Pindah Divisi

1330 Kata
“Clear, ya, Pak. Sekarang giliran aku yang menyampaikan evaluasi dan laporan kerja Banun dan Yani. Ini catatan absensi, baik masuk yang terlambat, pulang yang tidak sesuai jam pulang, lebih cepat atau lembur. Yang saya tandai pake stabilo merah itu berarti terlambat, yang saya warnai stabile hijau itu pulang cepat, yang warna orange itu izin, lalu yang biru absensi tidak masuk tanpa keterangan, warna hitam hadir di kantor, dan yang ungu adalah tidak masuk karena sakit. Di bawahnya sudah saya rekap. Sejak sembilan bulan lalu Banun masuk ke kantor ini dan satu tahun lalu Yani bergabung di divisi saya. Bapak bisa lihat, total setiap bulan tidak hadir Banun ada lima hari, lalu terlambat ada sepuluh hari, dan yang pulang cepat lima hari.” Aku menunjukkan semua data tersebut, Pak Anhar terlihat sedang mencocokkan rekap yang aku tulis dengan hasil print absensi dari mesin finger di depan kantor, “Wah, Banun termasuk sering terlambat datang, ya.” aku diam, tidak bereaksi apa-apa, tapi dalam hati aku bersorak, jangan macam-macam sama aku. Setelah Pak Anhar melihat absensi tadi, aku kemudian menyodorkan laporan pekerjaan yang dilakukan Banun, “Ini, laporan pekerjaan yang dilakukan Banun. Bulan pertama, dia melakukan kesalahan dalam penghitungan sisa stok dari store yang di Jogja. Saya kasih waktu dua hari untuk diperbaiki, dia baru menyelesaikan lima hari kemudian, saya menganggap ini wajar, karena dia masih belajar. Di minggu kedua saya minta dia untuk menghitung neraca rugi laba dari store yang ada di Bandung, terlihat di situ ada tiga lembar coretan yang dilakukannya, dan waktu yang dikerjakan untuk memperbaikinya tiga hari.” Dan aku memberikan semua data dan lembar pekerjaan Banun yang aku kumpulkan sejak pertama Banun bekerja di sini dan ditugaskan untuk menjadi timku. Banun menunduk saja dari tadi, sementara Yani, duduk tidak bergerak sama sekali di sebelahnya. Cukup lama Pak Anhar mengecek semua data yang aku serahkan, terus menanyakan beberapa hal. Semua aku ungkapkan di sini, aku sudah muak menutupi semua kekurangan pekerjaan mereka, kalopun aku yang harus resign atau dipecat karena dianggap tidak sanggup membawahi pekerjaan keuangan dengan sangat senang hati akan aku lakukan. Setelah selesai akhirnya Pak Anhar buka suara, bicara ke Yani dan Banun, “Baik, setelah saya melihat bukti-bukti ini, yang terjadi hari ini adalah murni kesalahan Banun. Bukan, saya bukan membela Bu Tania, tapi secara kronologi kejadian, dan ada Yani juga di sini sebagai saksi, dan dengan laporan yang baru saja saya terima, saya akan mengeluarkan SP satu untuk kamu, Nun. Kalo dilihat dari absensi saja ini seharusnya kamu sudah di SP 3 sama Bu Tania, tapi karena dia masih melindungimu, dia memilih untuk diam dan mencoba untuk menutupi kekuranganmu.” Banun menengok ke arahku, mungkin meminta bantuan, aku tidak merespon sama sekali, justru meminta Pak Anhar untuk memindahkan dia ke divisi lain, “Satu lagi, Pak. Saya sudah tidak nyaman bekerja sama dengan Banun, jadi saya minta dia dipindah ke divisi lain saja, terserah Bapak ke mana, tapi mulai besok saya tidak mau menerima dia di divisi saya. Tolong dipertimbangkan, Pak. Demi kelangsungan suasana kerja yang nyaman dan baik.” Pak Anhar mengangguk, “Setelah ini saya akan ke HRD untuk mendiskusikan masalah ini, kamu selesaikan semua urusanmu di divisi finance, ya. Besok pagi tunggu di kantor saya untuk kabar selanjutnya.” Banun hanya mengangguk pelan. Aku permisi ke Pak Anhar untuk kembali ke ruangan diikuti Yani dan Banun. Aku duduk di depan laptop lalu menyalakan komputerku, tidak berapa lama, suara azan zuhur berkumandang. Yani bangun dan izin ke masjid, “Aku ke masjid, Mbak, sekalian makan siang.” Nada bicaranya formal banget, “Tegang amat nada bicaramu, Yan. Santai aja lagi, aku gak pernah mau mengusik urusan kalian, tapi jangan becanda sama kerjaan. Silakan saja salat, makan siang seperti biasa.” Lalu aku beranjak ke toilet, aku berencana akan delivery food aja siang ini dan salat di ruanganku. Setelah selesai salat, aku kembali duduk dan memesan curry udon lengkap dengan gorengannya dan nori crispy. Tidak berapa lama, Prana datang, “Banun dipindah dari divisi kamu, Tan?” aku menenglengkan kepala melihat ke arah Prana, “Buset. Gosipnya cepet amat tersebar. Tenang, dia hanya dapet SP satu dan dipindah divisi, bukan diputus kontraknya. Atau mungkin kamu mau dia ada di divisimu? Nanti aku coba rekomendasikan ke Pak Anhar, gimana?” tanyaku pada Prana. Aku melihatnya menggelengkan kepala, “Bukan itu masalahnya, Tan. Kamu gak tau cerita hidupnya gimana, aku hanya khawatir kalo dia di divisi lain, gak bisa ketemu koordinator yang seperti kamu, teman seperti Yani, yang bisa back up dia, Banun akan dipecat.” Aku tersenyum sinis, “Harusnya, kalo dia sadar posisinya seperti itu, anak itu gak banyak tingkah, harusnya dia bicara baik-baik kalo memang gak bisa ikut lembur, bukannya malah nyolot gak jelas, malah berani-beraninya dia ngadu ke Pak Anhar. Menurutmu, apa hanya dia aja yang merasa gerah dengan keadaan di sini? Jujur, ya, aku juga kurang suka dengan gaya dan tingkahnya kalo ada kamu atau keliatan bayanganmu di matanya, ganjen gak jelas. Entah, ya, kamu menyadari hal tersebut atau gak. Atau mungkin kamu sadar tapi karena kamu suka dia berlaku seperti itu, jadi walaupun kelakuannya aneh dan gak baik gitu, kamu diemin aja?” Prana seperti kurang puas dengan percakapan kami barusan, tapi keburu ada OB yang nganterin makan siangku, “Makasih, Pak.” Kemudian membuka bungkusannya, “Aku makan siang dulu. Kamu gak makan? Oiya, nitip sama gebetan tercinta, ya? selamat menunggu, deh.” Lalu aku memasang headset, memutar video di yutub yang aku suka, dan menyantap udonku, gak peduli walau Prana seperti ingin menyampaikan sesuatu, masih belum tuntas apa yang ingin dia sampaikan. Tidak lama, dia pergi dari ruanganku, aku bisa melihatnya dengan ekor mataku. Tidak lama setelah selesai makan siang, Yani dan Banun kembali ke ruangan sebelum jam satu tepat, tidak seperti biasanya. Lalu Banun mengambil kursi dan duduk di depanku, “Mbak, aku mau bicara.” Aku yang masih menonton video yutub tadi, membuka headset yang kupakai, “Ada apa?” dia berdehem, mungkin sedang memilih kalimat atau kata-kata yang mau dia sampaikan, aku yang gak sabaran bilang ke dia, “Ngomong aja, takut amat. Santai aja lagi, sesantai tadi kamu menanggapi ajakan lemburku.” Ucapku sambil menatap lekat matanya, dia menunduk, melihat gelagat dia mau nangis, aku langsung bilang, “Gak usah nangis. Seharian ini aku sudah cukup melihat banyak drama, mau ngomong apa, cepat sampaikan, waktumu lima menit.” Dia bicara dengan terbata-bata, “Maafkan saya, Mbak. Saya tadi sedang banyak pikiran, bukan tidak mau lembur, hanya saja karena saya sedang tidak fokus, jadi saya asal menjawab.” Aku tetap menatapnya, tajam, sama seperti tadi, “Bayangkan, Nun, semua orang di kantor ini, yang entah ada masalah apa di dalam hidupnya punya pemikiran seperti kamu. Yang gak bisa memilah mana yang urusan pekerjaan mana yang urusan pribadi, bisa kacau dunia.” Dia tidak merespon apa-apa, hanya diam. Aku yang udah males ngeliat Banun di depanku, secepatnya menyuruh dia untuk pergi kembali ke mejanya, “Udah, kan, hanya mau ngomongin itu aja? Oiya, kamu gak usah ikut lembur hari ini. Kamu juga, Yan, kalo gak bisa lembur gak usah lembur. Seperti kata dia, biasanya juga saya lembur sendiri.” Aku menunjuk ke arah Banun. Yani menjawab bahwa dia bisa untuk lembur, “Saya bisa lembur, Mbak. Udah ngomong juga sama orang rumah, saya pulang terlambat.” Tidak lama, Banun bicara lagi, “Tolong jangan pindahkan saya ke divisi lain, Mbak. Saya di divisi sini aja, Mbak.” Aku menggeleng, “Itu bukan wewenang saya. Pak Anhar sudah memutuskan. Berdoa saja kamu dipindahkan ke divisi marketing, biar bisa tiap hari tuh kamu seliat-liatan seperti yang biasa kamu lakukan sama Prana, kalo ada masakan yang kamu bawa dari rumahmu, kamu bisa dengan mudah langsung kasih ke dia. Sudah, jam istirahat udah selesai, kembali ke mejamu, bereskan semua pekerjaanmu, lalu siapkan laporannya di meja saya. Ingat, gak usah lembur, karena saya gak akan hitung lembur walaupun kamu pulang lebih dari waktu absen pulang, paham?” dia hanya diam, mengangguk, dan masih dengan wajah menunduk kembali ke mejanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN