1 : Kali Kedua

1052 Kata
Tidak tahu harus bereaksi seperti apa, dua hari ini Divya Arsyakayla terdiam memikirkan nasibnya. Ia berbicara hanya ketika berinteraksi dengan kedua anaknya. Kayla, gadis kecil yang dua bulan lagi berusia 5 tahun, menatap Divya dengan tatapan sedih. Anaknya itu tak tahu apa yang terjadi dua hari lalu, tetapi pasti merasakan perubahan sikap Divya yang sangat kentara. Berbeda dengan Kayla yang perasa, Raynar masih dengan dunia fantasi, seakan tak ada yang berubah dalam hidup, masalah bukan sebuah ancaman untuk tidak bahagia. "Mama sedih?" tanya Kayla. Divya menggeleng, dikecupnya kening gadis kecil itu, kemudian memeluk erat. Kepala Divya kosong, apapun yang dipikirkannya selalu berujung dengan mengakhiri hidup. Ini kedua kalinya sang suami berkhianat, masih dengan wanita yang sama. Rasanya tertekan, tetapi air mata tidak keluar sedikit pun. Divya menyerah, putus asa. Sekarang, apapun keputusan Raga Bamantara—suaminya, akan ia sanggupi. Berpisah pun tak masalah. Mungkin itu lebih baik. Ketukan di pintu mengembalikan Divya pada kenyataan dunia. "Masuk," ucapnya pada seseorang di luar sana. Seorang perempuan membuka pintu, wajah itu prihatin melihat ke arahnya. Hei, Divya sudah berusaha tegar, tidak memperlihatkan kelemahan. Namun, itu sepertinya tak cukup membuat orang-orang percaya bahwa ia tengah baik-baik saja. "Ayah sama ibu nungguin di ruang keluarga, orang tuanya Mbak juga udah ada di sana," kata Raira memberikan informasi. Divya mengangguk. "Kamu jagain anak-anak, ya. Mbak minta tolong." Raira segera masuk ke dalam kamar, dan menghampiri Raynar yang tengah sibuk memainkan remote kontrol. Divya keluar dari kamar, nampaknya Kayla tak punya niat untuk ikut karena Raira sudah menawarkan untuk menjadi teman bermain. Pada masalah pertama, Divya memaafkan semua perbuatan sang suami. Kendati saat itu mereka ketahuan sudah satu tahun menjalani hubungan terlarang. Setelah 10 bulan berlalu, nyatanya tidak ada efek jera. Raga sekali lagi berkhianat, masih dengan Aminah, wanita yang memiliki seorang putri dan masih menjalani status sebagai istri dari seorang arsitek. Di ruang tengah, ada Raga dan kedua orang tuanya, begitu juga dengan ayah dari Divya dan si ibu tiri. Seharusnya ibu kandung Divya ada di sini, ia sangat butuh sandaran. Namun, beliau sudah meninggalkannya 15 tahun yang lalu. Pada usia 10 tahun, Divya tak bisa berkata-kata saat kedua orang tuanya berpisah karena sang ayah selingkuh dan kenyataannya wanita itu tengah hamil. Ah, apakah Divya juga akan bernasib sama dengan ibunya? Memikirkan sendirian, yang ada hanya pembelaan diri. Divya merasa tidak pernah membuat kesalahan, tidak pernah marah pada Raga, selalu menjadi istri yang penurut. Namun, nyatanya malah jadi begini. Sudah pasti ada kesalahan, Divya-lah dalangnya. "Kita bisa selesaikan sendiri, Mas," ucap Divya, protes pada pilihan Raga untuk mengumpulkan keluarga. "Gimana mau diselesaikan kalau kamu diam mulu?" Raga membalas, tak mau kalah. "Aku butuh waktu, seharusnya Mas ngerti itu." Divya mencoba untuk tidak tersulut emosi. Mega—ibu mertuanya menarik Divya untuk duduk di sofa, tepat berada di sebelah Raga. Rasanya campur aduk, Divya tidak ingin jika hasil akhir malah membuat anak-anak kecewa. "Tenang dulu, Ibu di sini sama kamu," ucap Mega sembari mengelus punggungnya. Wanita itu tidak beranjak dari sebelah Divya, menemaninya untuk menghadapi hari ini. "Jadi, kamu maunya gimana, Div?" tanya ayahnya, Kusno. "Tanyain ke Mas Raga, mau cerai pun aku siap dengan keputusan itu." Divya tidak akan menahan seseorang untuk tetap berada di sebelahnya. Ia sudah pernah menjalani hidup dalam keluarga yang hancur. Ibunya membawa Divya dan sang kakak kembali ke Denpasar, melakukan pekerjaan apapun untuk menyambung hidup. Setelah 4 tahun menjanda, Dania tutup usia. Saat itu Divya masih berumur 14 tahun, dan Darsa 19 tahun. Setelahnya kakak dari sang ayah menjemput mereka untuk dibawa kembali ke Jakarta. "Mas nggak pernah bilang mau pisah," sela Raga, "Mas maunya kita bicara dan selesaiin baik-baik." "Omong doang, Mas, ujung-ujungnya pasti dilakuin lagi." Divya tersenyum nanar. "Pasti kalau aku maafin, Mas bakal ketawain aku dan ngatain aku g****k karena lagi-lagi percaya." "Nggak pernah, Mas nggak pernah ketawain kamu!" Tentu saja pria itu membela diri. Ranto—ayahnya Raga, berdiri dan melangkah dengan cepat ke arah sang anak. Satu tamparan bersarang pada pipi Raga. Hal itu membuat mereka terpekik kaget. "Masih mau mengelak, tapi kenyataannya berbeda!" Ranto mendengkus. "Kalian mau cerai, terserah.  Yang jelas Divya dan anak-anak biar aku yang tanggung, dan kamu, Raga. Keluar dari rumah ini!" Divya menelan ludah susah payah. Tak pernah sedikit pun ia berharap akan menerima pembelaan dari sang ayah mertua. Di mata tua itu, ada ketegasan dan tak ingin menarik kata-kata. "Ini masalah aku sama Divya, Yah, orang tua nggak perlu ikut campur!" Raga membalas tatapan ayahnya. "Padahal kamu sendiri yang ngundang orang tua ke sini, kenapa malah ngomong kayak gitu?" Mega melayangkan protes. "Kamu maunya dapat pembelaan dari kami?" Wanita itu tertawa sinis. "Divya, apa keputusan kamu?" tanya Ranto dengan nada tegasnya. "Masih sama, Yah, aku terserah Mas Raga. Dia yang nggak mau lagi sama aku, jadi dia yang harus putusin." Divya menjawab dengan lantang, sama sekali tidak terintimidasi dengan tatapan Raga. "Mas nggak pernah bilang udah nggak mau sama kamu," sela Raga tidak terima. "Kenyataannya kamu melakukan kesalahan lagi!" tukas Ranto, mata itu melebar sempurna. "Divya, Mas mohon kasih satu kali kesempatan lagi." Raga turun dari sofa, menyentuh kaki sang istri. "Mas yang putusin, bukan aku." Divya menarik kakinya untuk terlepas dari tangan Raga, tetapi pria itu terus mengejar. "Mas, jangan kayak gini." "Mas mohon." Raga menatap tepat di manik mata Divya. Menghela napas kasar, Divya berdiri dan menjauh tiga langkah dari sang suami. Rasanya tak sanggup melihat pria itu berlutut, meskipun tahu bahwa itu hanya omong kosong. "Aku dan anak-anak hanya hiasan saja, nggak pernah dianggap penting." Divya ingin sekali meledak, tetapi yang ada hanya malu mendapati dirinya lagi-lagi masuk dalam keluarga yang hancur. "Kalian penting," tegas Raga. Divya menggeleng, jika penting, mengapa ada pengkhianatan? "Aku pernah rasain ada dalam keluarga yang hancur, belajar banyak dari ibu kandungku yang menghidupi dua anak sendirian." Divya menahan perih di d**a, melihat bayangan dua orang anak membantu sang ibu berjualan di pasar. Dulu, ia hampir tak bisa lanjut bersekolah. Lirikan mata mengarah pada ibu tirinya, wanita itu menunduk menyembunyikan wajah di balik rambut panjang. "Mungkin ini karma, karena pernah doain yang jelek buat si pelakor ini," aku Divya. Pada akhirnya air mata menetes karena mengingat lagi hari di mana ayahnya mengatakan bahwa ada wanita lain yang telah dihamili pria itu. "Sekarang aku tahu apa yang dirasain ibu waktu itu. Mas nggak perlu khawatir, kalau ibuku bisa, aku pun bisa lanjutin hidup tanpa suami." ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN