Part 13

1725 Kata
Saat Lana bangun keesokan harinya. Ia melihat sisi tempat tidurnya yang kosong. Kekecewaan menyelimuti dadanya dan membayangkan Liam pagi ini bangun di pelukan wanita lain adalah satu-satunya hal terburuk yang tak terbayangkan akan memengaruhinya sedalam ini. Lana bergegas turun dari tempat tidur setelah mengirim pesan pada Juan alamat Dennis. Mempertimbangkan apakah ia harus menemui pria itu atau menunggu. Lana keluar dari kamar mandi dan tersentak menemukan Liam yang sudah duduk di sofa sedang membungkuk untuk melepaskan sepatu. Keduanya saling pandangan sejenak, Liam bangkit dan berjalan ke kamar mandi. “Liam?” panggil Lana sebelum Liam sempat masuk ke dalam kamar mandi. Liam memutar wajahnya, menatap kegugupan yang menyelimuti tubuh Lana. Kedua tangan wanita itu yang saling bertaut di depan perut, bergerak-gerak dengan gelisah ketika saling meremas satu sama lain. “Ya?” Lana membasahi bibirnya. “Bolehkah … bolehkah aku pergi selama beberapa hari?” “Singapore?” Lana tak menjawab, tetapi pandangannya cukup sebagai jawaban ya. Liam mendengus, kemudian dengan penuh kemantapan ia menjawab tidak dengan tegas. “Kenapa, Liam?” Lana maju satu langkah lebih dekat. Seharusnya ia tidak bertanya, tetapi memberitahu Liam bahwa ia akan pergi selama beberapa hari. “Setidaknya sedikitlah bersabar, Lana. Apa pun yang terjadi di sana, membaiknya hubungan kalian atau tidak, aku sama sekali tak peduli. Yang kupedulikan adalah kita tak bisa bercerai sebelum tiga bulan. Persis seperti kesepakatan yang sudah kita setujui.” “Lalu bagaimana jika Dennis kembali menghilang saat kita sudah bercerai?” Liam mendengus. “Kalau begitu itu hanya membuktikan betapa pengecutnya kekasihmu itu, kan?” Lana membuka mulutnya, hanya untuk kembali terbungkam. Tetapi ia tak membutuhkan alasan untuk berhenti mencari Dennis. Ia hanya butuh alasan untuk berhenti terjebak dengan semua permainan ini. “Lagipula, apa yang akan kulalukan jika aku menginginkan tubuhmu?” Wajah Lana merah padam, oleh rasa malu sekaligus kemarahan. Sempat-sempatnya pria itu memikirkan keegoisannya setelah menghancurkan harapannya.  Bahkan setelah pria itu bermalam dengan wanita lain. “Kau bahkan baru bermalam dengan wanita lain, tak akan ada bedanya ada aku atau tidak di sini.” Lana menahan irisan di hatinya dengan menggenggam ujung jubah mandinya. Liam menyeringai, tatapan menelisik semakin dalam melucuti setiap emosi di permukaan wajah Lana. “Entah bagaimana kau bisa mencemburuik dan mengkhawatirkan pria lain di saat yang bersamaan, Lana,” cibirnya. Lana mengerjap, kemudian mempertegas balasannya. “Aku tidak mencemburuimu, Liam. Itu tidak mungkin.” Liam mendengus keras sambil membuang wajahnya, kemudian melangkah masuk ke kamar mandi. Lana menyusul masuk. “Aku tidak meminta ijin, aku akan pergi.” “Kau tidak akan pergi, Lana.” Liam melepaskan kancing kemeja dengan posisi memunggungi Lana.  “Kau begitu egois, Liam.” “Aku tak pernah mengatakan diriku bukan egois yang kejam, Lana.” Liam melirik Lana melewati bahunya ketika melepaskan kemejanya dan melemparkannya ke keranjang kotor. “Semua hal yang kucapai sampai di titik ini, adalah sebuah keegoisan yang kurenggut dari siapa pun.” ‘Termasuk dirimu,’ lanjut Liam dalam hati. *** Lana tak butuh ijin dari Liam. Dan ia tak membutuhkan segala sumber daya dari Liam untuk menemukan keberadaan Dennis. Ketika Liam berangkat ke kantor, Lana segera mengemas beberapa pakaiannya di koper kecil. Mengambil passport dan dompet kemudian keluar dari apartemen. Tak mengatakan apa pun pada pelayan yang berpapasan dengannya di lift. Lana mendapatkan taksi dengan cepat, mendapatkan penerbangan ke Singapore dalam dua jam. Tetapi semua usahannya tak membuahkan hasil sama sekali. Selama tiga hari di negara tetangga tersebut, Lana tak bisa menemukan Dennis. Bahkan dengan bantuan teman Juan yang masih ada di Singapore. Di hari ketiga, Lana pun memutuskan kembali pulang. Tengah malam, ia baru sampai di depan pintu apartemen Liam. Langkah Lana terhenti ketika memasukin ruang tamu, di antara keremangan cahaya di ruangan tersebut, tatapan Lana terhenti ke arah sofa panjang. Melihat dua tubuh yang saling menempel satu sama lain. Melihat wanita berambut lurus panjan dan hitam yang pakaiannya sudah tersingkap dan nyaris telanjang. Tentu saja Lana mengenali siapa wanita yang tengah duduk di pangkuan Liam. Marissa. Ya, inilah kesibukan Liam yang membuat pria itu tak pernah mencarinya selama ia pergi. Dan memangnya apa yang Lana harapkan dari Liam. Lana pikir melihat Liam b******u dengan wanita lain akan sedikit memberinya rasa sakit di dadanya. Sama seperti ketika di hotel pada malam itu. Tetapi, apa yang menusuk tepat di jantungnya saat ini lebih sakit dari seharusnya. Tak tahan menyaksikan pemandangan tersebut, Lana berbalik dan kembali keluar dari apartemen. Matanya mengerjap beberapa kali demi menahan bening menetes keluar dari kedua kelopak matanya. Ia menekan tombol di lift dan sampai di lantai bahwa tanpa meneteskan air mata sedikit pun, walaupun ganjalan di dadanya terasa begitu menyesakkannya. Nyaris membuatnya tak bisa bernapas. Lana baru saja mendapatkan taksinya ketika nomor ponselnya berdering. Menampilkan nama Liam yang segera Lana abaikan dan kembalikan ke dalam tas. Dan ia sudah membuka pintu taksi ketika seseorang menahan pergelangan tangannya. Lana menoleh dan menemukan seorang pria dengan setelan hitamlah pelakukanya. “Maafkan saya, Nyonya. Tuan Isaac baru saja menghubungi saya untuk menahan Anda,” kata pengawal tersebut yang langsung menutup pintu mobil setelah meminta si sopir untuk menunggunya sebentar. “Lepaskan aku.” Lana menyentakkan tangan pria itu dengan keras. Akan tetapi, pria itu tak berkutik. Tetap berkutat menahan pergelangan tangan Lana. Rontaan Lana sama sekali tak membuahkan hasil, hingga tak lebih dari lima menit kemudian, Liam muncul dengan kemeja yang sudah keluar dari celana. Melangkah keluar dari pintu putar di lobi dengan Marisa yang bergelayut manja di lengan pria itu. Langkah mereka berhenti ketika keduanya berhenti di depan Lana. “Sampai jumpa besok pagi, sayang.” Marisa sedikit berjinjit dan mendaratkan kecupan di bibir Liam, yang sama sekali tak melepaskan tatapan tajamnya dari Lana. Marisa melirik sinis ke arah Lana. Menabrak pundak Lana ketika akan naik ke dalam taksi yang diberhentikan oleh Lana. Tepat ketika Marisa menutup pintu mobil, Liam menyambar tangan Lana dan menyeret wanita itu masuk ke dalam lift. “Lepaskan, Liam!” jerit Lana memelintir lengannya, yang malah semakin menyakiti pergelangan tangannya sendiri. Cengkeraman Liam semakin menguat sepanjang menunggu lift hingga sampai di lantai apartemen Liam, dan pada akhirnya Lana menyerah. “Aku sudah memperingatkanku untuk tidak pergi, kan?” Lana tak menjawab. Ia terlalu fokus pada hatinya yang remuk redam, membuat kebas seluruh emosi yang menusuk dadanya. Tetapi tetap saja cengkeraman tangan Liam di tangannya begitu menyakitinya. Nyaris mematahkan tulang tangannya. Dan ia tak akan mengaduh meski air mata menggenangi kedua matanya menahan rasa sakit tersebut. Begitu keduanya memasuki apartemen dan Liam membawa wanita itu langsung ke kamarnya. Liam mendorong tubuh Lana hingga punggung wanita itu menabrak dinding dengan keras. Menahan kedua tangan Lana dalam satu genggaman yang kuat sebelum memakunya di atas kepala. Air mata Lana mengalir deras, tatapan wanita itu turun karena tak tahan ditatap setajam itu oleh Liam. Kedua mata pria itu merah padam oleh amarah, dengan kedua rahang yang mengeras. Wajah pria itu begitu dekat di wajah Lana, napas pria itu yang memburu serasa membakar permukaan wajah Lana. “Kenapa kau begitu menyedihkan, Lana?” desis Liam tajam. “Kau yang mencampakkan aku, seharusnya kau tidak menjadi menyedihkan seperti ini, kan?” Aliran air mata Lana semakin membanjir. Dadanya serasa dicengkeram dengan keras. “Apakah pria itu memang begitu berarti bagimu?” “Kau tak tahu apa pun, Liam.” “Ya, aku memang tak pernah tahu apa pun. Kau membuatku merasa menjadi pria paling bodoh yang tak becus mempertahankan miliknya,” desis Liam tepat di depan wajah Lana. Ya, ia bisa mempertahankan segala hal yang dimilikinya. Perusahaan, proyek-proyek besar selalu berhasil ia menangkan, semua pencapaiannya hingga seluruh kalangan atas mengenali dirinya sebagai Liam Isaac, perhatian orang-orang, terutama wanita untuknya. Semua itu berhasil ia pertahankan. Hanya Lanalah satu-satunya hal yang berhasil lepas dari genggamannya. Hingga saat ini pun ia tak bisa meraih apa yang sudah pernah ia raih dari wanita ini. Hati Lana untuk dirinya sendiri. Hati Lana serasa diperas oleh perasaan bersalah yang teramat dalam. Tangisanya semakin tersedu. Liam melepaskan tangannya, yang membuat tubuh Lana jatuh terlunglai ke lantai. Sedangkan Liam melangkah ke sisi tempat tidur, dengan jemari yang tak berhenti menggusur helaian rambutnya di kepala. Lana masih terisak, menyadari betapa merasa masih saling menyakiti dan saling berpengaruh untuk satu sama lainnya. Bahkan setelah bertahun-tahun mereka putus dan ia memulai kehidupan barunya dengan Dennis, ia tak pernah menyangka pengaruh Liam di hidupnya masih begitu dalam. Lana membenci itu. Butuh waktu yang cukup lama hingga tangisan Lana mereda. Wajahnya terangkat, melihat Liam yang duduk dengan kepala tertunduk dalam dan kedua tangan menggenggam rambut di kepala. Pernikahan mereka sudah berjalan selama dua minggu. Lana butuh kekuatan lebih untuk bertahan lebih lama lagi dan sungguh ia berharap bisa bertahan hingga akhir. “Hari itu. Saat kita putus, aku tidak kembali kepada Dennis.” Lana memecah keheningan di antara mereka. “Aku tidak pernah memilih Dennis.” Keterkejutan melintasi wajah Liam, tetapi tubuh pria itu masih membeku. “Aku mengatakan memilihmu pada Dennis.” Sekali lagi keterkejutan melintasi wajah Liam ketika melanjutkan kalimat Lana. ‘Dan Lana mengatakan memilih Dennis padanya.’ “Saat itu, aku lebih mencintaimu, Liam. Tetapi terkadang mencintai saja tidak cukup.” ‘Saat itu?’ Liam mengulang sepenggal kalimat Lana. Dua kata itu hanya membuktikan bahwa sekarang Lana sudah tidak mencintainya. “Aku mencintaimu, Liam. Tetapi semudah itu kau melepaskanku. Lalu Dennis, dia tak berhenti mempertahankanku. Pun saat tahu kau masih memenuhi hatiku.” Lana mengangkat tangan ke wajah untuk menyeka basah di sana, tetapi air matanya tak juga berhenti mengalir. “Jangan membandingkanku dengannya, Lana!” Kali ini wajah Liam terangkat. Kemarahan di wajah pria itu tidak sepekat sebelumnya, tetapi masih menggelapi wajah Liam. “Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa aku pernah sangat berharap kau mempertahankanku. Karena kau mencintaiku melebihi egomu yang terluka.” Wajah Liam serasa disiram air dingin, yang membekukan seluruh ekspresi di wajah dan seluruh tubuh pria itu. Lana menarik napasnya dalam-dalam dan bangkit berdiri. “Mungkin kau masih begitu mengusik hatiku, Liam. Hingga detik ini. Aku akan menganggapnya sebagai bayaran untuk semua luka hatimu dan tak akan mengeluhkannya. Maafkan aku jika emosiku mengusikmu, lain kali aku akan lebih kuat untuk menghadapi situasi kita saat ini.” Selesai dengan kalimatnya, Lana berjalan masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin dengan masih mengenakan pakaiannya. Tetapi ganjalan yang mendekam di hatinya butuh dilepaskan. Lana tersungkur di lantai, memeluk kedua kakinya dan sekali lagi menangis tersedu. Teredam oleh suara guyuran air, bersama air matanya yang mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN