Part 04. Ajakan Gila Sahabat

1105 Kata
Dengan kaki yang sudah mulai terasa lemas, Wala menginjak pedal gas mobilnya meninggalkan Yayasan Cempaka Floria. Rasa lapar semakin tidak bisa diajak berkompromi, sehingga dia memilih untuk langsung pulang. Walau hari itu tidak ada sepeser rupiah pun yang bisa dia bawa dapatkan, tetapi mau tidak mau dia tetap harus pulang dan siap menerima kemarahan emaknya. "Perutku sangat lapar, mudah-mudahan emak hari ini sudah masak. Sabar ya, Cacing-cacing kesayangan!" Wala mengusap perut seraya mempercepat laju mobilnya melewati jalan-jalan sempit di kampung itu. Tiinn! Pada sebuah persimpangan, Wala tersentak kaget dan menekan klakson mobilnya kuat-kuat, hingga menimbulkan suara nyaring yang seakan memecah gendang telinga. Dari jalur sebelah kanan, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang dan hampir menabrak mobilnya. Untung saja Wala masih bisa menghindar dan mengendalikan setir mobilnya, sehingga tidak sampai terjadi tabrakan. "Astaga!" Wala mengusap dadanya dan merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. "Woy ... bisa nyetir nggak sih?! Ini jalan umum bukan jalan punya moyangmu! Ngebut sembarangan!" umpat Wala, meneriaki pengemudi mobil yang mulai menepikan mobilnya ke sisi jalan dan berhenti tak jauh dari mobilnya. Wala ikut meminggirkan mobil pick up-nya dan parkir di seberang mobil yang hampir menabraknya tersebut, lalu bergegas turun. Kesal akan gaya mengemudi ugal-ugalan si pengendara mobil, Wala berniat menghampiri dan memberi teguran. "Hei, Wala! Nggak nyangka, kita bertemu disini!" Wala mengerutkan dahinya, ketika kaca mobil yang kini ada di hadapannya itu terbuka, seorang pria mengenakan kaca mata hitam, terdengar memanggil namanya dari dalam mobil itu. Pintu mobil itu pun kini ikut terbuka dan pria pengemudi mobil itu langsung turun, mendekat ke arah Wala. "Diffen?" Mata Wala membulat, melihat siapa pria yang baru saja turun dari mobil itu. "Iya ini aku, Diffen. Apa kamu tidak bisa mengenali aku?" Pria itu tersenyum lebar, menatap Wala yang terlihat pangling dan hanya terpaku memandanginya. "Bagaimana kabarmu, Wala? Sudah lama kita tidak bertemu." Pria yang bernama Diffen itu, langsung memeluk Wala. "Kabar baik, Fen. Kamu sendiri apa kabar? Kapan kamu pulang? Wah, rupanya kamu sudah jadi orang sukses di kota!" Wala membalas sambil memasang tatapan kagum akan penampilan sahabatnya, yang kini terlihat sangat keren setelah tinggal dan bekerja di kota. "Aku baru saja sampai di kampung ini, Wala." Diffen menepuk pundak Wala, mempertegas keakraban mereka. Diffen tersenyum miring, menatap Wala dengan kening mengernyit. "Kamu ... masih jualan tanaman hias saja, Wala? Apa tidak ada pekerjaan lain?" tanyanya bernada mengejek. "Memangnya janda bolong sudah menghasilkan berapa duit, sampai kamu begitu sayang terhadapnya?" Diffen terkekeh. Ejekan kian tajam itu terlontar begitu saja dari mulut julidnya. "Yah ... mau kerja apa lagi, Fen? Setelah pandemi, sekarang sangat sulit mencari pekerjaan," sahut Wala tidak terlalu menanggapi kesombongan Diffen, yang sudah sangat dikenalnya. Maklum saja, dia dan Diffen adalah sahabat karib semenjak kecil di kampung itu. "Seharusnya dulu kamu ikut aku cari kerja ke kota, Wala. Jika saja dulu kamu mau, mungkin kamu juga sudah jadi seperti aku sekarang. Punya banyak uang dan barang-barang mewah." Ucapan Diffen terdengar kian angkuh, membanggakan semua kesuksesannya setelah tinggal di kota. "Memangnya kamu kerja apa di kota?" Ada rasa penasaran di hati Wala. Belum genap dua tahun Diffen pergi merantau, tetapi dia kini terlihat sudah sangat berubah. Baik dalam gaya berbusana serta cara bicaranya yang terdengar sangat berkelas. "Cowok ganteng dan keren seperti aku, tanpa mencari pun … pekerjaan pasti datang mengejarku, Wala." Diffen menepuk d*da, menyombongkan diri Wala hanya tersenyum kecut menanggapi tingkah jemawa pria di hadapannya, tetapi dalam hati dia tetap salut terhadap Diffen yang dengan cepat bisa memperbaiki kehidupannya setelah merantau ke kota. "Ini mobilmu, Fen?" Wala memperhatikan compact SUV berwarna putih, yang tadi dikendarai oleh Diffen. Dia tentunya tahu kalau itu merupakan sebuah mobil sport kategori medium, buatan Jepang dan keluaran terbaru. "Iya lah! Mobil baru, Bro. Senggol dong!" Diffen berujar dengan bahasa gaul, semakin terpancing untuk menyombongkan diri, mendengar pertanyaan Wala. Diffen mengedipkan sebelah matanya, menyeringai sambil menatap Wala dan bertanya, "Apa kamu tidak tertarik bisa punya mobil seperti ini juga, Bro? Kalau kamu mau ... ayo ikutlah denganku ke kota! Aku sangat yakin kamu juga pasti bisa sukses seperti aku." "Iya, mau sih. Tapi kerja apa dulu?" Wala balik bertanya. Diffen tersenyum sumringah. Pertanyaan memancing yang sengaja dia sampaikan, mendapat respon yang ia harapkan dari Wala. "Kamu itu sangat ganteng dan juga tampan, Wala. Tidak akan sulit mendapat pekerjaan di kota. Banyak istri-istri konglomerat kaya yang kesepian, serta janda-janda haus belaian, membutuhkan jasa istimewa dari laki-laki seperti kita di kota sana." Diffen berbisik ambigu, tetapi memberi sebuah petunjuk akan pekerjaan apa yang dia lakoni di kota selama ini. "Maksud kamu apa, Bro?" Wala cukup dibuat tercengang dengan apa yang diungkapkan oleh sahabatnya itu. "Apa aku perlu jelaskan lagi?" Diffen mencebikkan ujung bibirnya. "Apa itu artinya kamu kerja jadi gigolo di kota sana?" tanya Wala dengan polosnya. "Kalau iya, apa itu salah? Selama aku menyukai pekerjaan itu dan bisa menghasilkan banyak uang, kenapa tidak?" Kedua pundak Diffen terangkat menanggapi pertanyaan lugu dari Wala. Wala menggelengkan kepalanya dan menampik tegas ucapan Diffen. "Tentu saja semua itu salah menurutku, Fen. Aku tidak mau kalau harus bekerja seperti itu." "Jadi orang jangan terlalu munafik! Kita hidup butuh uang. Tanpa uang, kita akan selamanya diinjak-injak dan dihina orang!" Diffen tersenyum mencibir. Dari dulu Wala memang tidak pernah setuju dia ajak ikut merantau ke kota, apalagi bila pekerjaan di sana belum jelas. "Ya, sudah! Aku mau pulang dulu, Wala. Emak menungguku di rumah. Dia pasti sudah tidak sabar ingin melihat mobil baruku ini." Tanpa ingin menurunkan label keangkuhannya, Diffen berpaling dan masuk ke mobilnya. "Sampai jumpa, Wala!" Diffen melambaikan tangan dan melajukan mobilnya perlahan meninggalkan Wala yang masih berdiri terpaku di tempat semula. "Aaah, dasar Dieffenbachia! Getahnya memang selalu bikin gatal!" Sambil membalas lambaian tangan Diffen, Wala bersungut menyebut nama panjang sahabatnya itu. Sebuah nama yang sama seperti nama sebuah tanaman hias dan dikenal dengan sebutan 'Beras tumpah'. Tanaman itu memiliki getah yang apabila mengenai bagian tubuh manusia, bisa menimbulkan rasa gatal. "Amit-amit deh! Aku nggak akan sudi merantau ke kota hanya untuk bekerja seperti Diffen. Memangnya aku laki-laki apaan?" Wala menggeleng dan menghela napas dalam-dalam. Bergegas dia masuk ke dalam mobilnya dan melanjutkan perjalanan pulang. Sembari menahan rasa lapar, sepanjang perjalanan Wala kembali teringat akan tawaran Zinnia yang mengajaknya bekerja di kota. "Tawaran dari Mbak Zinnia lebih menarik daripada harus bekerja dengan merendahkan harga diri jadi pemuas hasrat wanita-wanita kesepian." Wala masih tidak habis pikir, mengapa Diffen sahabatnya itu, dengan begitu bangga menyebutkan pekerjaan nista yang dia jalani di kota. "Meski itu bisa menghasilkan cuan dengan instan, ku rasa itu bukan solusi terbaik untuk bisa cepat kaya." Wala terus menggumam, tidak suka akan ajakan Diffen. "Ya, Tuhan! Semoga aku tidak pernah menjilat ludah sendiri!" batin Wala sangat menentang dan tidak berharap semua itu terjadi padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN