Part 8

1316 Kata
Dan, di sinilah Lana memutuskan untuk pergi. Ke kampus Denada, adik Dennis. “Denada?” Lana melambai dan memanggil seorang gadis yang baru saja keluar dari gerbang kampus. Menunggu lebih dari satu jam sampai akhirnya ia gadis muda itu tertangkap penglihatannya. Pandangan mereka bertemu, sebelum kemudian Denada membuang wajahnya dan berjalan ke arah sebaliknya dengan terburu. Lana pun bergegas mengejarnya. Berlari secepat ia bisa sebelum Denada menghilang lagi. Beruntung ia berhasil menahan pergelangan tangan wanita itu “Tunggu, Denada.” Denada menyentakkan tangan Lana dengan keras, yang mau tak mau pun tak punya pilihan selain menuruti keinginan Denada. “Di mana Dennis?” Pertanyaan lama terdengar segera membekukan Denada sendiri. Denada memasang ekspresi sedingin betul. “Aku tidak tahu apa yang kau katakan, Lana. Bukankah dia sudah menjadi suamimu?” desis Denada sambil berpaling Lana terdiam. Yang dimanfaatkan oleh Denada untuk melepaskan cekalan tersebut. “Kami tidak menikah!” teriak Lana di belakang punggung Denada. Yang seketika menghentikan langkah gadis tersebut. Denada memutar kepalanya, menatap ke arah Lana. “Apa maksudmu?” “Dia tidak datang di pernikahan kami.” Sekali lagi Lana mengulang kalimatnya yang pedih. Denada mendengus tipis. “Bukankah ini hukuman untuk kalian berdua. Aku sudah mengatakan padamu, jika kau menyakiti ibuku maka kau adalah musuhku. Setidaknya kalian bisa sedikit bersabar dan membujuk ibuku. Kalian tak mendengarku dan lihatlah sekarang, kau membuat ibuku dan kakakku saling diam selama lebih dari satu minggu. Dan sekarang dia tidak datang di pernikahan kalian.” Lana membelalak terkejut. “Ibuku masuk rumah sakit.” “Apa maksudmu?” “Tentu saja karena keegoisan kalian berdua. Jangan mempertanyakan hal yang sudah pasti, Lana.” Lana membekap mulutnya terkejut. “Maafkan aku, Denada. Aku benar-benar tidak tahu pernikahan kami akan membuat ibumu menjadi separah itu. Kami pikir, dengan pernikahan kami.” “Aku sudah memperingatkan kalian berdua.” Denada mengingatkan. “Aku sungguh-sungguh menyesal.” “Lalu apa yang terjadi? Kenapa kau mencari Dennis?” Kepedihan seketika menyelinuti wajah Lana. “Entah karena merasa bersalah pada ibu kalian atau apa, aku tak tahu. Dia tiba-tiba menghilang. Aku tak bisa menghubunginya.” “Apartemennya?” Lana menggeleng dengan pilu. “Aku menunggunya di sana sepanjang malam, tapi sepertinya dia memang tak ada di sana. Aku benar-benar kebingungan harus mencarinya ke mana, Denada.” Keheningan menyelimuti udara di antara mereka. Denada dan Lana sibuk dengan pemikiran masing-masing, sampai kemudian Denada tersentuh dengan kemuraman di wajah Lana dan berkata dengan lirih. “Aku akan berusaha menanyakan pada ibuku. Mungkin dia menghubungi ibu.” Lana tak menyangka akan Denada yang walaupun belum berada di sisinya, gadis itu masih mencoba membantunya. Lana pun mengangguk dengan penuh binar terima kasih. Dan sedikit kelegaan mengaliri tenggorokannya. “Lalu … apa yang terjadi dengan pesta pernikahannya?” Seketika pertanyaan Denada membekukan seluruh permukaan wajah Lana. Haruskah ia mengatakan bahwa ia sudah menikah, tetapi dengan pria lain. *** “Ada apa dengan wajahmu, Lana?” Sonia membanting tubuhnya ke tempat tidur Lana, bergabung dengan sang kakak yang sibuk menata pakaian di koper. “Kau terlihat muram untuk pasangan pengantin baru,” godanya. Lana tak menggubris. “Jadi, kalian akan pergi berbulan madu ke mana?” “Diamlah, Sonia. Kami tidak akan melakukan hal semacam itu.” Sonia mencibir. “Ck, kau benar-benar menyedihkan, Lana.” Lana tak peduli ia terlihat menyedihkan, terutama di depan sang adik. Dan mendadak wanita itu teringat sesuatu, lalu mengulurkan tangannya kea rah Sonia dan berkata, “Ah, kemarikan kunci mobil Liam.” Sonia seketika terdiam. Bangkit terduduk dan melirik ke kanan dan ke kiri. Menghindari tatapan dan permintaan sang kakak. “Aku perlu mengembalikan padanya.” “Liam yang memberikannya padaku,” jawab Sonia keras kepala. “Aku merusak mobilnya dan kau merampok mobilnya. Jangan membuatku merasa sungkan padanya, Sonia.” “Dia masih memiliki banyak koleksi mobil lainnya. Ini tak berarti apa pun baginya, Lana. Kau tak perlu merasa sungkan pada suamimu sendiri.” Bibir Lana menipis tajam. “Seharusnya kau merenungi kesalahan yang sudah kau lakukan padanya. Sejak kau campakkan, dia menjadi semakin sukses. Dia menjadi orang paling berpengaruh dalam sekejap.” “Dan itu membuatku semakin malu pada diriku sendiri. Apa kau tidak mengerti?” sambar Lana membalas. “Sedikit mengerti, tapi tak perlu memahaminya, kan. Setidaknya dia berhutang padamu.” Kening Lana berkerut tak mengerti. “Jika dia tidak kau campakkan dan fokus meraih karirnya, dia tidak akan sesukses sekarang, kan?” “Apa yang kau bicarakan, Sonia?” Mata Lana melotot sempurna. Sonia meringis, kemudian melompat terbangun dan berlari ke pintu. “Kembalikan kunci mobilnya, Sonia.” “Tidak akan!” jawab Sonia menutup pintu kamar Lana. Lana hanya mampi menghela napas panjangnya. Ia sunguh-sungguh kehilangan kata-kata menghadapi sikap kekanakan adiknya. Yang membebani hatinya ketika bertatapan dengan wajah Liam. Setelah mengemas beberapa barangnya di tiga koper besar, dengan bantuan pelayannya mereka berhasil memasukkan koper tersebut ke dalam mobil. Kedua orang tua Lana sedang tidak ada di rumah. Baru saja pergi ke makan malam bisnis lainnya sebelum Lana datang. Setengah jam kemudian, Lana sampai di basement gedung apartemen Liam. Tetapi Lana tampak kesulitan mengeluarkan kopernya dari bagasi, dan satu-satunya hal yang tak ia inginkan adalah meminta bantuan Liam. Dengan susah payah, akhirnya Lana berhasil menurunkan kopernya yang paling kecil, dan baru saja koper tersebut menyentuh lantai, Lana dikagetkan oleh suara dari arah belakangnya. “Perlu bantuan?” Lana terperanjat dan berbalik. Lalu mendelik sempurna menemukan si pengacaunya. “Evans?!” deliknya. Evans terkikik geli. “Aku mengagetkanmu?” “Kau pikir?” sergah Lana. Mengembalikan degup jantungnya dan memutar tubuh. Kembali mencoba mengangkat kopernya yang lain. “Biarkan aku melakukannya.” Evans mengambil dua koper yang masih tersisa di dalam bagasi dengan begitu mudahnya. Lana tak menolak, karena ia memang membutuhkan bantuan tenaga seorang pria. Setelah selesai mengeluarkan ketiga koper Lana dari mobil, Evans mengambil dua koper terbesar dan menyisakan yang paling kecil untuk Lana. Dan keduanya bersama-sama menuju lift. Yang segera terbuka untuk mereka. “Ke mana suamimu?” Lana tak langsung menjawab. “Sepertinya lembur.” “Sepertinya?” “Ya.” Dan umur panjang, baru saja dibicarakan ponsel Lana berdering, menampilkan nama Liam. “Angkat saja,” pintah Evans. Lana mengangguk singkat. “Hallo?” jawab Lana setelah panggilan terhubung. “Di mana kau?” “Di lift.” “Hmm, baiklah.” Panggilan segera terputus. Membuat Lana membeku. Bahkan Liam tak memberitahu tentang keberadaan pria itu. Apakah masih di kantor ataukah sudah pulang. Evans dan Lana sendikit mengobrol sampai lift membawa keduanya ke lantai apartemen Liam. Lana menggunakan kartu pemberian Liam untuk membuka pintu apartemen. “Terima kasih, Evans. Letakkan saja di sana.” Lana menunjuk ke samping set sofa yang berada tak jauh dari posisi mereka berdua. “Kau ingin minum lebih dulu.” Evans terdiam, sebelum kemudian pandangannya mengarah ke balik bahu Lana. “Sepertinya tidak perlu.” Evans mengangguk singkat, menyapa. Lana mengikuti arah pandangan Evans dan menemukan Liam yang berdiri di ambang pintu kamar mereka. Hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang dan rambut yang masih basah kuyup. Evans pun keluar dari apartemen dalam sekejap, seolah Liam mengusirnya hanya dalam pandangan tajam pria itu. “Kau bisa melakukan apa pun di apartemen ini sesukamu, Lana. Apa pun, kecuali membawa pria lain.” “A-aku … dia hanya membantuku membawakan koperku.” “Aku tak peduli apa pun alasannya.” Mulut Lana yang membuka hanya membeku. Liam mendengus tipis. “Kau memintaku untuk tidak mengingat apa yang sudah berlalu, tetapi sekarang kau seolah mengulang apa yang terjadi pada kita berdua di masa lalu, Lana?” Wajah Lana seketika memucat. “Apakah ini tidak mengingatkanmu pada sesuatu?” Lana menelan ludahnya sebelum menjawab. “Kami hanya berteman, Liam.” “Kalian bahkan baru pertama bertemu kemarin. Ah, berteman? Bahkan kata-katamu masih sama persis seperti yang kau katakana padaku.” Kepucatan sepenuhnya membekukan ekspresi di wajah Lana. Membuat wanita itu kehilangan kata-kata untuk membalas. Dan Liam pun berbalik dan kembali menghilang di balik pintu kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN