dia hanya tertawa, tawa khasnya yang membuat seketika kelam berubah menjadi lebih cerah. "Aku bukan peramal, aku hanya manusia yang dikasih Tuhan kelebihan untuk mengetahui masalah seseorang dari getaran suaranya." Cak Anwar ini, adalah pria yang aku kenal sejak aku kuliah hingga saat ini, sering ngobrol, nyambung, akhirnya jadi sahabat. Akhirnya, aku mengemudikan mobil menuju tempat di mana Cak Anwar menungguku. Sebelum sampai ke rumahnya, aku sempatkan mampir ke tempat martabak kesukaan Cak Anwar. Dia menganggap semua masalah enteng dan dibawa bercanda, tapi tidak dengan martabak ini, "Meskipun aku ngomongnya sambil ketawa, terdengar bercanda, tapi aku serius kalo udah ngomongin soal martabak ini. Masalah yang lain, mah, gampang dah, urusannya." Setelah urusan martabak selesai, aku kembali melajukan mobilku menuju rumah Cak Anwar. Sesampainya di sana, dia menyambutku, dengan senyuman cerianya, "Martabak, bawa?" Aku mengangguk, dan mengangsurkan martabak dari tanganku berpindah ke tangannya. "Jadi, apa cerita?" Tanya Cak Anwar, sambil nyomot martabak yang kubawa, lalu kuceritakan semua perihal hati ini pada lelaki tua itu, ketika pertama kali bertemu aku bertemu Tania, bagaimana perilakunya, gerak geriknya, sampai makanan, dan takaran kopi kesukaannya, hingga kejadian tadi, saat Tania menolak bantuanku untuk mengantarnya pulang, "Padahal, Cak, aku hanya ingin memastikan dia aman." Cak Anwar berdehem dan menyahuti ceritaku, "Wanita memang tidak pernah mudah ditebak, pintar-pintar bagaimana kau memulainya. Mereka bisa jadi pelangi setelah hujan, tapi bisa juga jadi tornado yang siap menghancurkan, dan memporak-porandakan kehidupanmu, hatimu, isi kepalamu, ketika kau salah memperlakukannya." Begitu tanggapan Cak Anwar usai aku bercerita. Aku terdiam meresapi semua perkataan Cak Anwar, dan bertanya lagi, "Jadi, aku harus gimana, Cak? Aku sudah mencoba meyakinkannya, sesekali mengajaknya makan, memberi perhatian, tapi ..." Cak Anwar tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN