Hanum Swastika, wanita yang terlahir dari keluarga biasa. Tak ada sesuatu yang spesial dari wanita berusia dua puluh tiga tahun itu. Baik karir maupun kehidupannya, semua berjalan monoton setiap harinya. Hanya saja, dia dianugerahi wajah yang manis jika tersenyum.
Ayahnya yang hanya bekerja sebagai tukang ojek telah mengalami kecelakaan sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Akibat dari kecelakaan itu, ayahnya mengalami kelumpuhan karena tidak mempunyai biaya untuk berobat. Dan sejak itu pula, sang ibu pergi meninggalkan mereka karena tidak sanggup menjalani kehidupan yang sulit.
Hanum yang berasal dari keluarga tidak mampu pun harus berusaha keras dan mengandalkan prestasi sekolahnya demi mendapatkan beasiswa. Dia juga harus pintar membagi waktu, antara belajar, mengurus ayah dan rumahnya, juga melakukan pekerjaan paruh waktu demi keberlangsungan hidup mereka.
Berat? tentu saja. Sulit? apa lagi. Lelah? jangan ditanya. Tetapi, dengan kebesaran hatinya, Hanum bisa melewati itu semua, hingga ia bisa menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SMA dengan menjadi lulusan terbaik. Dan ia pun mendapatkan tawaran beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar kota.
Tawaran itu tentu sebuah rezeki yang amat bagus bagi Hanum, tapi ia tak bisa menerimanya. Bagaimana mungkin, ia akan meninggalkan ayahnya yang lumpuh hanya untuk mengejar impiannya.
Hanum harus merelakan semua mimpinya demi baktinya pada sang ayah. Karena Hanum percaya, dengan keridhoan ayahnya, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang baik dan keberkahan akan selalu datang padanya.
Namun sayang, baktinya harus berhenti, saat ia berusia dua puluh tahun. Ayah yang disayanginya, telah dipanggil oleh Allah untuk berpulang.
Hancur rasanya dunia Hanum. Keluarga satu-satunya, tempatnya bersandar di kala lelah, telah pergi meninggalkannya , meninggalkan dirinya menghadapi kejamnya dunia seorang diri.
***
Gema Azan Subuh memecah keheningan malam. Hanum terjaga dari tidurnya saat rungunya mendengar suara azan menyusup. Ia membuka matanya dan menghapus jejak air mata dari sudut matanya.
Setiap malam selalu seperti ini. Hanum sangat merindukan ayahnya, sehingga bayangan itu selalu hadir di alam bawah sadarnya, membuatnya meneteskan air mata setiap kali mengingat itu.
Hanum segera bangkit setelah mengusap wajahnya. Melantunkan doa pagi sebagai tanda syukur, karena masih diberikan napas kehidupan di pagi ini.
Hanum segera merapikan tempat tidurnya, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Hanum tinggal di sebuah kost-kostan petak berukuran 5x6 dengan sebuah kamar tidur dan kamar mandi di dalamnya.
Setelah membersihkan diri dan berwudhu, Hanum melaksanakan kewajiban dua rakaat subuhnya. Setelah itu, ia membuat sarapan pagi dan bersiap untuk kerja. Begitulah perputaran kehidupan Hanum setiap harinya.
Pukul 06.30 pagi, Hanum meninggalkan kostnya setelah sarapan. Seorang OG diharuskan berangkat lebih pagi sebelum jam operasional kantor dimulai. Karena kantor harus sudah dalam keadaan bersih saat para pekerja memulai pekerjaan mereka.
Dengan menaiki angkutan umum, Hanum menuju kantor tempatnya bekerja.
Lima belas menit perjalanan yang diperlukan bagi Hanum untuk bisa sampai di tempat kerjanya.
Begitu sampai di kantor tempatnya bekerja, Hanum segera menuju sebuah ruangan yang disediakan khusus untuk para petugas kebersihan.
Di tengah langkahnya, seorang wanita mengejarnya dari arah belakang, lalu menyejajarkan langkah mereka.
"Pagi, Hanum," sapa seorang wanita yang merupakan teman kerja sekaligus teman baik Hanum.
"Pagi juga, Reni," balas Hanum dengan menunjukkan senyum manisnya pada wanita yang dipanggilnya Reni.
"Seger banget pagi ini? Kemarin kemana aja kamu?" ujarnya sambil merangkul bahu Hanum, lalu keduanya bersama menuju ruangan kebersihan.
"Aku nggak ke mana-mana. Hari Minggu waktunya istirahat," jelas Hanum lagi. "Kamu sendiri kemarin dari mana?" tanya Hanum balik.
"Biasa, abis jalan-jalan sama yayang," jawab Reni sambil tersipu.
"Masih sama anak kuliahan?"
"Iyalah, mau sama siapa lagi?"
"Kamu yakin dia serius sama kamu?"
"Yakin dong. Katanya setelah dia wisuda dan dapat kerjaan nanti, dia bakal langsung lamar aku," jawab Reni dengan girang.
"Yah, mudah-mudahan dia lelaki baik yang Tuhan kirim untuk kamu," ujar Hanum. Ia seperti merasa ada yang mengganjal dari hubungan temannya itu. Namun, Hanum tak berani mengatakannya. Ia takut Reni tak akan mempercayainya. Itu semua terlihat dari bagaimana antusiasme Reni saat menceritakan kekasihnya. Hanum hanya bisa mendoakan kebaikan untuk temannya itu.
Keduanya memasuki ruangan kebersihan bersama, lalu melangkah menuju loker masing-masing.
Setelah meletakkan tasnya di loker miliknya, Hanum berganti pakaian dan mengambil perlengkapan yang akan ia gunakan untuk membersihkan ruangan khusus direktur.
"Aku duluan ya, Ren," pamitnya setelah troli kebersihan di tangannya.
"Iya, Han."
Hanum segera melangkah meninggalkan ruangan kebersihan dan menuju ruang direktur.
Ya, Hanum memang seorang OG yang ditugaskan khusus untuk membersihkan ruangan direktur, juga yang menyiapkan kopi untuknya.
Sebenarnya semua itu bukan tugas Hanum. Awalnya ia hanya menggantikan sementara tugas temannya yang ketika itu sedang tidak masuk bekerja. Namun tiba-tiba, ia langsung diminta oleh sekretaris direktur untuk bertukar tugas. Hanum sendiri tak tahu alasan sebenarnya, dan ia pun tak ingin tahu. Yang terpenting baginya, hanyalah bekerja.
Hanum mendorong pintu kaca setinggi dua ratus lima puluh centi itu. Ia kemudian mendorong troli yang dibawanya, lalu mulai mengerjakan pekerjaannya.
Hanum menyapu bersih ruangan itu. Membersihkan setiap inci ruangan dari debu-debu yang menempel. mengelap setiap benda yang menggantung maupun yang ada di atas meja kerja bosnya. Setelah itu, yang terakhir, ia mengepel ruangan itu hingga bersih.
Setelah empat puluh lima menit waktu yang ia perlukan untuk bersih-bersih, Hanum segera keluar setelah memastikan ia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Ia kemudian mulai membersihkan bagian luar dari ruangan sang direktur. Sampai akhirnya, pukul delapan pagi, ia kembali ke ruang kebersihan.
Hanum menuju pantry untuk menyiapkan kopi pagi sang bos.
Secangkir kopi panas di atas nampan di bawa Hanum menuju ruangan direktur. Ia berjalan dengan hati-hati menuju ruangan orang dengan pangkat tertinggi di kantor ini.
Langkahnya berhenti di depan pintu kaca besar. Ia mengetuk pintu dan menunggu sejenak, kemudian mendorong pintu kaca dan masuk membawa nampannya.
"Kopi, Pak," ucapnya. Hanum tahu, jika ucapannya pasti tak akan di jawab. Tapi, itu sudah menjadi kebiasaan baginya.
Setelah meletakkan secangkir kopi panas milik bosnya, Hanum segera memutar tubuhnya untuk pergi meninggalkan ruangan bosnya. Ia tak berani menatap wajah berkharisma dari seorang Revan Baskara. Bukan tak tertarik, hanya saja Hanum sudah terlebih dahulu sadar diri. Tak pantas baginya yang hanya seorang OG menatap pria yang menjabat sebagai direktur terlalu lama.
"Tunggu," panggil Dika yang membuat langkah Hanum berhenti.
"Ada apa, Pak?" tanya Hanum sopan.
"Jam sembilan nanti akan ada rapat. Tolong buatkan kopi untuk tujuh orang," pinta Dika.
"Baik, Pak. Seperti biasa?"
"Ya, kopi hitam seperti biasa,"
"Baiklah, saya permisi,"
***
Waktu terus merangkak hingga sore hari. Pukul 16.30 sore, Hanum bersiap untuk pulang ke rumahnya saat ia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, dan itu juga memang jadwalnya untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Hanum meregangkan otot-ototnya. Lelah? sudah pasti. Namun ia tak pernah bermalas-malasan.
Sesampainya di rumah, Hanum segera membersihkan tubuhnya. Ia mandi dan mulai menyiapkan makan malamnya.