Kasar?

1105 Kata
Dua hari berlalu, Hubungan Alice dan Dion belum ada kemajuan sama sekali. Dion menyibukkan dirinya terus di luar. Sedangkan Alice hanya diam sendiri di rumah. Tanpa seseorang menemaninya. Meski sempat kesal, Alice merasa dirinya benar-benar lelah dengan semua ini. Dia bingung, memilih bertahan atau mengakhiri semuanya. Tetapi, dalam bayangan dirinya saat ini adalah orang tuanya. Cklekk.. Suara pintu terbuka mengejutkan Alice yang asyik duduk di sofa menunggu seauatu yang tak pasti. Ia sonta bangkit dari duduknya. Saat melihat Dion berjalan dnegan langkah cepat, masuk ke dalam rumahnya. "Kamu dari mana?" tanya Alice, mencoba memberanikan dirinya memegang kengan Dion. "Bukan urusan kamu." pekik Dion, mendorong tubuh Alice terjatuh tepat di atas sofa. "Aku tidak pernah sekalipun mengijinkan kamu ikut campur urusanku. Dan aku hanya ingin kamu cepat pergi dari kehidupanku." Alice tertunduk. "Iya, maaf!" ucapnya lirih. "Sekarang kamu cepat bantu aku bereskan semua bajuku." "Baju?" tanya Alice, mengangkat kepalanya memberanikan dirinya menatap wajah Dion. "Memangnya kamu mau ke...." belum sempat meneruskan ucapanya. Alice menutup mulutnya rapat-rapat dengan telapak tangannya. Saat melihat tatapan tajam Dion ke arahnya. "Udah aku bilang..." "Iya. Aku akan bereskan baju kamu. Kamu mau bawa baju berapa stel, berapa biji atau berapa banyak?" potong Alice cepat, menyela pembicaraan Dion. "Terserah, aku akan ke luar kota 3 hari." "Kemana?" Dion menatap ke arah Alice ke sekian kalinya. "Apa kamu lupa jangan pernah ikut campur urusanku." "Iya, maaf. Aku tadi lupa!" Alice mengernyitkan wajahnya, menrouk-nepuk mulutnya berkali-kali. Alice kenapa kamu selalu cari agra-gara, sih. Apa gak ada pertanyaan lain gitu. Masih banyak topik pembicaraan lain.. "Kenapa kamu diam?" tanya Dion heran. "Maaf!" "Sudah berapa kali kamu ucapkan kata maaf haru ini?" tanya Dion, menarik dagu Alice sedikit ke atas. "Jangan pasang wajah sedih di depanku. Aku gak suka melihat wanuta lembek." "Iya," jawabnya lirih. "Aku hanya ingin tanya sesuatu padamu." "Apa?" Dion, melemparkan wajah Alice. "Aku sekarang baru ingat. Kamu sudah janji waktu itu." pekik Dion, dia mulai teringat tentang janji Alice padanya. Alice memincingkan matanya bingung. "Janji apa?" tanya Alice. "Buka semua sekarang!" pinta Dion tegas, suara keras dan sedikit kasarnya itu membuat Alice bergidik takut. Wajahnya menciut melihat tatapan Dion semakin tajam saat melihatnya. "Buka apa?" Dion tersenyum tipis, melangkah satu langkah ke depan lebih dekat. "Bukan kain yang menempel di tubuh kamu." bisik lirih Dion. "Tapi ini masih siang," bantah Alice. Dion yang tidak pernah suka di bantah. Dia melebarkan matanya. Kobaran api keluar membara dari kedua matanya. Bagi dia perintahnya adalah wajib. Dan tidak boleh satu pun membantahnya jika tidak ingin berurusan dengannya. Alice semakin kenciut, dia memegang tangannya. Saling meremas jemari-jemarinya. Menggigit sudut bibirnya saat dia tahu apa yang sudah pernah dia katakan dulu. Meski sempat kesal padanya. Tetapi itu adalah janjinya. Dan dia sudah mau menuruti apa yang dia inginkan. Alice meremas ujung bajunya. Dia merasa sangat berat untuk menariknya ke atas. Dia tak mungkin bisa melupakan sebuah rasa malu yang akan terus melekat dalam dirinya. "Cepetan!" "I--iya," Alice menghela napasnya. Lalu menariknya lagi, menahannya, mengeluarkan secara perlahan. Dalam satu tarikan napasnya yang ke dua. Alice mulai memberanikan dirinya membuka semua helaian kain yang menempel pada dirinya. Dan Dion bukanya tertarik melihatnya. Dia hanya tersenyum samar. Menyentuh dadanya. Dengan pandangan mata sinis. "Ingatlah, jangan pernah membantahku lagi." ucapnya, jemari tangannya berti dak nakal. Mencengkeram miliknya dan bersifat acuh padanya. "Apa yang sebenarnya kamu ingin kan dariku?" tanya Alice, mengernyitkan wajahnya menahan rasa sakit. "Aku ingin kamu di permalukan." "Apa katamu?" Alice melebarkan matanya. Dia merasa kesal dengan apa yang di katakan laki-laki di depannya. "Ikut aku!" ucap Dion, menarik tangan Alice keluar dari kamarnya. "Kamu mau bawa aku kemana, jangan gila!" pekik Alice, meronta, mencoba menarik tangannya dari cengkereman Dion yang semakin erat. "Dion, maafkan aku! Tapi tolong lepaskan aku sekarang!" Dion menghentikan langkahnya, menoleh, pandangan matanya tertuju pada wajah sedih Alice. Dion melemparkan tubuh Alice ke sofa. "Sekarang kamu rayu aku," pinta Dion, mencengkeram rahang Alice. "Rayu aku?" Ke dua mata Aku terbuka lebar, mendengar dua kata yang amat sangat berat baginya melakukannya. Bukan ahlinya dia merayu laki-laki. "Kenapa kamu hanya diam, cepat lakukan!" "Baiklah," jawab Alice terpaksa tubuhnya seakan maju mundur untuk melakukannya. Kakinya seakan tak bisa bergerak melangkah ke depan. Dion tersenyum dalam hatinya. Dia beranjak duduk di sofa, dengan tangan kanan menyandar di atas sofa. Alice duduk di atas paha Dion. Melingkarkan tangannya di lehernya. Tubuh Alice terlibat sangat kaku. "Kalau memang kamu gak bisa, pergilah. Jangan denganku!" "Aku akan pergi jika kamu mau," "Tapi ingat, jangan pernah bisa bertemu lagi dengan orang tua kamu. Jika kamu menginjakkan ke dua kaki kamu pergi dari rumah ini." Dion, menjatuhkan tubuh Alice di atas sofa, tangan kanannya mencengkeram erat tangan, menguncinya di atas kepala. Dengan penuh gairah, dia mengecup bibir Alice kasar. Alice mencoba memberontak, tubuh kekar laki-laki di atasnya tak mampu berkutik sama sekali. Meski beberapa kali pukulan ia layangkan. Jemari tangannya mulai bertindak nakal. Merayap naik turun. Di tubuh mungil wanita di dalam dekapannya sekarang. Suara desahan di iringi teriakan keras dari Alice tak membuat Dion berhenti bertindak nakal. Tak butuh waktu lama dia bersenang-senang. Dion beranjak berdiri, merapikan baju dan rambutnya yang sedikit berantakan. Dion memang sengaja meninggalkan Alice di saat dia sudah mulai merasakan hal yang berbeda dari tubuhnya. Membuat Alice tersiksa menjadi kesenangan tersendiri baginya. "Aku mau pergi dulu." "Kamu mau kemana?" tanya Alice, memeluk erat tangan Dion. Entah kenapa dirinya merasa ada yang hilang di saat Dion tak meneruskan aksinya. Aku yakin kamu akan mencariku nantinya. Lihatlah Alice, kamu akan menderita di sini. Jangan pikir aku akan membiarkan kamu hidup bahagia. "Sebenarnya kamu pergi kemana?" "Bukan urusan kamu." pekik Dion, Laki-laki itu melangkahkan kakinya cepat. Berjalan dengan langkah ringan. Keluar dari rumahnya. Alice menghela napasnya. Dia segera pergi, masuk ke dalam kamarnya. Tanpa perdulikan Dion lagi. Drrtttt... Suara getar ponselnya. Sontak membuat Alice terkejut. Dia meraih ponselnya. Seketika ke dua katanya menyipit di saat melihat nama tertera di ponselnya. "Dion?" gumam Alice. Segera membuka pesan darinya. Jangan keluar rumah. Aku harap saat aku pulang kamu sudah berada di rumah. Dia pikir dia siapa. Baru saja menikah denganku sudah terlalu over. Dan aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja. Aku tidak akan mau di injak-ijak terus olehnya." gumam Alice, yang mulai memakai bajunya. Pandangan matanya tertuju pada laptop di depannya. Terbesit dalam.pikirannya untuk membaut suatu n****+. Laptop itu membuat Alice tertarik untuk menulis sebuah kisah tentang dirinya. Agar semua orang tahu, dan bisa menghadapinya dengan sabar. "Sepertinya itu bisa di pakai," gumam Alice melebarkan senyumnya. Dia be4anjak menuju ke dapur. Membuat satu cangkir kopi, lalu kembali lagi masuk ke dalam kamarnya. Membuka laptop di atas meja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN