Part 10

1634 Kata
Lana menggeleng sambil melepaskan tangannya dari Juan. Yang tampak merasa bersalah. “Kau berbohong, Juan! Itu tidak mungkin!” Juan tak berkata apa pun. Hanya menatap penuh iba ke arah Lana. Tak bisa berkata-kata. Ia mungkin berteman dekat dengan Dennis, dan mengenal Lana dari pria itu. Tetapi permasalahan apa pun dalam hubungan Lana dan Dennis sama sekali bukan ranahnya. “Inilah yang membuatku ragu apakah aku harus memberitahumu, Lana.” “Dennis tak mungkin berselingkuh dariku.” “Aku tak tahu apakah ini benar atau tidak dan siapakah tentang wanita itu. Tetapi mungkin kau bisa mencari tahunya sendiri. Keputusan ada di tanganmu, Lana.” “Aku hanya tak ingin membuatmu menunggu dan mencari-cari tanpa tujuan yang tepat. Aku mungkin teman Dennis, tetapi … apa pun alasannya tiba-tiba menghilang, kupikir ini tidak adil untukmu.” Lana masih menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pilu. “Aku akan pergi.” Juan bangkit berdiri. Melangkah meninggalkan Lana yang masih tertegun seorang diri di meja. Juan tampak menyesal, tetapi mungkin hal ini bisa membuat Lana memulai hidup baru wanita itu. Lama Lana masih termenung dengan wajah tertunduk. Ia mencoba mengais-ngasi ingatannya tentang wanita-wanita yang dekat dengan Dennis dan kemungkinan memiliki hubungan bersama Dennis di belakangnya. Namun, tidak mungkin Dennis melakukan hal seburuk itu di belakangnya. Dennis mencintainya, begitu pun dengan dirinya. Namun, mendadak Lana diingatkan akan asisten Dennis yang bernama Joanna. Joanna Lauren, satu-satunya wanita yang tak pernah sungkan berterus terang menyukai Dennis meski di hadapannya. Dennis tahu Joanna menyukai pria itu, tidak sekali dua kali Lana memergoki Joanna yang sedang menggoda Dennis, meski Dennis selalu mengatakan bahwa pria itu tak pernah menganggap serius perasaan Joanna dan mengabaikan tindakan Joanna yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Bahkan saat Joanna mengetahui rencana pernikahannya dan Dennis, kebencian Joanna kepadanya bertambah berkali-kali lipat. Hingga Dennis sampai memperingatkan Joanna untuk lebih menghormatinya. Akan tetapi, tak mungkin wanita yang datang di apartemen Dennis adalah Joanna, kan. Lana bangkit berdiri setelah membreskan pembayaran dengan kilat dan langsung pergi ke apartemen Dennis. Tetapi lagi-lagi ia hanya menemukan apartemen yang kosong. Tak ada jawaban apa pun bahkan setelah ia membunyikan bel berkali-kali selama setengah jam. Lana pun memutuskan untuk kembali pulang, meski langkahnya sempat terhenti menatap CCTV yang ada di ujung lorong. Ketakutan mendekam di dadanya dengan begitu mengerikan. Bahkan hanya untuk membayangkan kemungkinan liar yang ada di benaknya masih belum terbukti kebenarannya. Ataukah ia yan terlalu takut menemukan kebenaran tersebut? Lana tak ingin menjawab pertanyaannya? Ia butuh sedikit waktu untuk menemukan kebenaran, di saat beberapa saat yang lalu ia terburu oleh rasa penasarannya. Mencoba mengulang mantra bahwa Dennis mencintainya dan tak mungkin mengkhianati hubungan mereka. Bughh … Pundak Lana menabrak seseorang yang baru saja keluar dari dalam lift. “Lana?” Langkah terburu Evans segera terhenti dan menatap Lana yang sama sekali tak bergeming dan masuk ke dalam lift. Pandangan wanita itu tampak kosong dan lift tertutup sebelum Evans sempat menahan pintu lift. Kernyitan di keningnya menukik semakin dalam. Bertanya-tanya apakah yang tengah membuat Lana begitu galau. Evans mengambil ponselnya, menghubungi nomor Lana hingga beberapa kali “Tuan?” Perhatian Evans teralih dari layar di ponselnya ke arah wanita cantik berambut hitam terurai yang berdiri tak jauh dari pria itu. “Kita sudah terlambat sepuluh menit.” Evans memutuskan berhenti mencoba menghubungi Lana dan mengangguk singkat. Mungkin Lana sedang butuh waktu untuk diri wanita itu sendiri. *** Saat Liam pulang kerja di sore hari, ia melihat Lana yang sudah berbaring miring di tempat tidur. Pelayan yang baru saja akan meninggalkan apartemennya mengatakan Lana tidak keluar dari kamar sejak datang kembali pulang siang tadi. Liam mengernyit menatap mata Lana yang tampak masih basah dan sedikit bengap. Entah apa yang membuat wanita itu tampak kacau seperti ini. Tangan Liam otomatis bergerak menarik selimut ke pundak Lana, tetapi gerakan tersebut malah membangunkan Lana. Wanita itu membuka matanya dan terkejut meliha Liam, lalu beralih ke arah dinding kaca yang masih menampilkan langit yang belum menggelap. “Liam?” Liam segera menegakkan punggungnya. “Kau sudah bangun?” Lana bangkit berdiri dan menurunkan kedua kakinya. “Kau ingin berendam? Aku akan menyiapkan air hangat untukmu.” Liam tak menjawab, membiarkan Lana bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Ia duduk di sisi tempat tidur dan hendak melepas sepatunya ketika ponsel milik Lana di atas nakas bergetar pelan. Dan deretan pesan singkat masuk satu persatu. ‘Apa kau baik-baik saja?’ ‘Kau tidak mengangkat panggilanku.’ ‘Apa ada sesuatu yang terjadi?’ ‘Apa ada masalah dengan suamimu?’ Semakin Liam membaca pesan tersebut, semakin d**a Liam dibuat menggeram keras. Kemudian panggilan di layar ponsel Lana menampilkan nama Evans. Liam berusaha keras menahan diri untuk tidak menyambar ponsel tersebut dan membantingnya ke lantai. Sebagai gantinya, Liam melepaskan kedua sepatunya lalu melemparkannya secara sembarangan. Bangkit berdiri dan menyeberangi ruangan dengan langkah besar-besar. Ia sampai di depan pintu kamar mandi ketika Lana melangkah keluar. Liam menyambar lengan Lana, membawa wanita itu kembali masuk ke dalam kamar mandi. “L-liam?” “Temani aku mandi.” Lana tak sempat mencerna keterkejutannya ketika Liam tiba-tiba menjatuhnya ke bath up, lengkap dengan pakaiannya. Membuat air tumpah ke lantai cukup banyak. Kemudian pria itu melepaskan kemeja dan celanannya dalam sekejap mata dan bergabung bersamanya. Lana mengusap wajah dan kepalanya yang sudah setengah basah ketika Liam menarik lengannya dan menaikkan tubuhnya di atas pangkuan pria itu. Meraih wajah dan langsung menyambar lumatan di bibir. Liam menahan tengkuknya, mempertahankan bibir pria itu tetap menempel di bibirnya. Lumatan Liam semakin dalam dan tergesa-gesa. Dipenuhi emosi yang lagi-lagi membuat Lana muak. Rontaannya diredam oleh kedua lengan Liam yang melilit tubuhnya. Tak bisa bergerak, Lana mengambil kesempatan untuk menggigit bibir Liam. Dan kali ini usaha Lana untuk mengalihkan perhatian Liam berhasil. Lana merasakan rasa besi di bibirnya dan Liam melepaskan lumatan tersebut. “Hentikan, Liam!” Lana mendorong d**a Liam dan menemukan darah merembes di bibir bagian bawah Liam. Warna darah tersebut tampak semerah kedua mata Liam yang menajam kepadanya. “Kau tak bisa memperlakukanku seperti sampah seperti ini, Liam!” “Aku bahkan tak tahu bagaimana memutuskan menyebut hubungan kita seperti apa, Lana,” dengus Liam. Mengangkat tangan yang mengusapkan ibu jari ke ujung bibirnya, dan menemukan segores darah dari bibirnya yang terluka dan sedikit perih. “Dan kau sudah memutuskan dirimu sampah dalam hubungan ini.” Lana bangkit berdiri dan melompat keluar dari bath up. “Jangan membuatku muak.” “Kaulah yang membuatku muak, Lana. Kau membayar semua dosa-dosamu dan di saat yang bersamaan kau mengulangnya kembali. Kau pikir kau masih bisa mempermainkan hatiku sesuka hatimu seperti sebelumnya?” Lana tak menjawab. Lebih karena tak ingin mengorek apa pun yang sudah terlewat di belakang mereka. Yang hanya membuka luka di hati mereka berdua yang sudah membusuk. Luka itu tak pernah sembuh, untuknya maupun Liam. Lana mengangkat kakinya. “Kembali.” Bibir Liam menggaris tipis dengan keras. “Kau tahu aku bisa melakukan lebih dari ini.” Langkah Lana membeku. Selama beberapa saat, ia menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Dengan gejolak emosi yang lebih mereda dari sebelumnya. “Aku akan kembali hanya jika kau memperlakukanku dengan lebih baik, Liam.” Liam mendengus dengan keras. Mencibir permintaan Lana. “Kau bahkan tak berhak mengelus, Lana.” Lana memutar wajahnya dan menatap lurus ke kedua mata Liam yang masih terduduk dengan lengan membuka menempel di sepanjang bibir bath up. Menampilkan kearogansiannya secara penuh. Liam yang Lana kenal tak pernah menatapnya dengan tatapan kasar seperti itu. Tak pernah membenci dirinya sekental itu. Dan tak pernah merendahkannya seperti saat ini. Liam selalu memperlakukannya dengan lemah lembut, penuh perhatian, dan penuh kasih. Menjadi kekasih yang begitu memanjakan. Dan, semua itu adalah karena dirinya. Semua keburukan yang diberikan oleh Liam saat ini adalah buah dari sakit hati yang diberikan oleh tangannya sendiri. Hati Lana didera perih, dan penyesalan yang tak mampu mengembalikan Liamnya yang dulu. Tetapi, tetap saja Liam tak perlu menghukumnya sejauh ini. “Aku mungkin melakukan kesalahan sangat besar kepadamu, Liam. Aku menyesal untuk semua dosa yang kulakukan padamu. Aku minta maaf dengan sepenuh hatiku. Tapi sungguh, aku tak berhak untuk semua sikap kasarmu seperti ini. Aku tak menjanjikan hal semacam ini dalam kesepakatan kita.” Liam terdiam, luka yang teramat dalam di kedua mata Lana sempat menyentuh hatinya yang mengeras, tetapi dengan segera ia menguatkan hatinya. Ia tak akan terpengaruh oleh tipu daya wanita itu lagi. Terutama dengan kedekatakan Lana dan Evans yang tampaknya mulai berkembang lebih serius dari yang ia pikirkan. Bahkan hingga pria itu mempertanyakan tentang masalahnya dengan Lana dalam pernikahan mereka. “Kau mengatakan padaku aku harus melakukan kewajibanku sebagai seorang istri untukmu di tempat tidur. Setidaknya aku pun berhak untuk mendapatkan perlakuan baikmu sebagai seorang suami ketika menyentuhku, Liam.” Liam maasih terdiam. Ya, mungkin ada –sedikit- benarnya apa yang dikataan oleh Lana. Sikap kasarnya terhadap wanita itu memang berlebihan, dan ia akui itu karena kecemburuan yang membakar hidup-hidup karena perbuatan Lana sendiri. Namun, tentu saja ia tak akan membiarkan Lana mengetahui hal tersebut. “Kembalilah.” Suara Liam terdengar lebih melunak. Yang membuat langkah Lana berhenti sebelum wanita itu menyentuh gagang pintu kamar mandi. Lana menoleh. Wajah Liam terlihat lebih melunak, tak menyisakan sedikit pun amarah di sana. “Aku menginginkanmu di sini.” Tatapan Liam tak lepas dari kedua mata Lana. Lana menatap kedua mata Liam, Lembut sekaligus kuat. Tak butuh penolakan. “Kau tak suka caraku yang sebelumnya, dan kau tak suka caraku yang ini?” Salah satu alis Liam terangkat. Lana pun tak punya pilihan selain berbalik, melangkah dengan perlahan ke bath up. Dan seringai tersamar di ujung bibir Liam ketika Lana mengangkat kakinya dan kembali masuk ke dalam bath up. “Apakah ini tujuanmu menikah denganku?” Liam tak menjawab, menarik lengan Lana hingga wanita itu duduk di pangkuannya. Seringainya tertarik semakin tinggi ketika bibirnya melumat bibir Lana dalam lumatan yang dalam. Tujuannya menikahi Lana? Tentu saja lebih jauh dari sekedar menghukum wanita ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN