Awal tragedi.

1079 Kata
Setelah panggilan telepon semalam, dini harinya Felicia langsung menuju bandara dengan diantarkan oleh Revan. Dengan berat hati, Revan mengantarkan sang kekasih untuk kembali mengejar karirnya. Bagaimana tidak? ini baru sehari mereka bertemu, tapi Felicia sudah harus pergi lagi. "Sampaikan maafku pada Tante. Padahal aku sudah berjanji sama Tante untuk pergi bersenang-senang," ujar Felicia dengan raut penyesalan. Ia menggenggam jemari Revan saat mereka sedang berkendara menuju bandara. "Iya, Cia, tak apa. Mama pasti ngerti." Revan menoleh sekilas menatap wajah kekasihnya kemudian tersenyum samar, lalu kembali fokus pada kemudi. "Aku sungguh menyesalkan ini, Rev. Padahal dia sendiri yang mengizinkan saat aku meminta cuti dua hari. Tapi ini baru sehari, dia malah memintaku untuk kembali." Felicia mengeluarkan kekesalannya. Revan tersenyum melihat Felicia yang terus mengomel. Rasanya ia ingin membekap bibir Felicia dengan bibirnya. "Untuk tahun depan, kamu tidak perlu menandatangani kontrak kerja lagi. Jadilah istriku, supaya kita bisa terus bertemu," ujar Revan seperti tanpa beban. Felicia yang sejak tadi mengomel, sontak menghentikan ucapannya dan menatap Revan dengan tatapan yang tidak terbaca. Beberapa detik kemudian, ia menampilkan senyum dan mulai menggamit lengan kokoh Revan. "Kau sudah siap menjadi suamiku?" tanya Felicia menggoda sambil mengusap dagu Revan yang dipenuhi jambang. "Harusnya aku yang menanyakan itu padamu, Cia. Apa kau siap menjadi nyonya Revan Baskara?" Revan mengedipkan sebelah matanya. Tak langsung menjawab, sebenarnya dalam hati Felicia masih belum ingin menikah, ia masih ingin menikmati masa mudanya dengan terus mengejar karirnya. Ia sangat mencintai pekerjaannya. Dan itu tak mungkin bisa ia lakoni kembali, jika dirinya menikah nanti. Namun Felicia tak ingin membuat Revan kecewa, jadi ia mengangguk saja mengiyakan. Melihat itu, Revan mengacak rambut Felicia. Beberapa menit perjalanan, akhirnya mobil Revan terparkir rapi di tempat parkir bandara. Sebelum benar-benar mengantar Felicia ke dalam, Revan membuka seatbelt yang menahan tubuh mereka, lalu menatap dalam wajah kekasihnya itu. Ia mencium Felicia. Ciuman yang cukup lama, sebagai obat rindu untuk perpisahan mereka. Puas dengan ciuman, Revan kemudian turun dari mobilnya dan mulai menurunkan barang-barang Felicia. Ia mengantar Felicia menuju ke area keberangkatan, melakukan check in untuk wanita itu. Keduanya masih mengobrol santai setelah melakukan check in sampai akhirnya ada panggilan bagi penumpang untuk memasuki ruang tunggu. Revan menggenggam jemari Felicia. Hatinya berat untuk melepaskan. Enam bulan berpisah, dan mereka baru saja bertemu satu hari, tapi wanita itu harus kembali meninggalkan dirinya. Ia menarik Felicia dalam pelukannya. "Aku mencintaimu, Cia. Ingat itu." Revan menegaskan. Ia mengeratkan pelukannya pada Felicia. Felicia tersenyum mendengar kata cinta Revan. "Aku juga." Ia membalas pelukan Revan. "Dan sekarang, aku harus pergi." Felicia mengingatkan. Dengan berat hati, Revan melepaskan pelukannya. Menatap Felicia yang melambai padanya. Saat Felicia berbalik, Revan hanya bisa menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh darinya. Setelah Felicia tak nampak lagi dari pandangan matanya, Revan berbalik hendak meninggalkan bandara. Baru saja hendak melangkah, tiba-tiba ponsel Revan berdering. Revan segera mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Panggilan dari Dika, sekretarisnya. Sebelum mengangkat panggilan itu, Revan melirik arloji miliknya. Revan mengerutkan keningnya. Pukul dua dini hari, ada apa sekretarisnya menelepon di jam segini? "Ada apa?" tanya Revan tanpa basa-basi. "Selamat malam, Pak. Maaf saya mengganggu," ujar Dika dengan suara yang terdengar panik. "Ada apa? Jangan bertele-tele dan cepat katakan," perintah Revan. "Gudang dan pabrik kita yang ada di jl. Xxx terbakar, Pak." Mata Revan melotot begitu mendengar ucapan Dika. "Di mana posisimu sekarang?" tanya Revan. "Saya dalam perjalanan menuju ke sana. mungkin lima menit lagi sampai," ucap Dika memberitahu. "Aku ke sana sekarang." Revan segera mengakhiri sambungan telepon itu, kemudian berlari sekuat tenaga dan kembali ke tempat parkir. Begitu sudah masuk di dalam mobilnya, ia segera memacu kuda besi itu dengan kecepatan tinggi. Pikirannya kacau. Banyak pertanyaan dalam benaknya. Apa yang menjadi penyebab kebakaran itu? Apakah ini kesengajaan atau tidak? Semua itu mengganggu pikirannya. Dan yang Revan pikirkan lagi ialah, gudang itu merupakan gudang terbesar di antara gudang-gudang yang lain. Dan pabrik itu letaknya bersebelahan. Pabrik itu merupakan tempat pengolahan tekstil yang juga terbesar di antara yang lain. Entah berapa kerugian yang akan ia terima sekarang ini. Meskipun masih ada beberapa gudang-gudang dan tempat produksi yang lain, namun efek kerugiannya pasti akan berimbas pada perusahaannya. Dua puluh lima menit kendaraannya melaju dengan kecepatan tinggi, akhirnya ia sampai juga di depan gudangnya. Revan segera turun dari mobilnya. Ia meraup wajahnya kasar begitu melihat pemandangan di depannya. Kobaran api menjulang tinggi. Gudang dengan lima lantai itu diselimuti oleh si jago merah. Bahkan bentuk bangunan itu tak begitu terlihat. Kobaran api terus menyala dan menyembul melalui lubang-lubang jendela. Bagaimana tidak cepat terbakar, sementara di dalam gudang itu berisi kain-kain yang baru saja mereka produksi. Sedangkan di dalam pabrik sendiri terdapat bahan baku tekstil yang juga sangat mudah terbakar. "Pak." Dika yang melihat kedatangan Revan segera berlari menghampirinya. Sementara sudah banyak orang yang berkumpul di sekitar tempat itu. Menyaksikan pemandangan dengan api raksasa di hadapan mereka. Petugas pemadam juga sedang berusaha mematikan kobaran api yang terus menyala-nyala. "Bagiamana ini bisa terjadi?" tanya Revan. "Kami masih menyelidikinya, Pak," ujar Dika menjawab. "Apa ada korban di dalam?" tanya Revan lagi. Ia memastikannya, karena biasanya ada karyawan yang bertugas menjaga tempat ini. lima orang karyawan dan tiga orang sekuriti yang bertugas untuk menjaga pabrik dan gudang tekstil miliknya. "Tidak, Pak. Mereka langsung berlari keluar begitu mendengar alarm kebakaran berbunyi. Dan saat keluar, ternyata api sudah berkobar besar pada lantai ketiga," jelas Dika lagi. "Akumulasi semua kerugian kita. Dan segera adakan pertemuan dengan para investor untuk memberitahukan hal ini," titah Revan. Ia tak bisa memikirkan hal yang lain lagi. "Baik, Pak." *** Pukul 09.00 pagi. Para investor yang menanamkan modalnya untuk perusahaan Revan sudah berkumpul di ruang rapat. Wajah-wajah mereka terlihat tegang dengan ekspresi masing-masing. Revan berjalan dengan tergesa menuju ruang rapat dengan Dika yang mengikutinya. "Selamat pagi, semuanya," sapa Revan sambil menundukkan kepalanya. Ia lalu mendaratkan bokongnya pada kursi hitam tempatnya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?" sebuah pertanyaan langsung dilontarkan oleh salah satu investor. "Semua masih dalam proses penyelidikan," jawab Revan. "Dan berapa total kerugiannya?" tanya yang lain. "Setelah diakumulasi oleh Dika, kerugian berjumlah sekitar 20 M. Semua berjumlah dari kerugian bangunan, biaya bahan baku, kerusakan pabrik dan juga kerugian isi gudang," jelas Revan. Ia melirik ke arah Dika, kemudian di jawab anggukan oleh sekretarisnya. Setelah itu Dika berjalan memberikan semua hasil laporan kerugian yang mereka alami. Mereka semua membaca dengan seksama detail dari laporan yang diberikan. "Lalu, apa solusinya setelah ini?" tanya seorang investor yang Revan tahu ia juga investor terbesar di perusahaannya. Lelaki paruh baya berwajah tegas itu melempar berkas laporan dengan kasar di atas meja sembari bersandar pada kursinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN