6. Membalas Hasrat yang Diabaikan

1673 Kata
“Ayo tidur denganku! Aku akan membuatmu melupakan kekasihmu itu!” Ranu berbicara lembut, namun setengah mengancam tepat di hadapan wajah Hana. Ia memiringkan kepalanya hendak mencium bibir Hana. Gadis itu berusaha meronta melepaskan diri. Sebelum hasrat Ranu sempat tersampaikan. Seseorang tiba-tiba menarik kerah bajunya dan dengan kasar membantingnya ke sisi lain lantai atap itu. Ranu bangun, namun sosok pria yang membantingnya sudah pergi membawa Hana. * Chanyoel terus membawa Hana berlari hingga ke luar gedung. Ranu yang sempat membuntuti keduanya kehilangan jejak. Sesampai di luar gedung, Chanyoel menghempas pegangannya hingga Hana terseret dan jatuh di lantai. Chanyoel menatapnya dengan amarah. Nafasnya tersengal-sengal setelah berlarian. Hana hanya tertunduk sembari mengelus-ngelus tangannya yang tampak memerah setelah diseret paksa saat berlari tadi. “Kau! Sebenarnya sejak awal aku tak pernah yakin denganmu!” Marah Chanyoel dengan nafas yang masih memburu. “Jangan coba-coba menyakitinya! Aku peringatkan jangan sampai kau menyakiti atau mengkhianatinya!” Suara Chanyoel semakin meninggi. “Jika sampai ia terluka karenamu! Aku akan menemukanmu dan membalaskannya padamu, ingat itu!” Ancamnya seraya meninggalkan Hana di sana seorang diri. * Setelah Chanyoel pergi, handphone Hana berbunyi. Ia meraba-raba tasnya dan menemukan handphonenya. Saat ia melihat ke layar, tertera nomor yang sangat ia kenal. “Ya ...?” Hana menjawab teleponnya setelah berusaha menetralkan perasaannya. “Kau sudah di rumah?” Tanya suara di seberang sana. “Belum. Aku ... aku sedang berada di luar gedung.” “Oh ... aku pikir kau sudah pulang. Maaf ... aku tak bisa menemuimu ke sana. Mungkin sekitar satu jam lagi kami kembali.” “Tidak apa. Aku juga akan pulang.” “Bagaimana kakimu?” “Kakiku baik-baik saja. Bukankah tadi aku bisa langsung berdiri. Itu tidak sakit sama sekali.” “Segera obati bila kau sampai di rumahmu nanti. Dan ... terima kasih sudah datang hari ini. Oh ya ... apa teman yang kau maksud tadi itu, Ranu” “Iya ... aku bertemu dengannya saat pulang. Aku tidak nyaman menolaknya karena ia sudah membelikanku tiket itu. Sekarang ia sudah pulang.” “Tidak apa. Asal kau bisa menjaga dirimu dan tak melupakan kata-kataku. Sebaiknya kau juga segera pulang. Ini sudah hampir tengah malam.” Hana tersenyum perih, “Iya” jawabnya dengan air mata yang terus menetes. “Selamat malam. Aku akan menghubungimu nanti. Pulanglah dan hati-hati.” Sambungan telepon pun berakhir. Hana memeluk kedua lututnya dan menangis sesenggukan di sana. Ia tidak menyangka akan mengalami semua ini. Ia sungguh tak menyangka Ranu punya pikiran lain dan berusaha melecehkannya. “Jangan terlalu dekat padanya.” kata-kata Baek Hyun terlintas di pikirannya. “Jangan pernah berdua dengannya di tempat sepi.” Hana menekan erat kedua telinganya dengan ke dua tapak tangannya sendiri. Hana menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dan menangis histeris menolak kenyataan bahwa ia telah mengabaikan peringatan itu. Namun nyatanya, dia mau saja diseret ke tempat sepi itu. Andai saja Chanyoel tak berada di sana dan menolongnya. Mungkin hidupnya sudah hancur sekarang. *** Kali ini Ranu tidak beruntung. Setelah sekian lama mendekati dan meluluhkan Hana, usahanya justru berakhir dengan penolakan. Parahnya ia juga dibanting oleh sosok yang tidak sempat ia kenali. Sosok itu telah membawa lari Hana darinya. “Lihat saja. Aku tidak akan berhenti di sini. Seorang Ranu tidak pernah gagal mendapatkan apa yang ia inginkan. Apalagi perempuan rendahan sepertimu,” ujarnya penuh dendam. *** “Mara ... Mara ... coba lihat pria ini. Bukannya dia adik tirimu? Dia pernah tinggal bersama kalian bukan?” Seorang wanita paruh baya datang menghampiri Mara sembari memperlihatkan foto Suho di sana. “Iya benar. Dia adik tiriku.” “Waaah... dia hebat sekali sekarang. Dia sudah jadi artis terkenal, tapi kenapa ia tak pernah datang ke sini menjenguk kalian?” Pertanyaan itu sengaja diajukan, karena perempuan itu tahu bagaimana buruk dan kasarnya perlakuan Mara dan ibunya pada Suho setelah ayahnya meninggal. Setelah lulus Sekolah Dasar, Suho tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Ia disuruh bekerja untuk menambah uang belanjaan di rumah itu. Tak jarang Suho mesti menahan lapar, karena makanan di rumah sudah habis saat ia kembali ke rumah seusai bekerja. Wanita itu tahu, karena ia pernah menemukan Suho hampir pingsan di jalanan. Suho kecil tak sempat makan sejak kemarin hingga siang, saat ia ditemukan dalam keadaan lemas. Setahunya pula. Suho pergi karena memang kerap diusir oleh Mara dan ibunya. “Lebih bagus lagi kalau kau tak usah pulang! Kau hanya biang kerepotan dan masalah di rumah ini!” itulah kata-kata yang dilontarkan Mara dan ibunya pada Suho. “Tentu saja dia tidak pernah ke sini. Bibi lihat sendiri dia selalu sibuk bukan?” “Kalau kau bertemu dengannya, minta tanda tangan untukku ya. Sampaikan salamku untuknya juga. Suruhlah ia sekali-kali datang menjenguk kita di sini.” “Baiklah. Akan kusampaikan bila bertemu nanti. Aku pergi dulu.” Di belakang Mara, wanita itu tersenyum kecut. “Apa Suho masih mau bertemu dengan mereka setelah perlakuan mereka dulu?” * Mara menggaruk-garukan kepalanya yang tidak gatal. Jika Suho tidak seperti sekarang, akankah ia menyesal seperti ini? Pria dekil, kurus dan hitam itu, kini berubah sebaliknya. Dia sudah bukan seperti Suho yang dulu. Sangat jauh berbeda. Dia juga kaya raya dan dicintai banyak orang. Mara menyesal. Kenapa dulu ia tidak memiliki perasaan kasihan dengan adik tirinya itu. Catatan : Setelah diusir, Suho menjalani kehidupan sebagai pengamen jalanan. Ia juga melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP. Suho juga menabung uangnya untuk membeli gitar yang 3 tahun kemudian ia gunakan bersama Baek Hyun untuk mengamen di jalanan. *** Hana berdiri di halte menanti bus jurusannya lewat. Ranu diam-diam memerhatikannya kemudian membuntuti bus yang Hana tumpangi. Di dalam mobilnya Pria itu tersenyum nakal. “Kau bisa saja lepas dariku kemarin, tapi kali tidak! Hana, Hana ... apa kau belum pernah mencobanya. Bisa-bisanya kau memilih lari ketimbang menikmati malam bersamaku. Apa kau hanya berpura-pura saja, atau itu hanya ketakutanmu saja? Belum ada yang menolakku sebelumnya. Kau membuatku penasaran saja. Mungkin kali ini aku perlu memaksamu.” Perjalanan memakan waktu hampir setengah jam. Hana berhenti di persimpangan dan berjalan kaki menuju rumahnya. Ranu terus membuntutinya dengan jarak yang terjaga. Hana tiba di depan rumahnya yang berpagar besi. Setelah membuka kuncinya, perempuan itu masuk, lalu mengunci pagarnya kembali. Ranu diam-diam memanjat pagar yang memang tidak terlalu tinggi itu. Sesaat setelah perempuan itu membuka pintu rumahnya, tiba-tiba Ranu menutup mulut dan hidung Hana dengan saputangan yang sudah diberinya obat bius. Hana terkejut. Sempat terbesit dalam pikirannya ini ulah Baek Hyun. Tapi tekanan tangan yang menutup mulut dan hidungnya itu terasa lebih kuat dan memaksa. Hana sempat meronta karena tak bebas bernafas. Belum lagi ada aroma menyengat menusuk hidungnya. Akhirnya gadis itu tak sadarkan diri. Ranu melepasnya begitu saja hingga tubuh Hana jatuh ke lantai. Ia ingin memastikan apakah gadis itu benar-benar pingsan atau hanya berpura-pura pingsan. Setelah yakin dengan keadaan Hana. Ranu mengangkatnya, membawanya masuk ke rumah itu lalu membaringkannya di sofa. Ia belum tahu tata letak ruang-ruang dalam rumah itu. Dengan pongahnya ia berjalan meneliti sudut dan ruang rumah itu. Setelah menemukan sebuah kamar yang ia yakini sebagai kamar tidur Hana, pria itu tersenyum puas. Ia meninggalkan kamar itu dengan pintu yang masih terbuka. Ranu beranjak ke dapur mengambil air dan meminum pil yang sudah disiapkan semenjak awal. Ia juga mengeluarkan satu pil lagi lalu bergegas menghampiri Hana yang masih belum sadar. Dengan lengannya ia mengangkat kepala perempuan itu sedikit dan tangan yang satunya memasukkan pil ke mulut Hana. Tak lupa ia memberi air minum sembari menjepit hidung gadis itu agar ia menelan air dan obatnya. Dahi Hana berkernyit. Mata gadis itu mulai terbuka, namun ia masih belum sepenuhnya sadar. Meski demikian ia dapat merasakan seseorang sedang mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di tempat tidur. Ia juga merasa seseorang sedang menindihnya saat ini. Dengan jari-jarinya, Ranu menapis helai-helai rambut Hana yang menutupi sebagian wajah dan lehernya. “Malam ini aku akan membalas hasrat yang kau abaikan saat itu,” bisiknya sembari bangun dari sana. Pria itu Ia mulai membuka kancing bajunya satu demi satu, kemudian melepas kemeja yang ia kenakan itu sambil tersenyum pada Hana. “Kau sudah sadar?” Tanyanya lembut. Hana tak menjawab. Ia mulai sadar sesuatu yang buruk akan menimpanya dan perasaan takut mulai merasuki jiwanya. Ia menggelindingkan tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih ke sisi ujung ranjang, menjauhi pria yang kini tak menggunakan busana apa pun itu. Sayangnya Hana kalah cepat. Ranu dengan cepat menyusulnya, dan mengurung tubuh Hana di antara kedua lengan dan kakinya. Kedua tangan Ranu mencengkeram kerah baju yang Hana kenakan lalu menyentaknya dengan kasar hingga kancing-kancingnya terlepas. Hana hanya bisa menangis sambil mencoba melepaskan diri. Kedua tangannya sibuk mendorong wajah pria yang berupaya mencumbunya itu. Merasa niatnya terhalang oleh tangan-tangan yang tak begitu bertenaga itu. Ranu mencengkeram kedua tangan itu dan menekannya di kedua sisi kepala Hana. “Ranu aku mohon jangan lakukan ini,” tangisnya mengiba. Hana tak sanggup berteriak atau meminta tolong. Sia-sia saja. Siapa yang akan mendengarnya. Menangis dan memohon adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan belas kasihan pria itu. “Hana ... Hana, dengarkan aku. Coba kendalikan dirimu, dan terima aku.” Ranu menurunkan wajahnya untuk mencumbu bibir Hana. Gadis itu hanya bisa memalingkan kepalanya, hingga ciuman itu jatuh di sisi wajahnya yang lain. “Ranu, lepaskan aku, aku mohon lepaskan aku. Aku tidak bisa lakukan ini,” tangisnya. “Tidak, kali ini tidak akan. Aku akan mengenalkanmu pada dunia percintaan yang sesungguhnya. Coba nikmati yang kau rasakan Hana. Jika kau melawan, kau hanya akan kesakitan,” ujar Ranu di telinga Hana di tengah ciumannya yang mulai memanas. “Aku tidak mau! Jangan memaksaku! Aku mohon lepaskan aku, lepaskan!” Tangis Hana geram. Ranu tak melepas tangan Hana yang masih saja mencoba melawan. Dengan kedua tangannya yang masih menggenggam tangan gadis itu. Ranu memalingkan wajah Hana agar menghadap langsung ke wajahnya. “Sayang ... tidak ada wanita yang tidak melakukan ini. Kau beruntung bisa melakukannya bersamaku. Aku akan membuatmu tidak melupakan kenangan ini,” rayunya sembari menurunkan wajahnya untuk mencium bibir Hana. Perempuan itu berusaha meronta, tapi tangan Ranu terlalu kuat mengunci di kedua sisi kepalanya hingga ia tak bisa menghindar lagi. Hana hanya bisa menangis pasrah sembari memejamkan matanya rapat-rapat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN