Bertamu Pertama Kali

1400 Kata
Setelah mengantongi izin Bapak dan Ibu untuk berhubungan ke jenjang yang lebih serius dengan Abizar, hari ini, sepulang kerja, Abizar berjanji akan membawaku ke rumahnya dan mengenalkanku dengan keluarga besarnya, “Jam setengah lima aku tunggu di gerbang depan, ya. Jangan terlambat, Kak Puspa udah masak makanan yang enak. Aku bilang kamu suka sop ayam sama perkedel kentang daging. Dia udah masakin itu.” Aku mengangguk, dengan penuh antusias, akhirnya aku bisa berkenalan dengan keluarga Abizar, “Siap, kapten. Aku bakal ontime, biar bisa sampe ke rumahmu juga gak telat. Jangan kangen aku, ya.” aku mengecup bibir Abizar, sekilar. Sepertinya Abizar tidak siap menerima itu, dia justru menangkap tanganku, dan mengulangi kecupan manisnya kemari, beberapa menit kami dalam posisi tersebut, untung di parkiran ini mobilnya tidak terlalu ramai yang datang. “Harusnya tuh, gini, kalo mau merasakan manisnya kemarin, harus di sini.” Dia menunjuk bibirku, aku menunduk, malu sebenarnya. Jadi cewe kok beranian, tapi, manisnya ulah Abizar kemarin, membuatku ketagihan, dan jujur membuatku setengah kehilangan akal sehatku. Setelahnya, aku bergegas turun dari mobil, sebelumnya Abizar bilang, “Kerjanya yang fokus, ya. Jangan mikirin yang barusan terus, loh.” Kerlingan matanya, ya ampun, dia berhasil membuat hatiku gak karuan. Setelah turun, rasanya jalan dari parkiran menuju ruangan, yang biasanya aku tempuh dengan murung, membayangkan lelah dan bosannya menghadapi berkas-berkas, justru sekarang itu semua membuatku tersenyum, “Aku yakin, dia, Abizar, memang orang yang tepat untuk mendampingiku dan menjadi suamiku. Manis sikapnya itu …” membuatku membayangkan kejadian kemarin dan barusan, dan sukses membuat senyumku mengembang, sepanjang hari. Setelah menyelesaikan pekerjaanku, sekitar jam empat lebih dua puluh menit aku sudah izin ke kepala ruangan, bahwa aku akan pulang jam setengah lima teng, “Bu Rina, hari ini aku pulang jam setengah lima, teng-teng, ya. Ada janji, Bu.” Kenapa aku bilang begitu, walaupun sebenarnya jam setengah lima memang sudah jadwalnya pulang, kadang tuh, ada aja, yang harus dikerjain, padahal udah jamnya pulang, bahkan sampe lembur segala, dan gak ada uang lembur sama sekali, atau minimal ada uang makan, deh, buat lembur, gak ada juga. Kerja di sini tuh, hanya dapet gaji, tok. Dapet uang seseran kalo bos minta tolong mengerjakan sesuatu, kalo gak, ya, itu, hanya gaji saja, itupun tidak sesuai dengan yang aku kerjakan. Jangan tanya kenapa aku gak protes, kalo protes tuh pilihannya dua, mau tetap dengan keadaan seperti ini dan gaji segini atau jika dirasa tidak cocok lagi dengan gaji dan pekerjaan di situ, ya, resign. Pilihan yang sangat ajaib, bukannya menyelesaikan masalah, justru bikin masalah baru kalo resign. Dan rencana menikah dengan Abizar ini, aku sambut dengan bahagia, karena, kalo pendapatan dan gaji Abizar sudah mapan dan pasti, akum au resign saja, aku mau jadi ibu rumah tangga aja. Aku gak perduli orang-orang mau ngomong apa tentangku. Teman-teman kerjaku, banyak yang menyayangkan rencanaku ini, “Jangan resign, Tan. Cari kerjaan susah, lagian, kamu gak akan bebas kalo ngandelin dan ngarepin gaji suami doank.” Begitu Risa ngomong, disambut dengan teman kerja lainnya, “Senang mau nikah, boleh, tapi kehidupan setelah pernikahan juga penuh tantangan, Tania. Cinta-cintaan dan romantis itu kalo ada uang belanja cukup, bensi mobil ada, mau jajan bisa. Percayalah sama emak anak dua ini, ketika bangun pagi dan tidak ada beras, tidak ada uang belanjan, gak bakal romantis lagi.” Mbak Yesta menimpali. Aku menerima masukan mereka, yang bisa masuk di otakku, kalo gak bisa aku terima, ya, aku abaikan. Aku kebanyakan ngelamun, nih. Setelah keluar di gerbang aku menunggu Abizar di halte, bus. Dan ternyata dia sudah berhenti di depan dan membunyikan klakson mobil, karena aku melamun, menerawang jauh ke belakang tadi, aku jadi tidak mendengar. Dan rupanya dia turun dari mobilnya, lalu menggandeng tanganku, “Hei, ngelamun aja. Hayok, Tan.” Aku kaget, kehadiran Abizar yang tiba-tiba. “Eh, darimana, kok aku gak liat kamu?” dia nunjuk mobilnya yang berhenti tepat di depanku, “Itu, aku dari tadi bunyiin klakson, tapi kamu gak respon, sepertinya akibat yang manis-manis tadi pagi di parkiran masih terbayang, ya? mau lagi? Tenang, nanti aku kasih yang lebih.” Aku tersipu, kenapa bisa begini deg-degan sih, hatiku, hanya karena digombalin begini sama lelaki. Padahal, aku bukan tipe orang yang suka banget digombalin gini, bukan tipeku nih, suka digombalin, tapi Abizar ini pintar banget bermain kata-kata, apa yang diucapkan olehnya, mungkin kalo diucapkan orang lain bakal terdengar murahan, tapi tidak ketika diucapkan Abizar, kata-kata yang murahan itu berubah menjadi kata-kata romantis yang manis, semanis kecupannya kemarin. Setelah kami masuk ke dalam mobil, Abizar tidak melepaskan genggaman tangannya, tangan sebelah kiri menggenggam tanganku, tangan sebelah kanannya memegang stir. Aku agak khawatir dengan kelakuannya, “Bi, nyetir dulu ih. Yang fokus, nanti nabrak, loh.” Dia tertawa, “Gak, aku gak akan melepaskan genggaman tangan ini, nanti kalo aku lepas, kamu kabur atau kamu diculik, dibawa kabur orang, terus aku kehilangan kamu, jadi sedih, ooo … tidak bisa.” Begitu ucapnya, dan kami tertawa, indah banget perjalanan percintaanku ini. Aku tidak pernah membayangkan, bisa jatuh ke dalam pelukan seseorang yang baru sebulan lalu aku kenal dan memutuskan untuk serius berhubungan dengannya. Tidak sedikit, lelaki sebelum Abizar yang mencoba dekat denganku, selalu aku tolak, dengan alasan aku belum siap untuk menikah. Tapi, Abizar berhasil membujukku, merayuku, dan meyakinkanku. Sekitar lima belas menit kami berkendara menuju rumah Abizar, ada minimarket di depan, sekitar lima puluh meter lagi, aku meminta Abizar untuk berhenti di situ, “Bi, berhenti di minimarket depan, ya. Mau beli sekedar buah tangan, untuk Ibu. Masa iya, aku bertamu dengan tangan kosong.” Tadinya Abizar bilang, gak usah, “Gak usah, deh, Tan. Ibu juga gak akan suka makan yang begituan, Ibu lebih suka pisang goreng, mantang goreng, ketibang jajanan minimarket gitu.” Aku bersikukuh, “Ya, nanti kita mampir juga beli pisang kesukaan Ibu. Ini jajanan untuk ponakan-ponakanmu, kan, bisa. Biar mereka seneng juga, Bi.” Akhirnya Abizar mengalah, dia memasukkan mobil ke area parkiran minimarket, “Aku tunggu di sini aja, ya. Biar gak lama.” Aku mengangguk, aku turun, dan memilih beberapa jajanan, roti, tiga kaleng s**u, gula, kopi, apa saja, deh, yang menurutku berguna. Setelah selesai membayar di kasir, aku membawa dua plasik besar, di kanan dan kiriku, “Banyak banget, Tan. Sayang uangnya,” begitu reaksi Abizar. Aku mengangguk, “Gak ada yang mubazir kalo makanan, mah. Pasti abis.” Lalu Abizar mengangguk, “Okedeh, tuan puteri. Aku ikut aja.” Dan kami meneruskan perjalanan menuju rumah Abizar. Sekitar lima belas menit kemudian, kami sampai ke rumah Abizar. Aku melihat keponakan lelakinya di depan, sedang kumpul-kumpul dengan teman-temannya, asap rokok ngepul ke mana-mana. Aku siap-siap pake masker, “Tan, kenapa pake masker? Nanti Kak Puspa tersinggung, dikira rumahnya bau.” Aku memberikan alasan, “Aku gak tahan sama asep rokok, Bi. Gak apa-apa, ya.” Abizar diam, tidak menjawab iya atau tidak. Akhirnya aku mengalah, aku buka masker tersebut, “Okelah, kita turun sekarang.” Melihatku sudah melepaskan masker, Abizar turun dari mobil, dan mendahuluiku masuk ke dalam rumah, tanpa menungguku. Ketika aku sudah turun, dan membawa dua plastik besar belanjaan tadi, keponakan lelakinya menegurku, “Wah, calon tante nih. Bawa apa, Tan?” langsung merebut bungkusan yang aku bawa, aku sedikit terkejut, tapi, ya, sudahlah, toh ini memang aku belikan untuk mereka. Ketika sampai di pintu masuk, aku mengucap salam, dan di ruang tamu itu, sudah duduk Abizar, bersebelahan dengan Kak Puspa, juga ada Ibu, dan suami Kak Puspa, “Masuk, Tan. Jangan sungkan.” Sambut Kak Puspa ramah. Aku mengangsurkan bawaanku, yang sisa satu plastik, “Ini, Mbak, ada sedikit jajanan, buat anak-anak.” Lalu disambut dengan celoteh Kak Puspa, “Wah, repot-repot, Tan. Kok dikit banget?” aku tertawa, aku kira dia bercanda, “Loh, iya. Mantan calon istri Abizar yang sebelum kamu, pertama kali ke sini, bawa kue basah dua Loyang, bawa kue kering lima setopeles, belum lagi sirop lima botol, terus jajanan anak-anak lima plastik besar.” Aku terdiam seketika. Bingung menanggapi, sementara Abizar hanya diam, tidak membelaku. Demi menyelematkan keadaan, aku berseloroh, “Nanti kalo ke sini lagi, aku bawa yang lebih banyak, Kak.” Senyumku canggung. Lalu melihat Kak Puspa masuk ke dalam, dan suaminya lah yang mempersilahkanku duduk, “Duduk, Tan, jangan malu-malu. Calon istrimu cantik juga, Abi. subur lagi, badannya. Siap-siap kamu kewalahan nih, malam pertama.” Seloroh Abang Ipar Abizar. Sebenarnya aku terkejut mendengar ucapan tersebut, tapi aku juga bingung bersikap, dan akhirnya mengangguk lalu memilih untuk langsung duduk dan tidak bereaksi apa-apa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN