Mr. Christ terlihat membolak-balikan data siswi yang menghadiri acara di Hotel Antariksa pada map di tangannya. Pria itu duduk di salah satu ruangan VVIP bersama para guru lainnya yang sudah berbagi tugas di sana.
"Malam ini ada CEO Antariksa, Pak Bram Winata, yang punya hotel ini. Jadi pastikan semuanya berjalan lancar," ujarnya dengan masih membaca formulir siswi di mejanya, "kalau kita bisa membuat beliau keluar dengan wajah bahagia, saham sekolah Aurora akan meningkat." Tambah Mr. Christ dengan mengepalkan tangannya antusias.
"Baik, Pak."
Mr. Chirst mengangguk pelan lalu menutup map di tangannya. "Berapa murid yang hadir malam ini?" Tanyanya sembari beranjak dari kursi kebesarannya.
"Kurang lebih tiga puluh siswi. Dari tingkat senior 15 orang, sisanya dari junior. Karena tahun ini banyak yang sesuai dengan kualifikasi yang kita cari, pak. Bahkan, dari mereka ada yang berprofesi sebagai model amatir." Jelas pria berkacamata tebal di depannya membuatnya mengangguk lagi, "kalau mereka bisa melayani tamu undangan kita dengan baik. Pasti mereka juga akan dapat untungnya," tambahnya lagi dengan tersenyum miring. Mr. Christ terlihat memukul pelan bahu pria itu dengan melangkah kecil kearah jendela hotel.
"Pastikan tidak ada polisi yang patroli malam ini. CCTV harus perhatikan dan sabotase biar tidak ada yang curiga, sama pastikan semua murid yang keluar dari sini harus tutup mulut dan menandatangani kontrak yang sudah disiapkan." Tuturnya tanpa melihat lawan bicaranya, pria itu masih setia menatap keluar jendela dengan tatapan jauh menerawang malam yang gelap.
Mr. Christ membalikan tubuh dan sekilas melirik jam tangannya. "Siapkan semuanya, sudah waktunya bekerja." Ujarnya dengan tersenyum samar lalu melangkah keluar dari ruangannya diikuti oleh beberapa staff yang sedari tadi bersamanya di dalam sana. Mereka pun melangkah beriringan menuju tempat dimana semua siswi berkumpul dan menunggu. Sepanjang perjalanan, mereka sesekali mengedarkan pandangan membaca situasi kalau semua rencana mereka akan lancar malam ini.
Para siswi yang berada di ruangan sontak berdiri dan menyapa Mr. Christ yang kini berdiri di hadapan mereka. Pria itu tersenyum samar lalu mengibaskan tangan menyuruh mereka duduk kembali pada kursi yang sudah disiapkan.
"Selamat malam kepada para siswi yang akan menjalani mentoring bersama tutor kompeten malam ini. Selamat juga untuk kalian semua karena bisa terpilih menjadi salah satu murid yang beruntung yang bisa langsung bertatap muka dengan tutor andalan sekolah." Ujar Mr. Christ dengan tersenyum tipis sembari memandang semua siswi yang kesenangan melihatnya, "sebelum itu, pihak sekolah akan mengajukan kontrak tertulis untuk semua yang hadir malam ini. Pastikan kalian menandatanganinya dengan baik, dan jangan lupa apa yang kalian lihat, dengar, dan lakukan malam ini hanya untuk kalian semua. Tidak bisa kalian bawa sampai keluar dari Hotel Antariksa ini, kalian paham?" lanjutnya dengan berwibawa membuat para siswi sontak mengangguk.
Mr. Christ pun mengisyaratkan kepada para staff untuk membagi kontrak ke masing-masing murid yang hadir untuk ditandatangani.
Dibelakang sana, Syaqila merunduk membaca kontrak tertulis di tangannya. Gadis itu mengkerutkan kening membaca satu-perjanjian yang harus dipenuhi. Gadis berkerudung itu merasa ada yang menjanggal di sana. Jika sampai kejadian yang ada di Hotel Antariksa sampai bocor ke orang luar, pelaku akan dikenakan denda puluhan juta dan akan dikeluarkan dari sekolah.
Syakila menggigit bibir, memandangi murid lain yang sama sekali tidak membaca perjanjian yang diajukan. Mereka terlalu terlena dengan apa yang Mr. Christ ucapkan sampai mereka lupa, bahaya di depan mata.
_____
Pemuda jangkung itu berdiri menyender pada pilar dengan melongokan kepala ke dalam pintu masuk Hotel. Sudah berjam-jam ia menunggu, tapi kembarannya belum keluar juga dari sana. Sesekali ia meringis dengan memeluk diri karena cuaca dingin yang seakan menusuk tulangnya.
"Ini acaranya kapan selesainya, sih?" Gumamnya sembari mendongak ke atas gedung menjulang tinggi di hadapannya itu, "harus bangat ketemu mentor malam malam begini? Udah mau jam dua belas malam, besok sekolah." Tambahnya masih bermonolog sendiri dengan cemas. "Gak bisa dibiarin, nih. Berasa ada yang ngeganjal sama acara ini," ujarnya lalu memilih melesat masuk ke dalam hotel dengan tergesa-gesa sampai security yang berjaga terlonjak kaget karena kemunculannya.
Pemuda itu berlari hendak masuk melangkah ke dalam koridor hotel. Namun, langkahnya terhenti karena beberapa penjaga menghalanginya.
"Mau kemana, mas? Ada kartu ID nya?" Tanyanya dengan menahan bahu pemuda jangkung itu, Syahir mengulum bibir dengan menatap kedua penjaga itu lurus.
"Laki laki dilarang masuk hari ini, kecuali yang punya ID dan undangan VVIP." Tutur penjaga yang satunya dengan mendorong tubuh jangkung Syahir agar keluar dari area hotel.
"Tapi saya harus bertemu adik saya, di dalam ada adik saya." Katanya seakan meyakinkan berharap mereka mengerti.
"Gak bisa. Harus sesuai prosedur yang disiapkan," ujar penjaga itu lagi lalu menutup pintu masuk dengan kasar membuat pemuda itu berdecak samar.
Syahir melongos begitu saja dengan melemaskan bahu. Pemuda itu menggigit ujung bibir dengan cemas. Sudah pasti acara ini tidak benar. Ada yang sekolah sembunyikan. Kenapa juga hanya para siswi yang berkumpul disana? Siswanya sama sekali tidak diundang? Apa tidak aneh?
Syahir terperanjat kecil karena getaran pada ponsel di saku celananya. Pemuda itu sontak merogoh ponselnya dan menyentuh pop up message yang masuk. Keningnya mengkerut melihat link yang dikirim padanya.
"Link apaan nih?" Ujarnya dengan menyentuh layar ponselnya pelan, pemuda itu tersentak kaget melihat layar ponselnya berwarna hitam dengan ada motif batik gold di dalam sana. "Undangan untuk VVIP Hotel Antariksa."
"Lah. Ini, kan?" Ujarnya dengan melebarkan mata kaget, pemuda itu pun sontak melangkah masuk dan menerobos penjaga dengan menyempatkan memperlihatkan undangan miliknya walau pemuda itu sempat ragu. Namun, karena penjaga mengijinkan membuatnya tersenyum begitu saja.
Syahir melangkah cepat menuju lift dan menekan tombol 24 di sana, tempat dimana perkumpulan para murid Aurora. Pemuda itu menggigit ujung bibir dengan mendongak menatap nomor merah yang setiap detiknya berubah dengan cemasnya.
TING
Pintu lift terbuka membuat pemuda itu sontak melesat keluar. Matanya mengerjap melihat di dalam ruangan besar dengan banyak makanan di dalam sana sudah tidak berpenghuni. Entah kemana semua orang. Syahir berhenti dengan mengulum bibir kembali cemas begitu saja. Sebenarnya apa yang terjadi?
Pemuda itu kembali tersentak kaget saat ada pesan masuk di dalam ponselnya lagi.
"VVIP Nomor 2." Gumamnya membaca pesan singkat entah dari siapa itu. Syahir tidak menunggu lama langsung mencari keberadaan kamar yang orang itu kirim padanya. Sepanjang langkahnya, pemuda itu bergumam dalam hati semoga tidak terjadi apa-apa dengan sang adik.
Pemuda itu menghentikan langkahnya. Melihat seorang gadis keluar dari ruangan dengan langkah terseok sembari meringis kesakitan. Bahkan terlihat rambutnya acak-acakan dan bajunya sudah tidak beraturan. Syahir mengerjap kaget saat melihat belakang gadis itu ada beberapa bercak darah yang menempel pada gaunnya.
Syahir malangkah mendekat kearah gadis malang itu.
"Elo kenapa?"
Gadis itu mendongak kecil dengan meringis lagi, "keluarin gue dari sini. Gue mohon!" Ujar gadis itu sudah menangis. Syahir hendak meraih lengan gadis itu membantu namun suara langkah beberapa orang membuat pemuda itu menoleh kaget.
"Kamu siapa? kenapa ada di sini?" Tanya guru perempuan yang kini memegang bahu gadis tadi membantu, "oh? Saya ada urusan kesini." Balas Syahir masih mencuri pandang kearah gadis yang sudah dibopong oleh pria berbadan besar keluar dari sana.
"Dia kenapa? Kenapa kayak disiksa begitu?"
"Huh? Oh? Gak. Dia gak sengaja jatuh di kamar mandi. Biar kami yang urus," kata gurunya lalu berbalik meninggalkan Syahid di koridor sendirian. Pemuda itu menggelengkan kepalanya heran lalu tersadar kalau ada Syakila yang harus ia cari.
Syahir berdiri di depan pintu kamar VVIP Nomor dua yang kini masih tertutup rapat. Pemuda itu membasahi bibir dengan sekilas menarik nafas memberanikan diri. Tangannya meraih knock pintu dan membukanya cepat bertepatan matanya menangkap sosok berpakaian hitam meloncat keluar jendela. Pemuda itu mengerjap kaget dan menolehkan kepala ke samping dan tersentak melihat seseorang diikat di ambal tempat tidur dengan wajah babak belur.
Pemuda itu menoleh ke samping pintu dan kaget melihat Syakila yang berdiri mematung di sana.
"Syakila. Elo gakpapa?"
Syakila yang masih membeku jadi mengerjap kaget dan lega melihat Syahir di sana. "Ayo pulang! Ceritanya nanti saja." Ujar pemuda itu membuat Syakila mengangguk menurut.
Keduanya melangkah cepat meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru. Syahir terlihat mengeraskan rahang merasa ada yang Aurora rencakan dengan alibi mengadakan acara pertemuan dengan tutor. Padahal Aurora perlahan memangsa para muridnya sampai tidak tersisa.
____
"Jangan cerita sama ayah dan bunda soal tadi." Ujar Syakila sembari melangkah masuk ke gerbang rumah membuat Syahir mengangguk ragu.
"Elo yakin, kan? Belum sama sekali tanda tangan kontrak itu?"
"Hm. Gue yakin," balas Syakila membuat Syahir bernafas lega.
"Dengar, besok pasti elo bakalan dipanggil sama manager sekolah. Elo harus bisa jelasin kalau lo gak tahu apa apa soal sosok yang masuk ke ruangan kalian itu." Syakila mengekerutkan kening tidak mengerti, "elo akan dicurigai berkomplotan sama orang itu. Paham, kan?"
Syakila mengangguk saja menurut. Walau gadis itu masih mengingat-ngingat tatapan sosok tadi. Sosok misterius yang muncul menolongnya. Keduanya memasuki rumah dengan menyempatkan mengucap salam membuat pria berkacamata bening yang duduk di sofa ruang tamu jadi beranjak berdiri dengan menatap keduanya lurus.
"Baru pulang?"
Syahir mengangguk pelan dengan Syakila yang menelan saliva kasar. "Ayah gak akan izinin lagi kalau sampai kalian pulang larut begini. Tidak usah ikut organisasi atau apapun itu yang menyita waktu sampai malam begini," tambah pria itu lagi tegas membuat keduanya mengangguk menurut.
"Yasudah, pergi tidur. Jangan lupa wudhu," ujar pria itu sembari mendekat dan mengusap kepala kedua anaknya bergantian, pria yang tidak lain adalah Azzam Reyhan Reswara itu tersenyum lembut kearah keduanya lalu berbalik meninggalkan mereka di sana dan masuk ke dalam kamarnya.
Syahir menoleh pelan kearah Syakila yang merunduk merasa bersalah.
"Ayo tidur! Besok sekolah,"
"Hm. Iya," balasnya sembari mengekori pemuda jangkung yang lebih dulu menaiki undakan tangga di depannya.
Syakila tersenyum samar saat kembarannya pamit dan masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu berdiri dengan mendesah panjang menatap pintu kamar Syahid yang tertutup rapat.
"Dia beneran gak peduli." Gumam gadis itu dengan merunduk memandangi kakinya terbungkus kaos kaki kulitnya, tetesan bening mengalir begitu saja pada pipi bulatnya. Syakila pun sekilas kembali memandangi pintu kamar Syahid lalu melesat masuk ke kamarnya.
Di dalam sana, tanpa mereka tahu. Pemuda bertatapan dingin itu masih duduk di kasur empuknya dengan tatapan jauh dan lampu kamar yang dimatikan. Pemuda itu beranjak berdiri dengan membuka hoodie hitamnya dan menyampirkan di kursi belajarnya menyisahkan kaos hitam saja yang melekat pada tubuhnya.
Tatapannya tajam dengan mendongak menatap gelapnya malam di atas sana. Pemuda itu bergerak kecil saat pintu kamarnya diketuk dari luar membuatnya menoleh dan melangkah mendekat. Tangannya meraih pelan knock pintu dan membuka menampilkan ayahnya yang kini berdiri menatapnya.
"Darimana saja kamu? Kenapa setiap hari pulang malam?"
Syahid terdiam dengan memandangi ayahnya lurus. Pemuda itu menghela panjang masih membalas tatapan dingin ayahnya, persis seperti tatapannya sekarang.