Aku Kenapa

1360 Kata
Persiapan pernikahan aku dan Abizar sudah hampir selesai, tinggal sekitar lima belas sampai dua puluh persen lagi saja. Tinggal membayar uang muka gedung, katering, make up, dan tenda, pelaminan, dan kursi untuk tamu. Yang sudah kami bayarkan penuh adalah baju pengantin, untuk akad dan pesta. Karena penjahitnya gak mau jika hanya dibayarkan setengahnya, “Bahan dan payetnya, Mbak, yang gak bisa saya talangin dulu.” Jadilah, aku dan Abizar sepakat untuk melunasinya. Daripada nanti udah dekat hari H, baju kami gak jadi, kan konyol banget. Sejalan dengan persiapan pernikahan yang makin dekat, pertemuanku dengan Abizar pun makin intens, hampir setiap hari kami bertemu, biasanya setelah jam pulang kantorku, Abizar akan menjemputku, dan kami menyelesaikan yang belum selesai. Dan … ya, sesering kami bertemu, sesering itu juga kami melakukannya. Melakukan hubungan yang belum seharunya kami lakukan, semakin aku menolak, semakin ada saja cara Abizar meluluhkanku. Aku terjebak, jika aku menolak, dia akan marah, uring-uringan, bahkan pernah sekali waktu, aku dengan tegas menolak, “Bi, kita gak bisa melakukan ini terus. Aku tau, kamu juga pasti paham, ini dosa, kita harus menghentikan ini, sebelum semuanya justru jadi tidak baik.” Dan seharian besoknya, dia tidak menghubungiku sama sekali. Setelah aku berinisiatif datang ke kantornya dan bilang kalo aku kangen sama dia, reaksinya membuatku luluh, “Kamu kira aku gak kangen? Aku hanya gak mau, semakin sering kita bertemu, keinginanku untuk mencumbumu semakin kuat, dan kamu justru semakin gak nyaman. Aku ingin yang terbaik untukmu, jadi aku menghindar. Jadi, sebaiknya, kita membatasi saja waktu bertemu kita, dan ruang interaksinya. Biar kamu bisa menjaga diri dan aku juga tidak selalu kepikiran kamu, bibirmu, dan tubuhmu,” aku yang mendengarnya seperti itu, akhirnya mengalah, aku merasa bersalah. “Gak gitu, Bi. Aku tetap mau ketemu sama kamu, aku tetap mau ngobrol sama kamu, hanya saja, kita jangan melakukan itu lagi. Terlalu berbahaya.” Abizar tidak merespon, masih dengan wajah muramnya, “Aku usahakan, Tan. Kalo dekat sama kamu tuh, gak bisa ditahan, pengennya peluk, aku kangen terus sama kamu.” Akhirnya aku mengangguk, “Iya, boleh, Bi, boleh.” Dan dia memelukku, lalu kami memutuskan untuk membereskan rencana kami hari itu. Pernikahan kami tinggal dua minggu lagi, semua sudah siap, tinggal nyebarin undangan ke keluarga yang agak jauh rumahnya. Seharusnya, hari ini, aku dan Abizar pergi ke rumah sepupunya, yang berada cukup jauh dari tempat kami. Tapi aku merasa sudah tiga atau empat hari ini, badanku gak enak, lemas, dan bawaannya mau tidur aja. Kalo pagi juga suka keliyengan, dan tiba-tiba suka mual. Aku menduga ini karena aku akan datang bulan, karena biasanya gejalanya juga begini. Sudah beberapa hari ini juga, aku tidak masuk kerja. Kalo siang, kena matahari, aku suka pusing, dan kalo mencium aroma obat, beneran jadi muntah. Seperti hari Senin kemarin, ketika aku masuk dan ada stok obat datang, otomatis aku harus mencatat barang masuk dan menghitung stok, semua makan siang yang baru masuk, sukses meluncur keluar. Sampai-sampai, teman kerjaku nyeletuk sesuatu yang aneh, “Tan, kamu hoek-hoek mulu dari kemarin, kayak orang hamil aja.” Aku ketawa, “Ya enggaklah. Ada-ada aja kamu.” Tadinya, aku mengabaikan ucapannya, tapi hari ini, setelah minum air hangat dan duduk di pinggir ranjang, demi meredakan mualku, aku menghitung dan mengingat-ingat lagi, terakhir aku datang bulan tanggal 29 bulan Agustus kemarin dan selesai tanggal 8 September. Dan sampai hari ini, udah tanggal 18 Oktober aku belum mens lagi. Aku jadi ketar ketir, khawatir sesuatu yang tidak diinginkan, terjadi, karena selama ini, setelah tunangan dengan Abizar, kami sering melakukan hal itu. Jadi, hari ini, aku berniat untuk ke apotek di dekat rumah ini dan membeli test pack. Ya ampun, pikiranku bener-bener kacau, aku khawatir, ketakutanku beneran terjadi. Setelah memaksakan diri makan, aku mencoba untuk bangun dan duduk di teras, ada Bapak di sana, “Tan, kok keluar kamar, udah enakan badannya?” aku mengangguk, “Udah enakan, Pak. Aku mau ke apotek depan, mau beli obat.” Bapak menawarkan untuk mengantarkanku ke sana, “Ayo, Bapak anta raja. Jangan bawa motor sendiri, Tan.” Aku menggeleng, nanti ketauan sama Bapak kalo aku beli test pack, bisa kacau, tapi beliau memaksa, “Gak apa-apa. Cuma ke apotek depan kan sebenar, ato Bapak aja sini, yang belikan obatnya, kamu butuh obat apa, catat aja di kertas, biar Bapak langsung kasih ke petugasnya.” Aku lebih kencang menggelengkan kepala, “Gak, Pak, beneran gak usah, aku bisa naek ojek aja, nanti.” Bapak tidak bilang apa-apa, langsung jalan ke dalam, dan keluar kemudian dengan membawa kunci motor, “Hayok, Bapak antar, jangan bandel kalo diomong. Biar kamu cepat sehat.” Akhirnya aku mengalah, semoga nanti aku bisa ngomong ke apotekernya tanpa harus ketauan Bapak. Jadilah, kami berdua pergi ke apotek, ketika sampai di depan apotek, aku meminta Bapak untuk nunggu aja di motor, “Tunggu di sini aja, Pak, aku gak lama.” Bapak udah keburu mematikan motor dan turun, “Panas, Tan, Bapak ikut kamu ke dalem aja.” Aku jadi tambah deg-degan, mencoba memikirkan cara, gimana biar bisa order ke petugas apoteknya test pack itu tanpa ketauan Bapak. Aku berjalan langsung menuju ke seorang petugas apotek yang sedang tidak melayani pembeli, “Mbak, minta obat untuk flu donk, apa ya, yang cocok?” sambil melihat situasi dan tempat Bapak berada, deg, jantungku hampir lepas dari tempatnya, ketika melihat Bapak ada tepat di sebelahku. Aku mencoba mencari ide dan dapat, aku mengetikkan sesuatu di note handphoneku, dan memperlihatkannya ke petugas apotek itu, “Kalo obat ini, ada Mbak?” aku meminta Mbak itu membaca yang aku ketikkan di sana, “Tolong masukkan test pack, 3 buah, Mbak, jangan sampai ketahuan bapak yang di sebelah saya, tolong jangan bacanya di dalam hati aja.” Ekspresi awal yang kulihat adalah kernyitan di dahi petugas itu, lalu semenit kemudian dia mengangguk, “Ada, Mbak. Sebentar.” “Obat apa toh, Tan? Kok sampe minta dibacain sama petugasnya, susah dibaca apa gimana?” aku mengangguk, “Iya, Pak, nama obatnya susah, gak paham bacanya, daripada salah, biar mbaknya sendiri aja yang baca.” Diikuti dengan ucapan “Oo … ya sudah. Bapak tunggu di parkiran, ya, udah beres, kan, tinggal bayar. Kamu ada uang buat bayar obatnya?” aku menjawab, “Ada, Pak. Aman.” Sambil berharap, Bapak ke parkiran, sebelum petugas apotek datang. Setelah menunggu beberapa saat, petugas tersebut keluar, dan menuju mesin kasir, “Semuanya lima puluh dua ribu, Mbak.” Aku mengeluarkan uangnya dan mengucapkan terima kasih ke dia, “Makasih, Mbak, makasih banget bantuannya. Maaf ya, merepotkan.” Petugas tersebut mengangguk, “Gak apa-apa, Mbak. Udah biasa kok saya melayani yang kayak Mbak ini. MBA, ya, Mbak? Harusnya tunggu sah dulu, Mbak. Kalo udah kejadian gini, Mbak yang rugi, lakinya yang terima enak doank.” Aku terkejut dengan pertanyaan yang blak-blakan itu, aku diam saja, tidak menjawab, dan pergi setelah menerima uang kembalian. Ucapan mbak tadi terngiang di kepalaku, enak lelakinya, perempuan yang susah? Menurutku, enggak juga. Well … iya, sih, aku yang susah, tapi hal ini terjadi kan atas dasar kesepakatan aku dan Abizar, tidak ada paksaan dari siapa pun. Aku berhenti memikirkan hal itu, karena tiba-tiba mataku buram, kepalaku terasa berat sekali, dan aku hampir pingsan. Aku mencengkeram jaket Bapak, “Pak, agak ngebut, ya. Kepalaku pusing banget.” Lalu Bapak mengendarai motornya dengan agak lebih cepat. Setelah sampai di rumah, tanpa sempat bicara apa-apa, aku langsung masuk ke dalam, dan menuju ke kamar. Kamar mandi adalah tujuan pertamaku, setelah sampai, semua air yang tadi masuk, keluar, perih dan asam sekali mulutku. Karena memang tidak ada yang bisa kumuntahkan, tidak ada makanan yang bisa masuk sejak kemarin sore, kecuali air dingin. Setelah keluar semua, aku duduk di pinggir ranjang, mengeluarkan bungkusan obat tadi, yang di dalamnya ada test pack. Aku ragu untuk memakainya, tapi kemudian mencoba memberanikan diri, “Apa pun hasilnya, inilah yang terbaik.” Lalu aku masuk kembali ke kamar mandi, membaca cara pakai dan instruksi yang ada di dalamnya, lalu mempraktekkan yang sesuai dengan anjuran di kertas petunjuknya, aku harus menunggu sekitar dua sampai lima menit. Gelisah menanti hasilnya, aku meletakkan test pack tersebut di nakas samping ranjangku. Setelah lima menit berlalu, aku memberanikan diri untuk melihatnya, dan hasilnya sungguh semakin membuatku bingung.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN