NT 7

2415 Kata
Sebagaimana recana yang sudah dibicarakan, Fiyah beserta keluarga angkatnya melakukan acara makan malam. Suasana yang nyaman membuat dirinya tersenyum sembari mengingat Umi dan Abinya. "Sayang bagaimana, Apakah Fiyah setuju dengan permintaan Mama dan Papa" Fiyah belum terdiam cukup lama, meskipun dia ingin menerima tetapi ada tekanan batin yang masih dirasakan. "Ini semua Papa lakukan agar kita mempunyai hubungan sayang, sehingga tidak haram apabila Papa memeluk kamu" apa yang dikatakan Papa Angga memang benar adanya. Dengan dia menerima permintaan mereka maka Fiyah dan Papa Angkatnya menjadi mahrom. "Papa bener Nak, meskipun kalian masih Muda tetapi Mama yakin kalian bisa melewatinya" Keraguan dalam diri Fiyah mendadak hilang bagai dihembus angin. Senyum tulus dia berikan kepada dua orang didepannya. "Iya jika memang Papa dan Mama ridho, insya Allah Fiyah menerima. Tetapi apakah dia juga menerimanya Ma Pa? karena pernikahan bukan hanya tentang satu orang tetapi tentang 2 orang apalagi kami masih tergolong muda" Fiyah penasaran siapakah laki-laki itu. "Alhamdulillah dia menerimanya, Tapi Fiyah harus tau dia tidak sebaik yang Fiyah kira. Bantu Papa dan Mama untuk merubahnya. Dia anak kesayangan Papa dan Papa yakin dia tidak sejahat kelihatannya"ujar Papa Angga. Memang terasa berat menikahkan Fiyah dengan anaknya sendiri. Dia paham anaknya tidak baik bahkan telah jauh dari Allah, tetapi apakah hidayah itu tidak akan sampai dihatinya? Allahu'alam hanya Allah yang tau, manusia hanya bisa berdoa, berikhtiar dan bertawakal kepada Allah. Apapun hasilnya itulah yang terbaik. "Fiyah tidak mau bertemu dengan dia, biarkan saat akad nikah saja. Bagaimana Pa Ma" Fiyah meingin mendengar pendapat Mama dan Papanya. "Apa tidak apa-apa begitu? Fiyah tidak penasaran" "Tidak Pa, semoga Allah meridhoi niat baik kita semua" Makan malam selesai dengan berbagai jenis perasaan. Apalagi Fiyah yang sebentar lagi akan menikah. Dia tidak mempermasalahkan menikah mudah akan tetapi apakah dia bisa melewatinnya? ... Karena berbagai macam pertimbangan, akhirnya hari pernikahan Fiyah dan Kahfi berlangsung. Pernikahan yang sederhana tanpa melakukan pesta pernikahan. Itu semua atas permintaan Fiyah. Busana pernikahan yang sangat bagus ditambah make up natural, membuat Fiyah seperti boneka. Kegugupan mulai dia rasakan. Dia takut bahwa pernikahan ini malah memberikan banyak keburukan bukan kebaikan. "Umi Abi, Fiyah hari ini menikah. Doakan yang terbaik untuk Fiyah agar kelak bisa menyusul Abi dan Umi kesurga" Fiyah mengucapkannya dengan suara pelan. Tetesan air mata mulai keluar mengingat kedua orang tuanya. "Sayang kenapa menangis, kamu gak mau nikah bilang sama Mama. Mama akan membatalkannya" Rahmi khawatir dengan keadaan Fiyah. "Enggak kok Ma, cuma ingat Abi sama Umi aja makanya mewek" Fiyah tersenyum memeluk Mamanya "Masya Allah, Kirain ada apa-apa. Jangan sedih nak jadilah perempuan sholeha agar bisa membawa Abi dan Umi kesurga kelak" Rahmi mengelus pucuk kepala Fiyah dengan lembuh. "Iya insya Allah MA, doakan Fiyah menjadi anak, menantu dan istri yang Sholeha" "Aamiin. Pasti Mama mendoakan untuk kebaikan kamu nak" Akad nikah mulai berlangsung. Wali dari pihak Fiyah digantikan oleh Wali nikahan yang disediakan pihak KUA. "Saya terima nikahnya Safiyah Akhyar Binti Abdullah dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat 50 gram dibayar tunai" Kahfi melafazkan dengan sekali nafas. Sah Sah Akhirnya akad itu berlangsung dengan baik. Ya Kahfilah yang menikah dengan Fiyah. Permintaan kedua orang tua nya sangat tidak masuk akal. Menikah saat dia masih berstatus pelajar dan masih ingin menikmati masa muda. Tetapi dengan berbagai ancaman akhirnya dia menerima. "Ayo nak ketemu sama suami kamu" Rahmi mengajak Fiyah untuk turun kebawah untuk bertemu dengan Kahfi. Perasaannya masih campur aduk membuat Fiyah susah berjalan. Pandangan tertuju kepada Fiyah yang menggunakan busana serbah putih. Kahfi yang melihat itu hanya terkagum sebentar walaupun sama sekali tidak diperlihatkan. Ketika pandangan Fiyah tertuju kepada sang suami, dia kaget dan tidak menyangka bahwa sosok suaminya adalah Kahfi. Dia tau tentang Kahfi dari Anjel karena Kahfi merupakan kompoltan Bima dkk. Jantungnya bergemuruh hebat, takdir apa yang telah Allah berikan untuknya. Dia tau sorot tajam Kahfi sangat menusuk, sorot mata yang menyimpan banyak kebencian. Semoga saja hanya perasaan Fiya saja. Mereka langsung melaksanakan pemberian mahar. "Pihak istri mencium tangan suaminya" Intruksi bapak KUA. Fiyah yang berkeringan dingin langsung memegang tangan Kahfi untuk dicium. Tangannya bergetar hebat, perasaan takut lebih mendominasi. Kahfi yang merasakan tangan perempuan didepannya ini tengah kedinginan hanya bisa tersenyum meremehkan. "Alah baru megang tangan doang kedinginan minta ampun. Cupu banget ni bocah" batin Kahfi "Gue sebenarnya anti banget cium lo, tapi gue gak mau buat orang disini tau kalau gue begitu benci sama lo" Kahfi membisikan pelan ditelinga Fiyah sebelum mencium kening nya. Fiyah sadar, Kahfi memang membencinya. Moment itu tidak lepas dari potretan kamera. Fiyah langsung memeluk erat Angga. Tanpa terasa Air matanya menetes dengan deras. "Lebay banget tu bocah" lirihnya pelan. Kahfi baru mengetahui bagaimana kehidupan Fiyah, kedua orang tuanya meninggal dunia 2 tahun yang lalu. Dan sejak itu Mama dan papa nya yang mengurus semua keperluan Fiyah. Acara sederhana hanya untuk ijab Kabul saja, sedangkan untuk resepsi itu akan di adakan ketika mereka sudah lulus sekolah. . . . "Bang mandi dulu sana" Fiyah mencoba membangunkan Kahfi. Kahfi tidak mendengarkannya sama sekali. "Bang cepat mandi, bantar lagi azan asar" Fiyah tidak menyerah untuk membangunkan Kahfi. "Apan si Lo, gue ngantuk. Gak usah ngantur atau ikut campur urusan gue" Kahfi membentak Fiyah cukup keras. Lemparan bantal mendarat mulus dikepalanya. Fiyah hanya menaham tangisnya, dan mencoba menguatkan diri. Bersyukur kamar yang mereka tempati kedap suara sehingga bentakan bahkan teriakan akan sangat sulit terdengar dari luar. Dia kemudian melaksanakan kewajiban shalat. Fiyah tidak pernah menginginkan pernikahan seperti ini. Harapan nya dulu adalah mempunyai seorang suami yang sholeh, yang mampu manjadi imam dikala shalat malam atau muroja'ah hapalan sebelum tidur. Harapan tinggal harapan, Fiyah harus menerima takdir hidupnya. Akad nikah yang mereka lakukan kemaren bertepatan pada hari jum'at. Fiyah dan Kahfi mengambil izin untuk tidak kesekolah sampai hari Sabtu. Kepala sekolah yang merupakan adik angkat Ayahnya juga datang menghadiri acara akad tersebut. . . . Atas kesepakatan bersama, Kahfi dan Fiyah berangkat kesekolah bersama-sama menggunakan mobil. Kahfi sebenarnya tidak ingin menggunakan mobil karena itu bukan stylenya. Tetapi karena desakan kedua orang tuanya Kahfi lagi-lagi harus mengalah. Dia memberhentikan Fiyah di simpang yang lumayan jauh dari sekolahnya. "Turun lo" Kahfi menyuruh dengan nada yang sangat keras. Fiyah tidak banyak berkomentar. Sebelumnya disekolah yang lama dia juga terbiasa berjalan kaki. "Kenapa belum turun, lo mau telat gitu" Fiyah hanya terdiam sesaat dan mengulurkan tangannya. "Gue gak ada duit, kan duit sama lo semua" Fiyah tidak meminta duit tapi hanya ingin bersalaman kepada seseorang yang menjadi suaminya itu. "Aku mau salam" Fiyah menjelaskan maksudnya. "Ah gak usah salam salam, Jijik gue. Sekarang lo buruan keluar" Fiyah menurunkan kembali tangannya dan beranjak keluar mobil. Berkali-kali Fiyah beristigfar agar tidak menangis atau kecewa. Tin.. Tin.. Fiyah merasakan bahwa mobil dibelakang membunyikan klakson untuknya. Padahal dia sudah berjalan dipinggir jalan. "Assalamu'alaikum Fi" Salam Bima. "Wa'alaikumsalam" jawab Fiyah. Fiyah legah ternyata itu mobil Bima. "Tumben jalan, biasanya naik grab atau angkutan umum. Bareng aku aja yok" "Eh maaf Bim gak usah. Duluan aja ya" Fiyah menolak tawaran Bima. Dia tidak ingin terjadi fitnah akibat berduan saja didalam mobil. Apalagi statusnya yang sudah menjadi istri orang lain. "Lah gak apa apa. Kan kesekolah juga. Gak usah takut aku gak akan macam-macam" "Bukan gitu Bim, perempuan sama laki-laki tidak boleh berduaan aja karena yang ketiganya adalah setan" Fiyah memberikan sedikit penjelasan kepada kepada Bima. Bima yang mulai paham tidak lagi memaksa untuk berangkat bersama. Fiyah berjalan kearah sekolah dengan langkah yang cukup cepat. Bima mengikuti dengan mobilnya dari belakang. Fiyah terlalu lelah untuk menanggapi tingkah aneh yang selalu Bima tunjukan. ================================================================================= Organisasi keagamaan yang baru terbentuk mulai diperkenalkan kepada semua siswa dan siswi IHS. Karena mereka kekurangan banyak anggota untuk mulai bergerak. Tapi sudah lama mereka menunggu beberapa orang untuk ikut serta berpartisipasi tetapi tidak ada sama sekali. Perasaan kecewa sudah pasti mereka rasakan. Tetapi mereka selalu mensupport satu sama lain agar tidak menyerah begitu saja. Alhamdulillah, usaha yang dilakukan oleh Zaid, Sasya, dan Fiyah tidak sia-sia. Sekitaran ada 5 orang anggota yang ingin bergabung. Diantara 5 orang itu hanya 2 orang yang berjenis kelamin perempuan. . . . Lelah yang Fiyah rasakan cukup membuat tubuhnya ingin cepat cepat beristirahat. Sambil mengambil tas didalam kelas Fiyah melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. "Astagfirullah, Fiyah lupa kasih tau abang" Dia langsung mengambil benda kotak yang berada didalam tas. Dia mencoba untuk menghidupi smartphonenya, tetapi keadaan tidak berpihak kepadanya. Smartphone tersebut mati karena kehabisan baterai. "Fiyah, kamu bodoh sekali. Udah lupa kasih tau abang, lupa pula charger hp" Dia menggerutu terhadap kebodohannya sendiri. Sekolah lumayan sudah sepi, karena memang penghuninya sudah pulang kerumahnya masing-masing. Fiyah kebingungan harus melakukan apa, pulang dengan kendaraan umum atau menunggu. Dia kembali berpikir tidak mungkin Kahfi akan datang untuk menjemputnya. Itu terlihat sangat mustahil, karena kebencian sudah tertanam di benak suaminya. Kondisi cuaca yang mendung menemani kesendirian Fiyah di halte depan sekolah. Gemuruh hujan pun datang tanpa diundang. Dia mengangkat kedua tanganya lantas berdoa "Allahumma shoyyiban nafi'an. Aamiin" Fiyah selalu membiasakan diri melafazkan doa ketika hujan sebagaimana sabda Rasulullah dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallahu 'anha, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, "Allahumma shoyyiban nafi'an" [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]". (HR. Bukhari no. 1032) Dia mulai merasakan ketakutan yang luar biasa. Karena kondisi hujan yang yang lumayan deras ditambah angin serta petir manyambar. Dia mengeluarkan Al-qur'an agar bisa memberikannya ketenangan. Hembusan angin membuat air hujan mengenai dirinya. Fiyah hanya pasrah, dia tidak tau harus berbuat apa lagi. Berdoa adalah satu-satunya cara agar bisa diberikan pertolongan oleh Allah. Seragam sekolah yang dipakainya telah basah terkena air hujan. "Lo bodoh atau apa" seorang laki-laki berpenampilan berantakan memakai celana selutut dan kaus biasa berdiri tepat di depan Fiyah. Fiyah hanya diam karena tidak tau harus merespon seperti apa. "Gue gak tau harus ngomong apa sama lo, sehari aja gak nyusahin hidup gue bisa gak" Kahfi mulai melepas emosinya. Perasaan marah lebih mendominasi dari pada kasihan. "Maaf" Fiyah hanya mengucapkan satu kata sambil menunduk memeluk tasnya Kahfi langsung menarik paksa Fiyah untuk memasuki mobil yang terletak tepat didepan mereka. "Masuk lo" Kahfi langsung duduk di bangku sebelah kiri untuk mengemudi kendaraan roda 4 itu. Fiyah menahan air matanya agar tidak keluar. Perasaan nya campur aduk seperti es cendol yang dijual dipinggir jalan. Kahfi hanya fokus menyetir karena kepalanya sudah lelah berpikir, dia kalut ketika bangun tidur perempuan yang sudah menyandang status istrinya belum pulang kerumah. Nasib baik masih berpihak kepada Kahfi karena Mama dan Papanya berada diluar kota untuk melakukan urusan bisnis. Kalau tidak entah apa yang akan dilakukan oleh kedua orang tuanya ketika tau menantu kesayangannya belum pulang kerumah. Sesampainya dirumah, Kahfi masih enggan berbicara kepada Fiyah. Dia memasuki kamar mandi untuk mengganti baju yang basah karena hujan. Suhu tubuh Fiyah yang mulai melemah membuatnya ingin segera mambaringkan diri di tempat tidur. Fiyah memasuki kamar mandi yang ada dikamar tamu untuk membersihkan tubuhnya. Setelah selesai Fiyah memutuskan untuk tidur karena tubuhnya sudah mencapai batas pemakaian. "Cewek gila, enak banget langsung tidur" Kahfi menggelengkan kepala melihat Fiyah tidur dengan pulasnya. Pikiran Kahfi sedang tidak baik, dia memutuskan untuk keluar rumah mencari ketenangan dan mendinginkan kepalanya. Tujuannya hanya satu yaitu tempat tongkrongan biasa atau membawa motor diarea balap. Tetapi karena kondisi cuaca tidak baik, Kahfi tidak ingin mati muda. Makanya dia memutuskan untuk ke tempat tongkrongan biasa. "Tumben pakek mobil" pertanyaan itu dilontarkan oleh Bima. "Gila lo. Gak mikir hari hujan. Punya otak dipakai" Kahfi langsung menghadiahkan Bima dengan perkataan yang sangat pedas. "Sabar bro, untung kawan" celetuk Faisal diringi tawa. Kahfi mengambil sepuntung rokok untuk dihisab. Rokok menurut mereka adalah hal yang bisa menenangkan jiwa dan pikiran. Bahkan mereka dengan mudahnya berkata lebih baik tidak makan dari pada tidak merokok. Dikamar yang bernuasa putih dan abu-abu, Fiyah membuka matanya. Dia merasakan sakit kepala yang hebat. Matanya menelusuri ruangan kamar, tetapi hanya ada dirinya sendiri. "Bang" lirih Fiyah. Tidak ada jawaban sama sekali. "Papa Mama" Fiyah mencoba memanggil kembali. Tetapi hasilnya tetap sama tidak ada jawaban sama sekali. Fiyah mencoba bangkit dari tempat tidur, pandangannya buram ditambah keadaan tubuh yang lemah. Mencari pegangan adalah cara agar Fiyah mudah udah berjalan. "Bude" "Mang" Karena kamar yang berada dilantai dua, suara Fiyah tidak bisa sampai ke bawah. "Bismillah, Ya Allah kuatkan" lirih Fiyah pelan. Perlahan-lahan Fiyah bisa melangkah untuk keluar kamar. Melewati tangga dengan sangat hati-hati berhasil dilewatinya. Tapi kekuatan Fiyah tidak bisa lagi untuk menahan tububnya. Ketika pandangannya buram, Fiyah hanya melihat kilasan perempuan berdiri di ruang tamu. Setelah itu kesadarannya hilang sepenuhnya. "Astagfirullah, Fiyah" Rahmi langsung berlarian tanpa memikirkan apapun. "Mas, Mas cepat kesini. Anak kita mas" teriakan Rahmi membuat seisi rumah langsung berlarian kearah sumber suara. Angga yang sedang membuka bagasi mobil untuk mengambil beberapa berkas langsung berlari kedalam rumah. "Ya Allah Fiyah" Angga tidak kalah panik dibanding Rahmi. Angga mengangkat tubuh Fiyah yang lemah dan tidak sadarkan diri ketempat tidur yang berada dikamar. "Mas badannya panas" Rahmi sudah menangis melihat kondisi Fiyah yang pucat dan panas. "Jangan nangis, Mas telpon dokter Asih dulu" Angga langsung menelpon dokter Asih. Pikirannya kalut entah kemana-mana. Rahmi sibuk mengompres Fiyah, tidak lupa minyak kayu putih yang diolesi kebagian hidungnya. "Sayang ayo bangun, jangan buat Mama takut. Mas dokternya mana" Rahmi tidak mampu mengontrol dirinya sendiri. "Sabar, sebentar lagi datang" Angga terlihat lebih tenang dibanding saat pertama melihat menantu kesayangannya terkapar dilantai. "Ma-ma" Fiyah akhirnya sadar dan itu membuat pasangan suami istri itu sedikit tenang. "Alhamdulillah, iya sayang. Haus" Fiyah hanya mengangguk menyatakan bahwa dirinya memang haus. Beberapa menit kemudia Dokter Asih datang dan mulai memeriksa keadaan Fiyah. "Bagaimana keadaannya anak saya dok" "Anak ibu hanya terkena demam biasa akibat kelelahan. Saya kasih resep obatnya dan bisa ibu tebus di apotik" "Alhamdulillah. Makasih dok. Dan maaf merepotkan" Angga merasa tidak enak hati dengan Dokter Asih. Mereka sangat jarang memanggil dokter untuk datang kerumah, tetapi karena pikiran kacau mereka melakukan apa yang hanya ada dipikiran saat itu. "Iya sama-sama pak. Tidak apa-apa Pak, klinik saya dekat dari sini dan kebetulan tadi tidak ada pasien. Saya pamit pulang dulu pak bu. Assalamu'alaikum" Dokter itu pamit untuk pulang setelah memeriksa keadaan Fiyah. "Iya dok, Wa'alaikumsalam" Angga mengusap dengan lembut kepala Fiyah. "Kemana orang rumah Mas, kenapa tidak ada satupun" Rahmi terlihat sangat marah karena tidak ada satupun orang dirumah. "Bude tadi kepasar, karena hujan makanya belum pulang. Sekarang mamang lagi jemput. Kalau Kahfi mas gak tau" jawab Angga terlihat sama kecewanya dengan Rahmi. Angga mencoba menghubungi nomor Kahfi, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. "Kemana anak itu" batin Angga Angga kembali lagi menghubungi Kahfi dan kali ini sambungan dijawab oleh Kahfi. "Iya pa ada apa" "Pulang sekarang" Dengan nada tegas, Angga memutuskan panggilan itu sebelum Kahfi berbicara lebih lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN