Tempat tinggal Zhen yang baru berada dalam sebuah bangunan 2 lantai. Suasana tempat itu begitu nyaman, tenang, juga bersih. Setelah melaporkan diri, Zhen diantar seorang gadis yang sepertinya seumur dengannya menuju kamar yang sudah dipesankan untuknya.
“Masuklah … aku sudah membersihkannya kemarin. Kau tinggal merapikan barang-barangmu dan beristirahat,” ujar perempuan muda yang merupakan anak dari pemilik kontrakan itu.
“Terima kasih. Oh ya … aku akan langsung membayar uang sewanya untuk tiga bulan.”
“Kau ingin membayarnya lagi?”
“Lagi? Aku sama sekali belum membayar apa pun.”
“Temanmu sudah melunasinya. Dia membayarnya untuk satu tahun ke depan”
“Haaa?!” Zhen tersentak kaget.
“Dia tidak memberi tahumu?”
Zhen menggeleng.
“Berarti kau harus menanyakan dengannya nanti. Maaf aku harus pergi dulu. Selamat beristirahat.”
“Iya terima kasih.”
“Apa aku harus bertanya padanya?” Zhen menatap nomor handphone Baek Hyun layar handphonenya.
“Padahal dengan menemukan tempat ini saja aku sudah merasa terbantu. Kenapa ia membayar uang sewanya juga. Satu tahun lagi. Bagaimana kalau aku tidak punya uang yang cukup untuk membayarnya.”
“Ah ... “Zhen membuang nafas sembari menyimpan handphonenya kembali. Ia membatalkan niatnya lalu menyibukkan diri dengan merapikan barang-barangnya.
*
Baru saja merebahkan badannya untuk beristirahat, handphone Zhen tiba-tiba berbunyi. Perasaan Zhen kembali berdesir. Pria yang ingin ia hubungi tadi kini justru menghubunginya.
“Kau sudah sampai?”
“Iya, sejak tadi … aku baru selesai merapikan barang-barangku.”
“Kenapa kau tidak mengabariku?”
“Aku minta maaf. Aku pikir, aku akan mengganggumu ... Itu …” Zhen ragu melanjutkan kata-katanya.
“Apa?”
“Kenapa kau membayar uang sewanya terlebih dahulu? Uang sewa selama satu tahun juga terlalu banyak untukku. Bagaimana aku membayarnya nanti?”
“Ada orang lain yang ingin mengontraknya, jadi aku membayarnya terlebih dahulu. Kau tenang saja. Anggap saja itu hadiah selamat datang dariku.”
“Tidak, itu terlalu banyak. Dengan mencarikan tempat ini saja, aku sudah sangat terbantu. Aku tidak nyaman jika kau membayarnya untukku.”
“Tidak bisakah kau hanya mengucapkan ‘terima kasih’ saja?”
“Iya, terima kasih. Aku akan membayarmu kembali.”
“Maaf … kalau urusan itu mungkin aku tak punya waktu untukmu,” jawab Baek Hyun sembari tersenyum.
“Kalau begitu kirim nomor rekeningmu saja.”
“Aku tidak hafal nomornya, juga tidak tahu di mana aku menyimpannya. Aku juga tidak punya waktu untuk mencarinya.”
“Lalu bagaimana aku membayarnya.”
“Karena itu keinginanmu sendiri, jadi kau pikirkan itu nanti. Yang penting sekarang adalah kau berfokus menata hidupmu di sini, juga berfokus pada pekerjaanmu.”
“Pokoknya aku akan membayarmu saat bertemu nanti.”
“Kalau begitu berusahalah untuk bisa bertemu denganku.”
***
Zhen mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah kafe. Pekerjaan itu bukanlah pekerjaan tetap. Dia hanya pengganti sementara karena orang yang ia gantikan sedang cuti melahirkan. Zhen bersedia menerimanya karena ia tak mau melewatkan kesempatan itu. Kebohongannya pada Baek Hyun membuatnya kesulitan sendiri. Ternyata tidak mudah mendapatkan pekerjaan di kota besar itu. Apalagi latar belakang Zhen yang tidak jelas. Untunglah ia mampu dengan segera menyesuaikan diri bekerja di sana. Biar bagaimana pun, di masa lalu. Zhen pernah melakukan pekerjaan yang sama. Hanya saja ia tidak mengingatnya.
Seminggu berlalu. Zhen mulai terbiasa dengan kota itu. Naluri yang berasal dari masa lalunya tanpa sadar membuatnya begitu cepat hafal situasi kota. Terkadang Zhen merasa seperti pernah melihat, atau menyusuri tempat itu. Mungkin memang pernah, bukankah ia kehilangan ingatannya?”
***
Zian Li baru saja masuk ke dalam kafe tempat Zhen bekerja. Saat sedang memesan menu dengan salah satu pelayan kafe, tanpa sengaja ia melihat Zhen yang sibuk meletakkan menu di atas meja pelanggannya. Setelah meletakkan menu-menu yang dipesan. Zhen membungkuk dengan sopan seraya tersenyum, lalu berjalan ke arahnya. Mata keduanya sempat bertemu, karena Zian Li memang sedang memandangi Zhen. Gadis itu hanya mengangguk sopan seraya tersenyum dan melewatinya begitu saja seakan tak pernah mengenali Zian.
Zian Li terheran. Bukannya cuek atau marah, atau menunjukkan sikap tidak suka. Justru sebaliknya, Zhen yang Zian Li kenal sebagai Hana malah bersikap ramah dan sopan. Di masa lalu, Zian Li pernah mengatakan secara terang-terangan kalau dia menyukai Hana. Meski pria itu sudah beristri, tapi perasaan sukanya pada Hana membuatnya melakukan cara apa pun agar bisa mendapatkan gadis itu. Zian beralasan, ia menikahi Celen karena perempuan yang kini menjadi istrinya itu terus-menerus mengejarnya. Karena Zian terus-menerus berusaha mendekatinya, Hana akhirnya memilih pergi dan berakhir dengan menjadi sosok Zhen yang sekarang. ‘Zhen’ nama yang sempat terbaca pada papan nama yang dikenakan Zhen pada seragamnya.
“Zhen? Kenapa namanya jadi Zhen?” Zian terheran. “Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Aku harus memastikannya,”
*
Zhen baru saja selesai dengan pekerjaannya. Baru beberapa langkah meninggalkan kafe. Seseorang datang menghampirinya.
“Zhen?” panggilnya.
Perempuan itu menoleh dan menatap pria yang memanggilnya itu, heran. “Bukankah pria ini yang berada kafe tadi?” Pikirnya.
“Kau mengenaliku?” Tanyanya.
“Tentu saja aku mengenalimu. Apa kau sudah lupa denganku? Kau meninggalkan rumah begitu saja dan kembali …” Zian Li menghentikan kalimatnya.
“Apa maksud pertanyaanmu tadi? Kenapa kau bertanya seakan kita tak mengenal?” Lalu kenapa ... namamu menjadi Zhen?” Zian menyimpan pertanyaan terakhir itu dalam hatinya. “Memang ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Hana”
“Meninggalkan rumah? Apa kita pernah tinggal bersama?” Tanya Zhen heran.
“Tentu saja ... kita tinggal dalam satu rumah dan hampir menikah.” Zian menambah kebohongan di ujung kalimatnya.
Zhen terperangah sampai kakinya mundur beberapa langkah.
“Ada apa denganmu? Kau bahkan cuek dan tidak peduli denganku tadi.”
“Aku … aku tidak ingat apa pun. Aku mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatanku. Aku bahkan tidak tinggal di sini kemarin. Pantas saja … pantas saja aku merasa tidak asing dengan kota ini. Aku benar-benar pernah tinggal di sini.”
“Tentu saja … kau yang meninggalkanku dan kota ini.” Zian Li berkata dengan wajah memelas.
Dalam hatinya pria itu merasa senang. Sudah jelas sekarang. Hana kehilangan ingatannya, dan ia akan memanfaatkan keadaan ini. Ia akan membuat gadis itu tetap menjadi Zhen dan menikahinya seperti harapannya dulu. Zian ingat bagaimana usahanya mendapatkan Hana dulu. Bahkan demi Hana, Zian rela akan menceraikan istrinya sendiri. Tapi Hana tetap saja menolaknya bahkan pergi meninggalkannya. Sekarang ia sudah tinggal terpisah dengan istri dan anaknya. Ia memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan Hana kembali.
***
Beberapa hari kemudian Zhen terus dilanda kegelisahan. Ia juga disibukkan dengan persiapan pernikahannya dengan Zian yang katanya sebatang kara. Tentu saja Zian yang mengusulkan pernikahan dadakan itu. Ia ingin sesegera mungkin memanfaatkan keadaan Hana yang sekarang kehilangan ingatan itu. Jika Hana sudah menjadi istrinya, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa karena terikat dengannya. Lebih lagi jika mereka memiliki anak.
Untuk membuat gadis itu semakin yakin dan simpati padanya. Zian bercerita kalau orang tua satu-satunya terkena serangan jantung dan meninggal setelah mengetahui pernikahan mereka batal lantaran Zhen yang mendadak pergi. Zhen adalah menantu kesayangan ibunya. Sekarang Zhen terus bertanya-tanya, “Bila dirinya memang sudah sedekat itu pada Zian kenapa ia bisa pergi sampai sejauh itu? Padahal mereka akan menikah. Ia menantu kesayangan ibunya Zian? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Zhen menatap nomor kontak Baek Hyun di handphonenya. Ingin sekali ia menceritakan hal ini. Tapi ia merasa tak punya ikatan apa pun yang membuatnya merasa wajar berbagi dengan seorang Baek Hyun. Di sisi lain, ia tak ingin Baek Hyun mengetahui kalau sebenarnya dia sudah punya kekasih di masa lalu, dan akan menikah sekarang.
“Akh … apa yang sebenarnya yang kupikirkan?”
Saat larut dalam kekalutannya, Zian datang menghampiri Zhen yang duduk menunggunya.
“Maafkan aku memaksamu seperti ini.” Zian duduk di samping Zhen.
“Aku tak ingin berpisah denganmu lagi. Dan lagi, menikah denganmu adalah pengharapan terakhir ibuku sebelum meninggal. Kau mungkin tak bisa membayangkan betapa hancur dan terlukanya dia saat tahu kau menghilang. Dia sangat menyayangimu. Dia sangat menyayangimu bahkan melebihi denganku yang memang putra kandungnya sendiri. Zhen … aku mohon terima aku kembali,” pinta Zian sembari menggenggam tangan gadis itu.
Zhen mengangguk. Batinnya mencoba menerima kenyataan ini meski sebenarnya ia tak memiliki perasaan apa pun. Setidaknya saat ini, ia bisa menemukan seseorang yang tahu dirinya dan masa lalunya. Jika ingatan itu kembali, ia pasti mendapatkan kembali perasaannya pada Zian.
“Bolehkah aku tahu satu hal?” Tanya Zhen pada Zian.
“Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya.”
“Apakah di masa lalu, aku pernah menyukai EXO?”
Zian sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Tapi ia bisa menyembunyikannya dari Zhen. Masalahnya, ia tidak tahu apa-apa soal itu. Tapi EXO memang terkenal sejak dulu. Mungkin Zhen bertanya karena sekarang ia menyukai EXO.
“Iya … itu adalah grup favoritmu. Dahulu kau sangat menyukainya. Kau sampai menonton konsernya tanpa membawaku.”
“Lalu siapa yang paling kusukai di antara mereka?”
Lagi-lagi perasaan Zian tersentak. Tapi ia mencoba tersenyum.
“Kau menyukai semuanya, dan aku sering merasa cemburu karena itu.”
***
Chanyoel memasuki gedung yang akan menjadi tempat penyelenggaraan pernikahan temannya. Pria itu menggunakan stelaan rapi, masker dan topi yang sukses menyamarkan dirinya sementara waktu. Untuk sampai pada aula tempat acara berlangsung. Chanyoel berjalan melewati ruang demi ruang. Pada salah satu ruang yang sempat terbuka lebar karena seseorang sedang keluar dari sana. Tanpa sengaja mata tajamnya menangkap sosok yang sekilas tak asing sedang duduk di sana. Chanyoel sempat mengabaikannya, dan terus berjalan. Tapi tak berapa lama, langkahnya terhenti. Kata hatinya memaksa untuk memastikan kembali penglihatannya tadi.
Chanyoel memutar badanya dan kembali ke ruang tadi. Meski agak ragu, Chanyoel akhirnya memberanikan diri membuka pintu itu, dan benar saja. Zhen sedang duduk termenung di sana berbalutkan gaun pengantin di tubuhnya.