Terjebak

1035 Kata
“Ngapain duduk di luar, bukannya nemenin Raudhah di dalam, malah di sini. Kan tadi kami titip Ibu buat dijaga?” sinis Kak Puspa. Dia tidak tahu kejadian yang sebenarnya, kalaupun tahu, Kak Puspa seolah tidak peduli dan berusaha menutup mata. “Ibu mau ganti bajunya cuma sama Kak Raudhah. Kak Puspa, kan, tau. Makanya tadi aku nyari Kak Puspa sampe jalan jauh ke kantin sana. Udah digantiin baju, terus Ibu tidur, Kak Rudhah juga ada di dalam, kok." Jawabku sedikit jengkel, terserah lah, mau disebut aku mantu durhaka, adik ipar gak tau diri, suka membangkang, sebodo. Aku bisa melihat dengan jelas Kak Puspa mendelik sinis. Sudah jelas dalam hal ini aku menjadi pihak yang bersalah lagi. “Harusnya, sih, meskipun Ibu mau gantiin bajunya sama Raudhah, ya, kamu gantiin, kamu bujuk donk, gimana pun caranya. Ya, meski itu bukan ibu kandung kamu harusnya sebagai menantu kamu ada sedikit perhatian, gitu aja sampai nyariin Raudhah, pantas Ibu lebih sayang sama dia, lebih nyariin Raudhah, lebih senang ditemani Raudhah, dibandingkan sama kamu.” Aku pura-pura tidak ambil pusing, mencoba melewatkan saja apa yang baru dikatakan Kak Puspa. Tidak berselang lama yang lain ikutan muncul, termasuk Abizar dan keponakan-keponakannya yang entah mengapa melihatku tak kalah sinis dari ibunya. Tahu begini aku rasanya ingin pulang saja, lama-lama di sini malah bikin hati semakin sakit. Malam semakin larut, bolak-balik aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Ingin pulang tapi Abizar masih asik bincang-bincang dengan saudara-saudaranya di Gazebo rumah sakit. Aku sendirian di lorong karena di dalam ruang rawat inap Ibu sepertinya aku tidak diterima. Ada di dalam kamar, salah, karena Ibu hanya ngobrol dan bicara sama Raudhah, ikut nimbrung ngobrol di gazebo, malah semakin diabaikan. Keberadaanku ini, seperti udara, Ada, tetapi tidak terlihat. Jangan salah paham, bukannya tidak peduli pada Ibu, tetapi di sini sudah banyak yang menjaga, lagian, aku pulang pun, rasanya tidak akan membuat perubahan yang berarti, justru kalo aku pulang, mereka kan bisa lebih leluasa ngobrolin kekuranganku, membandingkan aku dengan Raudhah, sibuk mencari celah dan menilik kenapa aku belum juga hamil. Oke, jadi sebaiknya aku pulang mengingat besok pagi harus pulang karena kerja. Abizar juga sudah terlalu sering membolos kerja. Nanti-nanti jika atasannya menegur pasti uring-uringan sampai rumah. Sudah bisa ditebak. Dan aku juga merasa, lama-lama berdiam diri juga gak ada gunanya. Kulangkahkan kaki menuju ruangan rawat inap Ibu, niatnya mau pamitan. Dengan atau tanpa Abizar aku tetap akan pulang. Kewajibanku masih sangat banyak sedangkan Ibu di sini banyak yang menunggu, termasuk Kak Puspa dan anak-anaknya. “Tania itu gak bisa apa-apa, gak kaya kamu Raudhah. Dia nyapu aja gak bener, beberes rumah gak becus. Heran saya apa yang Abizar sukai dari perempuan itu, udah gitu fisiknya juga gak ada bagus-bagusnya.” Dengan jelas aku mendengar Kak Puspa memprovokasi Raudhah. Pintu kamar yang baru aku buka sedikit perlahan kututup lagi. Hatiku tidak sekuat itu untuk mendengar kelanjutan perbincangan mereka. Aku berusaha menahan debaran jantung yang menggila karena menahan emosi. Ketika sedang mencoba menekan deru amarah dan emosi di d**a, tiba-tiba Abizar datang, “Hei,” sapa Abizar lumayan membuatku kaget. “Kenapa gak masuk?” lanjutnya. Dia hendak membuka pintu namun buru-buru aku cegah. “Di dalam sudah banyak orang, Bi. Aku