Aku ingin begini ....
Aku ingin begitu ....
~oOo~
Rencananya gue mimpi biar bisa bebas ngelakuin apa aja. Eh, malah begini. Terjebak di suatu tempat, dijadiin karakter yang lupa ingatan, dikasih alur sama konflik yang kayaknya sih ngerepotin banget. Hadeh.
Untungnya ada si Sally. Walaupun dia enggak begitu membantu. Tapi udah cukup bikin otak gue yang pas-pasan, ngebuat rencana untuk ke depannya kayak gimana. Dia juga ngasih tahu beberapa kekuatan yang gue miliki, sekaligus cara pengaktifannya.
Tapi semua skill gue itu kayaknya cuma buat bertahan deh, enggak ada yang bisa dipake buat serangan mematikan. Ditambah gue enggak punya s*****a. Ya Lord! Gimana ini? Mana banyak banget lagi orang-orang yang ngedeket ke arah gue.
"Ingat pesanku tadi, jangan bicara bila tidak disuruh." Kejam banget gue, maaf.
Dia ngangguk sambil megang erat-erat pedang yang udah dibungkus jubah hitamnya.
Grudug! Grudug! Grudug!
Banyak banget kuda plus gerobaknya. Bener kata gue tadi, lebih dari 100 orang, kompoynya aja masih panjang ke belakang. Dan, tepat di depan gue yang berdiri di pinggir jalan. Gerobak kuda pertama berhenti. Yang lain juga berhenti.
Semua gerobak ditutup semacam kain warna kecokelatan, yang dibuat melengkung di atasnya, ngebantuk setengah lingkaran. Jadi barang bawaan yang ada di dalam enggak keliatan.
Seorang bapak turun lewat belakang, nyamperin gue. Si Sally udah siap aja masang kuda-kuda. Langsung gue getok kepalanya pelan, sambil ngasih kedipan mata biar dia tenang.
"Demi Bapak yang sedang istirahat di rumah .... Beruntung sekali kami bisa bertemu dengan pendekar pedang suci di tempat sepi seperti ini." Si bapak nyerocos sambil nyamperin ke arah gue. "Perkenalken, nama saya Su-kar-di. Saya ketua dari semua pedagang ini."
Ooo, jadi mereka ini pedagang. Alhamdulillah, gue kira rombongan prajurit.
Pak Sukardi ngulurin tangannya buat dijabat.
"Siapa gerangan nama Anda?" Dia langsung nanya pas tangan kami saling berpautan.
"Mhhh ...." Jujur jangan ya? Gue ngeliat ke arah si Sally, tuh anak diem aja. Eh iya, kan gue suruh diem tadi ya. "Iqbal," jawab gue singkat.
Bibir pak Sukardi membulat, sambil ngeluarin bunyi 'O'. "Dan, ini siapa pendekar Iqo?" Lah gue dipanggil Iq dong, pake qolqolah lagi. Apa di sini cara nyebut nama orang begitu?
"Dia ... muridku, Pak Suk. Namanya Sally." Hayo loh si Sally dipanggil Sel doang nih, atau Sal. Pengen ketawa gue.
"Hai Sally." Idih, kok manggilnya lengkap. Jirrr.
"Apa jenis aliran pedang Anda, pendekar Iqo?" Gue masih sebel, kenapa coba manggilnya Iqo? Aliran? Gue belum mikirin jawaban buat pertanyaan itu.
"Mmm, nnn, eee, hhh .... Aliran tanpa pedang." Lah, kok? b**o banget gue! Mana ada pendekar pedang aliran tanpa pedang.
"Wah! Ternyata rumor itu memang benar adanya. Beruntung sekali saya bisa bertemu dengan Anda." Seneng banget muka pak Suk. Pada gue jawab ngasal tadi. "Kebetulan, beberapa pengawal kami sedang terluka. Mungkin sedikit lancang, tapi, maukah Anda mengawal kami sampai ke kota?"
Gue diem, ragu. Apa bener yang dia omongin? Atau jangan-jangan ini cuma jebakan?
Jadi keinget obrolan gue sebelumnya sama si Salsa, eh. Maksud gue Sally. Gue langsung fokusin mana ke mata gue, secara instan penglihatan gue manajam, enggak sampe tembus pandang sih, cuma kayak sinar X-ray. Eh, itu tembus pandang ya. Bodo amatlah, gitu aja pokoknya.
Dari dalam gerobak gue bisa lihat beberapa orang dalam gambaran sinar X-ray. Ada yang patah tangan, tulang rusuk, tulang leher geser, dan yang lebih parah, palanya pecah.
Gue nelen ludah, langsung balikin lagi penglihatan gue ke mode normal. Gue fokusin mana ke idung. Langsung kecium bau darah yang lumayan menyengat. Jumlah yang luka-luka juga banyak. Kenapa bisa begitu?
"Sebelumnya saya mau bertanya, boleh?"
"Silakan." Raut wajah pak Sukardi jadi fucek, eh. Pucet maksud gue.
"Kenapa bisa banyak yang terluka?" Bulet, padat, bolong tengahnya. Apasih ... itumah kue donat.
Pak Sukardi ngasih kode ke arak-arakannya. Jangan-jangan mereka mau nyerang gue?
"Pasang tenda! Kita istirahat di sini!" teriak orang yang dikasih kode tadi. Fiuh! Kirain mau apa.
"Di sepanjang perjalanan kami sampai ke mari, entah kenapa banyak sekali monster yang datang menyerang." Sedih gue dengernya, nada suaranya itu loh mendramatisir banget. "Bahkan beberapa dari kami harus membantu para pengawal untuk melawan monster-monster tersebut." Kaki pak Suk langsung lemes dong, dia duduk di akar pohon, kepalanya tertunduk lesu. Gue pun ikut duduk, si Sally enggak ikutan, dia patuh banget sama perintah gue.
"Apa Anda sudah tahu, Tuan pendekar?" Nah, akhirnya enggak ada nama dengan qolqolah.
"Tentang apa?"
"Tentang ... kemunculan Iblis?" Bulu kuduk gue meremang. Langit senja mulai menjingga, bakalan jadi dongeng sebelum tidur nih.
Gue tatap si Sally, dia masih patuh, enggak ngelakuin gerakan tanpa diperintah. Sedangkan pedagang lain sibuk bikin tenda.
"Sally! Duduk kemari." Gue perlu bantuan buat jawab pertanyaan yang enggak gue tahu. "Kamu boleh jawab pertanyaan yang kamu tahu," bisik gue sama tuh anak.
"Pak Suk, sebenarnya ada monster level tinggi menyerang saya, dan sekarang saya masih menerima efek confused akibat pertarungan itu." Sorry gue bo'ong nih.
"Demi Bapak di rumah! Pantas saja dari tadi Anda terlihat bingung." Emang gue beneran bingung, pak!
"Berkat bantuan Sally, saya bisa selamat dari pertarungan tersebut." Pak Sukardi langsung ngeliatin si Sally, dengan tatapan takjub. Sally ngeliatin gue dengan tatapan bingung. Langsung gue kasih kode pake kedipan mata genit biar dia ngikutin skenario yang gue buat.
"Beberapa waktu yang lalu, kerajaan wek! Kedatangan ta—"
"Tunggu! Kerjaan apa tadi, Pak?" Kayaknya gue salah denger deh.
"Wek!" Tuhkan, kok suaranya kayak efek suara bebek yang sering dipake yutuber.
Gue tatao si Sally. "Master, nama kerajaannya wek."
"Oke stop! Sepertinya saya juga mengalami gangguan pendengaran." Kenapa nama kerajaannya disensor gitu coba?
"Mungkin itu juga bagian dari efek serangan monster yang Anda lawan." Monster di mana? Gue cuma bo'ong tadi. Dasar bapak-bapak, percaya aja lagi sama gue.
"Oke lanjutkan."
"Jadi beberapa waktu lalu, kerajaan wek mendapat kunjungan dari para iblis." Sebel gue sama bunyi wek. "Sejauh ini ada tiga iblis yang baru diketahui identitas serta kekuatannya. Seharusnya informasi ini sudah diketahui pendekar pedang suci, tapi karena Anda sedang mengalami sedikit 'gangguan', dengan senang hati akan saya jelaskan.
"Iblis pertama adalah Grim reaper, begitulah orang-orang menyebutnya. Dengan jubah hitam, pergerakannya sangat cepat. Ada yang melihat dia bisa memotong kepala seorang pendekar pedang suci dengan satu kali tebasan. Mengerikan sekali ya? Keberadaannya ada di sekitar sini, di lapisan terluar kerajaan. Itulah kenapa, aku meminta bantuanmu untuk melindungi kami."
Matahari udah terbenam, langit mulai gelap, orang-orang bikin api unggun di tengah-tengah perkemahan. Gue baru ngeh, gerobak kuda mereka udah terparkir rapih di satu sudut, di kelilingi pager-pager kayu. Kapan buatnya coba?
"Sebaiknya kita lanjutkan ceritanya setelah makan malam, Anda pasti lapar." Pak Suk ngajakin gue sama Sally gabung ke rombongan pedagang yang ngelingkari api unggun, siap buat makan makanan yang entah kapan dibikinnya. Masih panas, berasap.
"Mari-mari! Kita makan dulu." Ramah banget. Gimana jadinya kalau dia tahu iblis yang baru aja diomongin ada di tengah-tengah mereka?
Terbayang-bayang di otak gue, si Sally ngebantai habis semua orang yang ada di sini. Hih, ngeri!
Gue buang jauh-jauh pikiran jelek itu. Yang lebih penting sekarang, makan dulu. Walaupun enggak ngerasa lapar, gue penasaran gimana rasa makannya.
"Itadakimasu!"
Idih, penyakit si Salsa, eh, Sally, sama aja kayaknya deh. Penyakit wibunya kambuh.