"Rias?" Kening Hanum berkerut sambil berusaha mencerna ucapan wanita tadi. Ia masih belum begitu mengingat situasi. Bahkan, Hanum tak mempersilakan wanita itu untuk masuk terlebih dahulu.
"Iya," jawab wanita dengan tubuhnya yang sedikit gempal, masih dengan senyuman yang bertengger di bibirnya.
"Astaghfirullah." Hanum berteriak kaget saat ia sudah mengingat kejadian semalam. Ia pikir itu semua hanya mimpi. Ternyata, semuanya nyata. Ingin pingsan Hanum rasanya. Ia memundurkan langkahnya sambil berpegangan erat pada gagang pintu. Kakinya terasa lunglai saat mengingat lagi kejadian semalam.
"Mbak, baik-baik saja?" tanya perias itu tampak khawatir.
Hanum mendongak, menatap wajah wanita empat puluh tahunan di hadapannya itu. "Saya baik-baik saja, Bu," ujarnya sambil mengangkat telapak tangannya. Berusaha menunjukkan jika dirinya tak masalah.
"Baiklah... Mbak Hanum mau mandi dulu atau langsung dirias?"
"Ma... masuk dulu, Bu," ujar Hanum sembari memiringkan tubuhnya, memberi ruang untuk wanita itu masuk.
"Terima kasih. Oh iya, nama saya Rita." Wanita itu mengulurkan tangannya mengajak Hanum bersalaman.
"Hanum." Masih dengan canggung, Hanum memperkenalkan diri.
"Mbak Hanum, sudah siap dirias?" Rita kembali melontarkan pertanyaan yang sama.
"Sa... saya mandi dulu, Bu," pinta Hanum.
"Baiklah, saya tunggu ya!"
Hanum mengangguk setuju. Ia lantas melangkah menuju kamar mandi, sementara Rita menunggu Hanum sembari mengeluarkan beberapa perlengkapan makeup miliknya.
Begitu masuk ke dalam kamar mandi, Hanum langsung mengunci pintu. Ia menyandarkan tubuhnya pada daun pintu. Otaknya kembali berusaha mencerna kejadian yang terjadi secara tiba-tiba sejak semalam.
Bagaimana bisa, ia akan menjadi istri Revan Baskara hanya dalam waktu semalam? Bahkan membayangkan untuk bersanding dengannya pun Hanum tak pernah. Ia sudah merasa tak layak, dan lagi pula, itu merupakan hal yang mustahil. Ia dan Revan, layaknya langit dan bumi. Revan yang seperti pangeran, sementara ia hanya Upik abu.
Hanum menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Antara sedih dan perasaan lain bercampur jadi satu. Jika biasanya orang yang akan menikah, pasti bahagia. Tapi itu tak berlaku bagi Hanum. Ia seperti tak bisa membayangkan kebahagiaannya. Entah ini prasangka atau pun firasat. Ia hanya tak bisa membayangkan mimpi indah yang akan menghiasi hidupnya. Apa lagi, ia akan menikah tanpa di wakili oleh seorang ayah atau pun keluarga yang lain. Pasti menyedihkan, bukan?
Cukup lama Hanum melamun, hingga ia dikejutkan dengan suara ketukan dari arah luar pintu.
"Mbak... Mbak Hanum baik-baik saja, kan?" tanya Rita dengan khawatir.
"I... iya, Bu," jawab Hanum sembari mengusap air matanya.
Setelah membersihkan diri, Hanum segera keluar dari kamar mandi.
"Kita bisa mulai sekarang ya, Mbak Hanum," ujar Rita dengan senyuman saat melihat Hanum keluar dari kamar mandi.
Hanum tersenyum samar, kemudian mengangguk. Kegiatan merias pun di mulai. Dengan telaten dan cekatan, tangan Rita menyapu setiap sisi wajah Hanum dengan berbagai rupa alat rias.
***
Pukul 08.00 pagi.
Beberapa warga yang akan menyaksikan pernikahan Hanum dan Revan sudah mulai berdatangan. Dua orang saksi sudah di persiapkan. Seorang penghulu pun sedang dalam perjalanan.
Sementara itu, di dalam kamar, Revan memijat pelipisnya yang terasa pening. Masalahnya terus berdatangan silih berganti. Belum selesai satu masalah, sudah datang masalah yang lain. Apalagi sekarang ia harus menikahi wanita yang tidak dicintainya. Jangankan mencintai, mengenal wanita itu pun tidak. Hanya sebatas mengetahui jika wanita itu merupakan OG di kantornya.
Menikahi OG? Revan membayangkan bagaimana reaksi ibunya nanti, saat mengetahui dirinya membawa pulang wanita yang bukan termasuk kriteria Inneke pulang ke rumah. Lalu, apa yang harus ia lakukan pada wanita itu, setelah mereka menikah nanti. Semua itu bergelayutan di kepalanya dan menjadi beban pikirannya.
Dan sampai saat ini, tidak ada satu pun yang ia hubungi untuk memberitahukan hal ini. Ponselnya mati sejak semalam.
Lamunan Revan terhenti, saat ia mendengar ketukan dan panggilan dari luar.
"Mas Revan, sudah siap?" tanya pak RT dari luar kamar.
Revan sempat tersentak, kemudian mulai menenangkan diri. "Iya, Pak," jawab Revan. Ia segera berdiri dan berjalan ke arah pintu.
"Penghulunya sudah datang, Mas," ujar pak RT memberitahu, saat pintu terbuka dan menampilkan wajah Revan di celahnya.
Revan hanya mengangguk. Ia kemudian mengikuti langkah sang pemilik rumah untuk menuju ruang depan tempat para tamu berkumpul. Ruangan berukuran 3x4 meter itu, sudah mulai dipenuhi warga yang datang, baik laki-laki maupun perempuan. di tengahnya, ada sebuah meja persegi dengan tinggi empat puluh centi, tepat di depan pria paruh baya dengan kemeja putih yang terbuka satu kancing atasnya, dan jas warna hitam yang membalut tubuhnya.
"Nah, ini dia calon pengantinnya," celetuk salah satu warga.
Penghulu yang dipanggil itu menatap ke arah Revan dengan sebuah senyuman. Namun, Revan enggan membalasnya. Dengan wajahnya yang datar, Revan mengambil tempat duduk di bagian depan penghulu. Tepatnya saling berhadapan.
"Kita tinggal menunggu pengantin wanitanya saja, Pak," ujar pak RT yang mengambil tempat di samping penghulu.
"Baiklah," jawab lelaki berpeci hitam yang sedang duduk bersila itu dengan tenang.
Kasak kusuk, orang mulai bercerita tentang kejadian semalam. Sementara Revan hanya diam, tak ingin menanggapi. Kepalanya sudah penuh dengan berbagai pikiran, ia tak mau menambah masalah lagi. Saat ini yang ia inginkan, hannyalah agar masalah ini segera selesai.
"Assalamualaikum." Suara dua orang wanita dari arah pintu, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah keduanya.
"Wa Alaikum Salam."
Pak RT berdiri menyambut Hanum yang sedang berdiri di depan pintu, di dampingi oleh Rita.
"Nah, calon pengantin wanitanya sudah datang," ujar pak RT menyambut. "Silakan masuk, Nak Hanum." Pak RT menunjuk tempat yang akan di duduki Hanum dengan mengulurkan tangannya.
"Ba... baik, Pak." Hanum mengangguk, kemudian berjalan masuk, dan mulai duduk di samping Revan.
Sementara itu, Revan sama sekali tak menoleh ke arah Hanum. Bahkan hanya untuk menatapnya sekilas saja.
Beberapa warga kembali berbisik, tak hanya tamu laki-laki, ada beberapa ibu-ibu yang ada di kediaman ketua RT. Mereka semua saling berbisik dengan pemikiran dan prasangka mereka masing-masing.
"Cantik juga, calon wanitanya," bisik ibu yang duduk di sudut kiri, di belakang Revan.
"Iya, ya. Tapi kasihan, walinya sudah enggak ada," sahut yang lainnya.
"Baiklah, Bapak-ibu, berhubung pengantin sudah datang, pernikahan ini bisa kita langsungkan," ujar pak RT dengan tenang. Lelaki berpakaian batik coklat bermotif Truntum menenangkan para warganya yang terus menerus menggunjing dua orang itu.
Suasana menjadi hening, sampai penghulu membuka suara. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa Alaikum Salam warahmatullahi wabarakatuh," jawab warga serempak.
Setelah muqaddimah dan beberapa pembuka, panghulu mengajukan pertanyaan pada Hanum.
"Mohon maaf, untuk wali dari mempelai wanita?" tanya petugas pencatat nikah.
"Gadis ini yatim, Pak," jawab pak RT.
"Oh, baiklah. Bisa ditulis nama calon pengantin dan ayah dari mempelai wanita di kertas ini," ujar penghulu sembari menyodorkan sebuah kertas dan pena di atasnya.
Revan meraih kertas tersebut, kemudian menuliskan namanya. Lalu ia menggeser ke samping, tepat di hadapan Hanum.
Hanum meraih kertas dan pena, kemudian mulai menuliskan namanya dan juga nama ayahnya. Kemudian digesernya kembali ke hadapan penghulu.
"Baiklah, Mas Revan dan Mbak Hanum, prosesi ijab qobul sudah bisa kita mulai. Sebelumnya, mari kita membaca dua kalimat syahadat dan istighfar terlebih dahulu. Semuanya bisa membaca bersama-sama." Dengan suara yang halus, penghulu memberikan arahan.
Usai membaca dua kalimat syahadat, Revan menyambut uluran tangan penghulu dan mulai menjabatnya.
"Saudara Revan Baskara bin Arya Baskara, saya nikahkan engkau dengan saudari Hanum Swastika binti Sulaiman, yang walinya mewakilkan kepada saya, dengan maskawin satu set perhiasan emas seberat sepuluh gram dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya, Hanum Swastika binti Sulaiman dengan maskawin tersebut, tunai." Dengan lugas, Revan melafalkan ikrar yang menjadi tanda pengikat bagi Hanum.
"Bagaimana saksi?" tanya penghulu memastikan.
"Sah," jawab kedua orang saksi yang menyaksikan prosesi tersebut.
"Barakallaah hu lakuma wa Baraka 'alaikuma, wa jama'a bainakuma fii Khoir." penghulu melantunkan doa untuk keberkahan pernikahan keduanya.
Tak terasa, air mata Hanum menitik membasahi sudut matanya, bagaimana pun, ia tetap merasa tersentuh.
Sedangkan, Revan sendiri, dengan malas ia mengangkat tangannya mengikuti doa yang diucapkan penghulu.
***
Setelah semua rangkaian acara telah selesai, Revan dan Hanum duduk bersama di dalam kamar kost Hanum. Suasana sunyi, tanpa ada satu pun dari mereka yang berniat membuka suara.
Hanum sendiri hanya memilin jari jemarinya, dengan terus menunduk. Bahkan riasan wajahnya belum sempat ia hapus.
"Setelah ini, kau akan kubawa ke rumahku. Tapi ingat, jangan berharap aku akan menganggapmu benar-benar sebagai istriku," ujar Revan membuka suara.