sepertinya mau pulang saja, lagian besok kita harus bekerja, ini sudah hampir pukul sepuluh malam loh.” Abizar tampak diam sejenak, lalu melepas pegangan tanganku, dengan hati-hati dia membawaku ke dalam ruangan. Kini topik obrolan sudah berganti, syukurlah aku tidak perlu sakit hati mendengarnya. “Kami pamit, Kak Puspa, Kak Raudhah, Bu. Besok pulang kerja balik lagi ke sini.” Abizar memperbaiki letak selimut Ibu. Mencium kening dan tangan wanita yang melahirkannya. Sayangnya ketika aku yang hendak mencium tangan Ibu, wanita yang sedang terbaring lemah itu memalingkan wajahnya. Duh, untung saja hatiku ini ciptaan Tuhan, jika tidak mungkin sudah hancur sejak pertama kali keluarga suamiku ini memperlakukanku dengan tidak baik seperti ini. Abizar berjalan terlebih dahulu, aku yang sudah terlalu lelah hanya bisa mengekor di belakang. Meninggalkan lorong rumah sakit yang terlihat mencekam. Tepat satu jam kemudian akhirnya kami sampai di rumah. Setelah bersih-bersih dan ganti baju aku menyusul Abizar ke kamar, ternyata suamiku sudah terlelap tanpa berganti pakaian. Aku tidak berani membangunkannya karena sudah bisa dipastikan dia pasti akan marah. Dari insiden di rumah sakit tadi, aku semakin sadar bahwa seorang Tania itu tidak ada berartinya sedikit pun di mata keluarga Abizar. Bohong jika aku bilang gak kepikiran. Perasaan bahagia saat pertama kali dilamar Abizar itu rasanya seperti es yang mencair lalu diserap olah tanah. Hilang meninggalkan sedikit bekas lalu menguap terkena sinar matahari. Merasa belum ingin tidur, aku memilih untuk membuka laptop dan memeriksa beberapa pekerjaan yang sengaja aku bawa ke rumah. Tuts keyboard di laptop berkedip, serasa sedang mengejekku, kadang, dan tidak jarang aku sering berpikir, kenapa dulu aku tergesa-gesa menerima lamaran Abizar. Padahal, kami hanya kenal lewat media sosial, i********:. Awalnya, aku hanya iseng komen di postingan salah satu selebgram yang sedang makan bakso, "Wah, sedapnya. Lebih sedap lagi abis makan bakso, minum es teh manis. Lengkap deh, kayak makan sama pasangan. Sayangnya, saya mah gak bisa gitu." Dari komen iseng itu, dia mengirim pesan pribadi. Aku bukan tipe yang suka menerima pesan atau membalas pesan dari orang yang tidak aku kenal. Tapi saat itu, moodku sedang bagus, jadi ketika ada pesan itu, iseng juga aku membalasnya. Dari sapaan "Hai, salam kenal, aku Abi." Berlanjut ke tukeran nomor handphone, lalu janjian makan siang, kemudian Abizar sering jemput dan mengantarku ke kantor. Hal sederhana, tapi sering dia lakukan, membuatku menjadi gede rasa, ke-GR-an. Awalnya hanya iseng membalas pesan dari Abizar, lama kelamaan ada rasa nyaman karena sering diperhatikan, sering diajak ngobrol dan berbincang tentang pekerjaan. Aku merasa ngobrol sama Abizar nyambung, jika diajak bertukar pikiran, dia akan memberikan masukan-masukan yang menurutku lumayan bagus. Sering, beberapa kali, aku menemui tantangan di pekerjaan, dan membagikannya dengan Abizar, meminta pendapat dan masukannya, dia akan memberikan jawaban yang di luar ekspektasi. Itulah alasannya, kenapa aku mantap menerima lamaran Abizar. Awalnya, dia datang dengan ragu, dia bilang bahwa mungkin aku tidak akan menerimanya karena dia hanya lelaki biasa, "Aku tau, aku sadar diri, mungkin aku lelaki yang jauh dari bayangan pria impianmu, Tan. Tapi, izinkan aku membuktikan ucapanku, bahwa aku serius ingin menikahi dan membahagiakanmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN