Meeting yang Bikin Pusing

1055 Kata
Aku berusaha untuk menjejakkan kaki ke bumi, karena mata ini benar-benar gak bisa diajak kompromi, ketika hampir mencapai ruang meeting, belum sampai di ruangan meeting, sayup terdengar suara-suara orang sedang berbincang. Terdengar obrolan Pak Anhar, Prana dan Bu Aryani sudah terdengar. Mendengar suara Prana, entah kenapa aku jadi deg-degan dan tidak dapat aku sembunyikan debaran dalam d**a. Aku tidak siap bersemuka dengan Prana, karena mengingat kejadian kemarin ketika kami bertemu di swalayan, dan panggilan Prana yang sejak tadi malam tidak aku hiraukan. Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, aku akhirnya masuk ke dalam ruangan, “Assalamualaikum,” salamku yang kemudian diikuti dengan jawaban serempak. “Masuk Bu Tania, silakan duduk.” Pak Anhar mempersilakan aku untuk duduk, dan naasnya, kursi yang tersisa dan kosong hanya ada satu dan itu berada di seberang, berhadap-hadapan dengan kursi tempat Prana duduk. Jadi mau tidak mau aku duduk di situ, aku berusaha bersikap biasa saja, meski sebenarnya jantungku berdetak tidak karuan kala melihat Prana menatapku. Ada rasa tidak suka yang jelas tergambar dalam raut wajahnya, seperti marah atau kesal atau apa, entah bagaimana mengartikan tatapannya itu. Setelah aku duduk tepat di depan lelaki itu, dia sengaja menggeser kursi hingga tercipta jarak yang lumayan, terlihat sekali dia enggan dekat denganku. Aku yang memahami keadaan ini mencoba untuk duduk dengan posisi agak menyender ke belakang, agar tidak terlalu dekat dengan Abizar. “Baik, maaf Bu Tania ini dadakan sekali. Pak Airlangga sedang dalam perjalanan dan kemungkinan sekitar jam makan siang beliau sudah sampai di Bandung. Untuk itu mari kita bahas sekilas tentang proyek kerja sama ini.” Pak Anhar membuka percakapan dalam meeting kali ini, aku hanya mengangguk, dan masih berusaha fokus. Tidak berapa lama Pak Dirman, OB kantor datang membawakan beberapa gelas minuman dan kudapan untuk menemani kami meeting. Ketika akan memberikan gelasku yang berisi kopi, gelas itu diambil sama Prana, Pak Dirman yang bingung, hanya mengangguk. Aku yang sudah sejak tadi menunggu kopi itu, untuk membuatku tetap melek sepanjang menyimak meeting ini harus menahan geram, “Prana, sstt … hei.” Aku mencoba memanggilnya, karena beberapa kali dia seolah tidak mendengarku, padahal aku tau banget, dia bisa mendengar panggilanku, akhirnya aku melemparkan pena ke arahnya, “Itu kopi itu punyaku.” Sambil menunjuk ke arah Prana dan aku mencoba bicara sepelan mungkin ke Prana, dia menggeleng, dan bicara tanpa suara, “Gak boleh, kamu belom sarapan.” Aku melongo, ini orang apa-apaan, sih, dia gak tau apa, buatku sekarang udah gak penting lagi sarapan, yang penting adalah kopi itu, kopi yang ada di tangannya sekarang, toh kopi itu juga gak dia minum, daripada mubazir kan lebih baik dikasih ke aku. Tapi karena Pak Anhar serius menjelaskan tentang materi meeting kali ini, jadi aku memilih untuk diam. Sepanjang penjelasan atasanku, Pak Anhar, yang kali ini berkemeja biru, kuamati reaksi orang-orang yang terlibat dalam pertemuan dadakan ini. Bu Aryani misalnya, kepala produksi itu beberapa kali manggut-manggut dan sesekali mencoret-coret kertas di depannya. Satu-satunya orang yang tidak berani aku lihat lagi adalah Prana, selain karena dia tepat berada di depanku, peristiwa kemarin rasanya membuat anak muda ini sedikit geram. Terbukti dari coretan-coretan kasar tanpa makna di kertasnya. “Sampai di sini bisa dimengerti, kan?” tanya Pak Anhar. “Mengerti, Pak.” Serempak semua orang menjawab, beberapa di antaranya terlihat membereskan alat tulis, sudah dapat memperkirakan kalau meeting akan segera disudahi. Sebagai penutup pertemuan, lelaki berusia sekitar lima puluhan ini menentukan pilihan. Beliau memilih orang yang akan dikirim untuk bertemu Pak Airlangga di hotel tempat dia menginap, “Karena project ini memang khusus untuk meningkatkan penjualan dan saya gak bisa menangani langsung, maka saya akan menunjuk dua orang PIC yang akan bertanggung jawab akan goal atau tidaknya project ini dan yang akan memberikan laporan ke saya tentang sudah sejauh mana progress perkembangan project ini, maka untuk bertemu dengan Pak Airlangga hari ini dan selanjutnya Pak Prana dan Bu Tania akan saya serahkan tanggung jawab ini.” Duh, kenapa sih, ada namaku disebut, kenapa haru aku dan Prana adalah yang terpilih, kulihat lelaki yang duduk di sebelahku tersenyum licik, wajah lelaki itu seperti puas mendengar apa yang diutarakan Pak Anhar barusan, wajahnya seperti orang yang mau balas dendam. Kuembuskan napas karena enggan, tetapi rasanya penolakan adalah sesuatu yang sia-sia, tapi tidak salah juga, kan kalo dicoba, maka aku memberanikan diri untuk ngomong ke Pak Anhar, “Pak, laporan penjualan harian belum saya kerjakan, bagaimana? Apa baiknya pilih orang lain gitu, yang bisa fokus mengerjakan project ini?” tanyaku, berharap bapak atasanku yang terhormat mengurungkan niat untuk mengirimku ketemu klien. Nihil, dia malah menggelengkan kepala dengan tegas, “No. Tidak bisa Tania, project ini nilainya terlalu besar dan saya perlu skill negosiasi kamu yang tidak dimiliki karyawan lain. Akan ada uang lembur dan uang makan juga transport dinas luar kok, kalo kamu ada di project ini.” Aku menarik napas pelan, “Pak Andri mau bantu, jadi, serahkan laporan yang belum selesai ke Pak Andri, lagipula masih ada waktu, kamu bisa jelaskan bagian mana saja yang harus dikerjakan sama Pak Andri, lalu satu jam lagi silakan berangkat, pakai mobil kantor dan minta sopir antar,” tegas Pak Anhar. Belum sempat aku menjawab, Prana terlebih dahulu menyela. “Sepertinya tidak perlu pakai sopir, Pak. Saya bisa gantian nyetir sama Bu Tania. Ya, kan, Bu?” tidak, sama sekali aku tidak diberikan kesempatan untuk menolak atau beradu argument atau menyangkal, kedua lelaki di depanku ini menunjukkan superioritasnya, “Atur saja gimana baiknya. Sampai di sini meeting kita. Semoga sukses, jangan bikin bos besar kecewa.” Ucapan pamungkas dari Pak Anhar menutup meeting barusan. Jadi, daripada bakal menambah panjang urusan dan menambah sakit kepalaku, aku hanya mengangguk, nurut, dan ikut saja. Ketika semua sudah keluar dari ruangan meeting ini, aku adalah orang terakhir yang tinggal di ruangan ini, karena harus mencatat beberapa poin penting yang tadi disampaikan Pak Anhar, daripada nanti lupa dan jadinya konyol, ketika ketemu klien ada informasi penting yang terlewat. Ketika sedang fokus menulis, aku dikejutkan oleh sebuah suara, “Nekat banget, pagi-pagi, perut kosong minum kopi sekental ini, kamu mau sakit, Tania?” aku terkejut dan memekik tertahan, “Apaan sih, bikin kaget aja.” aku kira sudah tidak ada orang lagi di sini, dia bergeming, “Kenapa teleponku semalam tidak kamu angkat, kenapa kemarin ketika aku panggil, di swalayan tidak kamu balas, kamu malah kabur, seolah sedang melihat hantu, jawab Tania.” Aku hanya diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN