"Ketika diuji maka sabarlah, karena sabar akan dibalas dengan Surga Allah"
~Fiyah Akhyar
.
.
.
HAPPY READING
.
..
Sejujurnya Fiyah tidak ingin menikah sama sekali dengan Kahfi, tetapi setelah melakukan shalat Istikharoh Fiyah menjadi yakin bahwa pernikahan ini adalah salah satu jalan hidupnya.
Perempuan didunia ini pasti mendambakan sosok Imam yang sholeh dan berakhlak baik. Tetapi jika Allah telah menakdirkan suatu jalan maka manusia tidak ada daya dan upaya selain menerima dan melihat hikmah dibalik itu semua.
Fiyah juga mendengarkan suatu kajian dari ustadz favoritnya yaitu Ustadz Adi Hidyat Lc, Ma. Dalam kajian tersebut Ustadz mengkisahkan seorang suami sholeh yang mempunyai seorang istri yang cerewet.
Semua yang dilakukan oleh suaminya selalu salah dan salah. Suatu ketika teman dari suami itu berkata "Sudah, kan islam ada syari'at yang lain. Coba kamu cari yang lebih baik dari istri kamu itu dan akan membuat ibadahmu kepada Allah menjadi tenang"
Tetapi alangkah luar biasanya seorang suami itu. Karena iman sudah tertancap didalam hatinya dengan senyum dia menjawab "Allah sudah menurunkan surga lewat dia, kenapa kamu ingin menjauhkan surga itu dari saya. Bukankah saat dia mengeluh saya bersabar dan orang bersabar akan masuk surga. Allah turunkan tipe istri yang seperti ini untuk mendekatkan saya kesurga, bukankan orang yang sabar dapat pahala bukankah pahala membawa kita kesurga. Allah ingin mudah saya mendapatkan pahala eh malah kamu menyuruh saya menjauh dari pahala itu"
Fiyah mencerna setiap kata yang Ustadz Adi sampaikan. Dia hanya perlu bersabar, berdoa dan berikhtiar agar Allah berikan kebaikan jalan untuk suaminya.
Kahfi dan Fiyah sudah mendapatkan izin dari Papa dan Mamanya untuk hidup mandiri. Mendapatkan izin itulah tidak semudah yang dipikirkan. Kahfi dan Fiyah harus bekerja keras meyakinkan kedua orang tuanya.
Hari ini mereka akan pindah ke rumah yang dulu ditempati Fiyah. Karena jarak rumah itu lebih dekat kesekolah dibanding rumah Mama dan Papanya menjadikannya salah satu alasan paling ampuh untuk bisa pindah.
Rumah itu terdapat 2 kamar yang terdiri dari kamar lama almarhuma kedua orang tua Fiyah dan kamar Fiyah. Rumah itu cukup besar untuk mereka berdua, tetapi selama ini Fiyah hanya tinggal sendirian semenjak kedua orang tuanya kembali kepada Allah.
"Yakin mau tinggal disini, balik kerumah mama aja ya"
Sepertinya Rahmi tidak sepenuh hati mengizinkan anak dan menantunya untuk pindah.
"Insya Allah yakin Ma, kan selama ini juga Fiyah sendiri disini. Mama jangan khawatir karena ada abang juga"
Rahmi hanya menganguk pasrah melepaskan anak dan menantunya. Ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya memutuskan untuk hidup mandiri. Memang itu baik tetapi Rahmi masih belum bisa ikhlas.
"Bang balik aja ya kerumah Mama ya"
Kahfi menghela nafas berat, sudah berapa kali sang Mama membujuknya untuk tidak pindah.
"Ma, Kahfi mau mandiri. Jarak dari rumah kesini kan gak jauh, Mama masih bisa main atau bahkan nginap disini"
"Iya iya, punya anak satu kok gak bisa ngertiin kali"
Fiyah hanya tersenyum melihat bagaimana mama Mertuanya tidak hentinya membujuk.
Angga hanya bisa pasrah dengan keinginan anak dan menantunya. Perasaan berat melepaskan juga dirasakan nya.
Setelah pindah dan menata kebutuhan mereka berdua, kedua orang tuanya meninggalkan mereka.
"Gue tidur dimana"
"Aku tidur dikamar itu, Abang disini"
Fiyah melangkah keluar menuju tempat tidur barunya. Perasaannya masih campur aduk.
Apakah dia bisa menjalankan ini semua padahal usianya masih sangat muda?
Hanya Allah yang tau.
Malam sunyi menjadi saksi bisu bagaimana Fiyah harus bisa membiasakan diri serumah dengan seorang laki-laki yang memiliki status sebagai suaminya. Fiyah bahkan masih menggunakan jilbab yang menutupi bagian kepalanya, tetapi kaus kaki tidak melekat pada kakinya lagi.
Setelah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, Fiyah memilih untuk membuat makan malam. Kulkas berukuran sedang menjadi tujuan awal untuk memulai kegiatan memasak.
Ternyata isi didalam kulkas tidaklah sesempurna pemikirannya, hanya ada beberapa telur. Sayur-sayuran sudah tidak layak untuk digunakan lagi. Fiyah mulai memasak makanan dengan bahan seadanya. Nasi goreng menjadi pilihan yang tepat.
"Bang mau kemana makan dulu"
Fiyah bersuara karena melihat sang suami sudah menggunkan baju rapi berjalan kearah luar rumah.
"Lo gak usah sok jadi pembantu gue, karena gue gak sudi makan makanan dari lo"
Kahfi berbicara tanpa sedikitpun menoleh. Dia berjalan ke arah luar dan mulai mengendarai motor kesayangannya.
Fiyah sebagai manusia biasa hanya bisa menahan rasa sesak di dadanya. Dia tidak minta cinta dan kasih sayang suaminya, tetapi dia hanya ingin dihargai.
Dia mulai makan makanan dengan suasan sunyi, tidak ada teman untuk sekedar menjadi tempat bercerita.
Terkadang Fiyah juga merasa bahwa kehidupan yang dialaminya terasa tidak adil, tetapi setelah ketakwaan kepada Allah kembali normal maka dia hanya bisa bersyukur dengan hidupnya.
Malam semakin gelap, tetapi Fiyah masih setia duduk di sofa depan TV. Perasaan khawatir akan Kahfi membuatnya tidak bisa tidur. Dia merutuki dirinya sendiri yang tidak mempunyai nomer telepon suaminya untuk bisa dihubungi.
"Duh kemana ni abang, kok belum pulang"
Detekan jam dinding tetap berjalan, tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan sang suami. Mata Fiyah tidak dapat diajak bekerja sama, karena dia terbiasa tidur paling lambat pada jam 10 malam. Tidak terasa Fiyah tidur di sofa yang berada di ruang keluarga.
Kahfi yang baru pulang melihat kondisi rumah yang masih memencarkan cahaya lampu, terlihat dengan jelas sosok perempuan tengah tertidur dengan tidak nyaman di sofa.
Kahfi tidak memperdulikan itu karena tubuhnya butuh istirahat setelah lama bermain games bersama teman-temannya.
Belum lama Kahfi memasuki kamar, Fiyah terbangun dari tidurnya. Dilihatnya jam didinding sudah menunjukan pukul 03.00 dini hari.
Fiyah masih khawatir apakah sang suami sudah pulang atau belum. Tetapi pandangan Fiyah tertuju pada sebuah sepatu yang tadi dipakai oleh Kahfi tergeletak begitu saja dilantai.
Fiyah memulai kebiasaan malamnya untuk beribadah. Malam yang sunyi adalah waktu yang tepat dalam bermunajad kepada Allah. Fiyah menikmati segala macam gerakan shalat dengan khusuk. Bait-bait doa selalu dia panjatkan kepada sang pencipta.
"Ais Gue kanapa gak bisa tidur gini. Gak bisa apa laparnya ditunda besok"
Kahfi kesal karena menahan rasa lapar. Ketika diluar dia tidak ingat untuk sekedar mengisi perutnya karena sibuk bermain games. Dia mulai melangkah kearah dapur untuk sekedar mencari makanan yang bisa mengganjal rasa laparnya.
"Abang lapar"
Fiyah yang memang sudah selesai untuk beribadah sedikit penasaran dengan suara yang berasal dari arah dapur.
"Jangan ikut campur"
Kahfi hanya fokus kepada mie yang dia masak. Padahal di dalam tudung saji sudah ada Nasi goreng buatan Fiyah. Fiyah hanya bisa sabar dengan kelakukan Kahfi.
"Lo sana masuk kamar, Gue bisa muntah kalau makan liat lo"
Fiyah menunduk menahan rasa yang tidak bisa dideskripsikan lagi dengan kata-kata untuk melangkah menjauh. Al-qur'an adalah tujuan Fiyah untuk menghilangkan rasa kekecewaan, kegelisahan dan kegalauan.
Bacaan-bacaan ayat Allah membuatnya menjadi lebih tenang, dan tanpa sadar bacaan itu sampai pada Surah Al-Baqarah ayat 216 yang berarti
"Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal dia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahuinya"
Tetesan air mata Fiyah menjadi saksi bisu indahnya waktu menunggu subuh pada hari itu.
.