Senyumnya, Senyumku, Senyum Kami

1190 Kata
Setelah melewati sesi make up tipis-tipis, memakai kerudung dan kaos kaki sesegera mungkin aku menghampiri Prana, supaya dia tidak terlalu lama menunggu. Akhirnya aku keluar kamar dengan membawa semua perlengkapan yang mau aku bawa, dan Prana dengan sigap nyamperin aku untuk membantuku membawa jinjinganku yang banyak ini. Ketika masuk mobil Prana, aku terkesan juga, mobilnya harum, bukan berkesan maskulin, lebih ke manis. Semanis wajah Prana, duh … mulai lagi deh, dasar aku. Jadi, daripada aku dan otakku berkeliaran ke mana-mana, aku memutuskan untuk membuka beberapa aplikasi chat dan membalas beberapa pesan yang masuk. Sepanjang perjalanan menuju kantor ditemani dengan lagu-lagu Ed Sheeran, sesekali aku melihat gerakan bibir Prana mengikuti senandung tanpa suara. Hingga tidak sadar aku mengukir senyum kala melihatnya. Astagfirullah, ini salah tidak seharusnya seperti ini. Kami meneruskan perjalanan dalam diam, hening dengan pemikiran masing-masing, “Tania,” lirih Prana. “Aku serius dengan permintaanku untuk meminta hatimu, tidak sekarang juga gak apa-apa, yang penting jangan lama-lama. Beri tahu aku saat kamu sudah siap, ya, Tan.” Aku belum sempat merespon kalimat Prana saat tahu-tahu mobil yang kami kendarai sampai di parkiran. Dia turun dan buru-buru membukakan pintu untukku. Prana dengan wajah cerahnya mempersilakanku untuk berjalan terlebih dahulu. Aku turun dari mobil dengan merasa ada beban yang menghimpit rongga napasku hingga merasa sedikit sesak karenanya. Tidak tahu lagi harus merespon perkataannya tadi dengan cara apa, dilihat dari sorot matanya Prana tidak main-main. Dia juga sudah membuktikan diri dengan menjemputku pagi ini, padahal tempat tinggalku lumayan jauh, berbeda arah dengan rumahnya. Tapi dia ngotot buat jemput, bahkan dia sudah ada di depan indekosku sebelum aku selesai berbenah dan rapih-rapih untuk berangkat ke kantor, bahkan dia rela menungguku untuk berdandan. “Assalamualaikum, Pak,” ucapku pada Pak Dirman. Lelaki tua itu tersenyum ceria menyambut kedatanganku yang disusul dengan kedatangan Prana. “Waalaikumsalam, tumben Bu Tania datangnya keduluan Bu Banun,” papar Pak Dirman, “Aku gak bawa mobil sendiri, Pak.” “Pantas, kopinya sudah saya siapkan di meja, Bu,” ucap Pak Dirman. “Terima kasih.” Aku tersenyum mendapatkan perhatian dari Pak Dirman, perlakuannya membuatku mengingat kedua orang tua di kampung. Aku agak heran juga, kenapa Banun bisa datang lebih pagi dari aku, biasanya dia akan datang, lima menit atau bahkan tepat ketikan jam delapan pagi, saat waktunya absensi, dan karyawan lain sudah mulai beraktivitas. Aku menduga ini ada hubungannya dengan Prana. Aku bisa melihat Banun cemberut kala melihat kedatanganku dengan Prana. “Assalamualaikum, Yan, Nun.” Yani senyum dan menjawab salamku, “Waalaikumsalam, Mbak, tangannya udah baikkan?” aku mengangguk, sementara Banun menjawab salamku dijawabnya dengan ketus, “Waalaikumsalam,” tidak menengok ke arahku, matanya teetap tertuju ke komputer. Aneh sekali, setiap kali aku dan Prana berdekatan Banun menunjukkan rasa tidak sukanya. Entah itu dengan cemberut, ketus saat ditanya, atau pernah juga menyimpan barang dengan cara dibanting. * Tidak membawa mobil ke kantor itu merepotkan, pekerjaan sedikit terhambat, seperti siang ini saat aku harus meeting dengan tim marketing dan supervisor di store pusat. Memakai jasa taksi online adalah salah satu alternatif yang bisa aku lakukan saat ini. Sayangnya, aku tidak mendapatkan driver. Hal ini dijadikan kesempatan oleh Prana untuk mengantarkanku ke store di pusat kota Bandung, “Aku antar, ya, Tan.” Tawaran dari Prana datang ketika aku sedang melihat berapa ongkos perjalanan menggunakan taksi online, “Boleh, tapi aku saja yang nyetir,” ucapku memberikan sebuah penawaran pada Prana. Dia menggeleng, “Mana boleh,” sanggah Prana seraya menyembunyikan kunci mobil di belakang punggungnya seperti anak kecil yang menyembunyikan mainan. “Ya sudah, aku naik taksi saja.” Prana membuang napas pasrah, lalu menyerahkan kunci mobilnya padaku. Dengan perasaan senang aku menerima kunci tersebut lalu dia bilang, “Oke deh, tapi gak boleh ngebut, gak boleh banyak bunyikan klakson di jalan, harus ngalah sama pejalan kaki, jangan …” belum selesai Prana memberikan petuahnya, aku berjalan tergesa menuju mobil di parkiran, meninggalkan dia yang akhirnya setengah berlari mengejarku, cerewet banget, Prana, gak tau, apa waktuku tidak banyak lagi, Jalanan dipadati pengendara yang sama tergesanya denganku. Tidak ada yang mau mengalah, sejenak ada keanehan yang terjadi dalam mobil ini. Prana yang biasanya banyak bicara kini diam saja. Memejamkan mata seraya menggenggam erat sabuk pengaman yang melintang di dadanya. Ketika lampu lalulintas berubah menjadi merah, aku melihat wajah Prana yang pucat pasi. Apa dia mabuk kendaraan? Atau belum sarapan? Rasa bersalah muncul begitu saja mengingat lelaki ini menjemputnya pagi-pagi sekali. Dua puluh dua detik menunggu lampu berubah menjadi hijau, kesabaranku hampir habis. Kutekan klakson berkali-kali, hingga menimbulkan bunyi bersahutan dengan pengendara lain. Lantas setelah barisan sepeda motor dan dua mobil di depanku berbelok ke arah kiri segera kuinjak pedal gas hingga mobil melaju cukup kencang. Prana masih diam tak bergerak sejengkal pun di tempatnya. Setidaknya hal ini membuatku sedikit tenang karena dapat menyetir dengan konsentrasi. “Aku gak ikut masuk, ya, Tania, meetingnya gak lama, kan?” tanya Prana ketika kami baru saja sampai di pelataran store. “Nanti kamu bilang apa sama Pak Anhar? Belum jam pulang sudah tidak ada di kantor, setidaknya kalau kamu ikut meeting kan ada alibi nantinya kalo tiba-tiba dia nyariin kamu di kantor.” Prana tampak tercenung, wajahnya tidak sepucat tadi, tetapi terlihat tidak nyaman. Aku tergerak untuk merogoh tas dan memberikan minyak kayu putih kepadanya. “Terima kasih, Tania, kamu perhatian banget.” Dengan mata terpejam Prana menghirup kayu putih dan mengikutiku masuk ke tempat meeting akan dilaksanakan. Para Supervisor sudah menunggu kami di dalam, rapat dimulai dengan membahas berbagai pasokan furnitur, target serta masalah keuangan. Hingga langit sudah dipeluk gelap diskusi kami akhirnya selesai. “Makan malam dulu, Tania?” ajak Prana. Jujur aku tidak lapar, yang terbayang adalah kopi pahit yang menguarkan aroma nikmat, sambil selonjoran di tempat tidur. Jadi kutolak ajakannya untuk makan, “Aku lelah sekali, aku pengen cepet sampe di rumah, kita langsung pulang aja, boleh, ya.” Lebih cepat kembali ke indekos lebih baik. “Ya sudah kalau tidak mau.” Prana cemberut, berjalan mendahuluiku menuju parkiran, “Sini kuncinya, biar aku yang nyetir.” Prana menghentikan langkahnya dan menadahkan tangan meminta kunci, aku bersikeras mau menyetir lagi, “Aku aja deh, kamu duduk aja.” "Aku udah gak tahan, Tania. Jangan siksa aku lagi, sini kunci mobilnya." Aku tidak percaya ketika lelaki ini meninggikan suaranya. Nada ketus di suaranya membuatku Kaget, terlebih dengan kasar dia merebut kunci mobil yang tengah aku genggam hingga menyentuh luka yang masih tertutup perban. Prana menyadari kesalahannya, dia meraih tanganku, memeriksa luka itu seraya berkali-kali mengucapkan maaf, “Tan, maaf. Aku tidak bermaksud nyakitin kamu, maaf. Sakit, ya, Tan? Kita ke dokter, ya.” aku menggeleng dan perlakuan Prana tadi, membuat perasaanku tidak karuan hingga sudut bibirku terangkat, lalu kaget ketika Prana memanggilku, "Hayuk ... masuk! Mau magrib nih, kamu berdiri di situ, senyum-senyum sendiri lagi." Kontan aku kaget, benar saja, apa yang aku pikirkan. Buru-buru buka pintu mobil, dan mengondisikan mimik wajah agar kembali normal, walaupun gendang dalam hatiku masih bertalu. "Jangan senyum sendirian, aku di sini loh, bagi-bagi lah senyumnya itu." Aku hanya mengangguk, duduk dengan patuh menikmati sisa perjalanan dengan menatap langit yang mulai gelap, pelita di tepian jalan menggantikan cahaya matahari. Ada apa sebenarnya dengan hatiku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN