Pernikahan

1707 Kata
Setelah kejadian malam itu, Alice tidak pernah berhenti mengingatnya. Wajah jelas laki-laki itu selalu terngiang dalam pikirannya. Entah bagaimana nasibnya jika menikah dengan laki-laki yang saduis seperti dia. Perasaan takut dan khawatir mmebuat hatinya maju mundur untuk melakukan pernikahan. Dan hari ini adalah har pernikahan dirinya. Hatinya merasa goyah antara siap dan tidak siap. Laki-laki yang menodainya adalah calon suami dia sendiri. Ingin sekali marah, berteriak, dan meluapkan semua emosi. Tetapi itu semua percuma. Sraan aku sudah jatuh ke dalam belenggu rumah tangga yang entah mau di bawa kemana rumah tangganya. *** Seorang wanita cantik dengan balutan gaun putih yang membunglut tubuh mungilnya. Duduk di depan kaca, melihat wajahnya yang mulai di penuhi riasan natural. Make up tipis itu terlihat sangat pas dengan wajah cantiknya. Jemari lentiknya di hiasi lukisan hena yang membuat jemarinya semakin cantik. Tetapi semua nampak sangat berbeda. Alice tidak bisa menyembunyikan wajah sedihnya. Wajahnya semakain terlihat kuram di depan kaca. "Nona, apa anda baik-baik saja." "Aku baik-baik saja, kalian jangan khawatir." jawab Alice, mencoba tersenyum paksa. "Maaf, nona." "Iya, tidak apa-apa." Alice mengangkat tangannya, memberi kode pada para pelayannya untuk segera pergi dari kamarnya. "Kaluarlah!" pintanya lirih. "Baik, non." para pelayan menundukkan nadanya. Dan berjalan keluar dari kamar. Alice hanya diam, tertunduk lesu. Apakah ini akhir dari hidupku. Aku harus masuk ke kandang singa. Entah apa yang terjadi padaku nantinya. Aku bisa keluar dengan selamat. Atau hal menyakitkan yang aku terima. Tak terasa tetesan air mata keluar dari pipinya. Tap! Tap! Tap! Suara langkah kaki menuju ke kamarnya. Membuat Alice seketika menyeka air matanya dengan jemarinya. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan orang tuaku nantinya. Aku harus kuat. Ckleekk.. Suara pintu terbuka, dengan langkah kaki ringan berjalan mendekatinya. Alice hanya menatap orang tuanya dari balik cermin. "Alice.. Kamu sangat cantik!" puji Mamanya. Dan hanya di balas dengan senyuman palsu dari bibir Alice. "Sekarang kamu harus tetap tersenyum. Tunjukan pandangan muda itu jika kamu wanita paling cantik yang dia miliki." jelas mamanya, memegang pundak Alice dari belakang. “Sayang, kamu sudah siap?” suara berat seorang laki-laki paruh baya terdengar jelas di telinganya. Membuat dia sontak menoleh cepat. Dia tahu jika itu papanya. Dia baru saja masuk ke kamarnya. Wajah sedihnya seakan hilang, bagai di telan make up miliknya. Alice menarik dua sudut bibirnya mengukirkan sebuah senyuman tipis. Alice tidak mau ayahnya tahu jika dia sebenarnya tersiksa dengan pernikahan ini. Ingin sekali dia bahagia dengan cinta dan kehidupannya sendiri. Tetapi itu semua tidak mungkin, seakan sudah di takdirkan untuknya laki-laki kasar dan arrogan seperti dia. Alice beranjak dari duduknya, memeluk lengan ayahnya dan berjalan keluar dari kamarnya. Semua tamu sudha menyambut dia. Bahkan laki-laki yang akan meniakh denganya juga sudah siap menunggunya, mengucapkan janji suci berdua. Dia berjalan di tengah-tengan antara mama dan papanya. Semua mata tertuju padanya di saat melihat wajah cantik Alice berjalan melewati mereka. wajah yang banyak di kagumi laki-laki. Di balik salah satu tamu yang datang, Rain dengan berat hatinya hadir dalam pernikahan kekasihnya. Dan Delisa, dia menyamar hanya ingin melihat adiknya menikah. Sempat dia terkejut dan menyesal di saat meliaht calon suami yang di akan di nikahi adiknya. Sosok laki-laki tampan yang begitu sempurna di matanya. Dion mengulurkan tangannya tepat di depan Alice. Wanita itu mengangkat keopalnaya menatap wajah Dion yang tersenyum samar menatapnya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, dengan ke dua tangan sedikit mengangkat gaun panjang yang mengajlangi langkahnya. Salsa menerima uluran tangan Dion dan mulai untuk mengucapkan janji suci berdua. Semua tamu menyambut pengantin baru itu dengan sangat antusias. “Aku harap hari ini kamu akna bahagia denganku,” bisik Dion lirih, sembari sesekali tersenyum menyapa para tamu yang datang. “Jangan harap kamu bisa mendapatkanku seutuhnya. Aku hanyalah milik Rain, bukan kamu!” tegas Alice, menatap tajam ke arah Dion. Dan di balas dengan senyum ramah. Dion mulai memasangkan cincing di jari manis Alice. Tangan kananya memegang tengkuk Alice, menariknya sedikit ke depan, tanpa banyak tanya dia mengecup bibir mungil Alice perlahan. Bukanya mendapatkan balasan dari Alice. Wanita itu mengigit bibir bawahnya, membuat darah segar mengalir satu tetes di bibirnya. Dion melepaskan ciumannya, menajamkan pandangan matanya. “Jangan harap hidup kamu bisa bahagia.” Ucap lirih Dion. “Aku tidak perduli. Asal kakak aku bahagia di sana. Dan dia tidak menikah dengan laki-laki iblis seperti kamu.” Dion mengusap darah segar dari bibirnya, mendekatkan wajahnya, membaut ke dua mata mereka saling bertemu. “Jangan harap kamu dan kakak kamu bahagia. Karean kaka kamu membuat aku terluka. Maka aku kana membalas semuanya padamu lebih sadis.” Dion menarik kasar tangan Alice turun dari altar. Membuat semua para tamu berdiri dari duduknya. Menatap ke arahnya bingung. Dion tidal perdulikan tatapan itu, meski papa dan mama Alice ingin mencegahnya. Tetapi, mereka todak bisa berkutik pada tuan muda Dion. Dan lebih memilih membiarkan anaknya pergi bersama tuan muda kejam. “Maaf, tuan. Kita mau kemana?” tanya salah saru pengawalnya. “Bawa dia langsung pergi ke rumahku. Aku tidak mau dia berlama-lama ada di sini.” Ucap Dion, menarik keluar tangan Alice. “Lepaskan aku!” ucap Alice, mencoba menarik tangannya. Cengkeraman Dion sangat erat, seakan ingin mematahkan tangannya. Ia yakin jika cengkeramannya akan menimbulkan lebam nantinya. “Kamu sekarang jadi milikku. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu. Dan termasuk kakak kamu nantinya.” Pekik Dion. Dia berhenti tepat di depan pintu mobil yang sudah terbuka. “Ingat, jangan coba-coba kabur dariku. Jika kamu berani sekali saja menghindar dariku. Maka aku tidak akan segan-segan menyelakai orang tua kamu.” ancam Dion. Alice berdengus kesal, menguntupkan bibirnya menatap semakin tajam. “Jangan beraniinya menyenth orang tuaku. Aku pastikan kamu tidak akan selamat.” Dion mencengkeram erat rahang Alice, menariknya sedikit ke atas. “Kamu berani melawanku?” tanya Dion dengan nada penuh emosi. “Aku tidak pernah takut pada siapapun. Dan termasuk kamu.” Ucap tegas Alice, dengan menunjuk wajah Dion. “Kamu yakin?” ucap Dion. “Apa kamu sekarang tidak takut jika keluarga kamu yang akan menjadi korban nantinya?” lanjutnya, semakin mencengkeram erat rahangnya. Alice memcoba untuk tetap tenang, meringis menahan rasa sakit. Tangan kekarnya seakan ingin sekali membunhnya. “Jika kamu ingin membunuhku, silahkan.” “Tidak, aku tidak akan membunuh kamu dengan Cuma-Cuma.” Dion melemparkan kasar wajah Alice berlawanan arah. “Jangan pikir kamu orang berkuasa yang bisa mengendalikanku. Dan asal kamu ingat. Tidak ada yang bisa mengendalikanku. Kecuali diri aku sendiri.” Jelas Dion. Laki-laki tampa itu, mendorong kasar tubuh Alice masuk ke dalam mobil, dan dirinya segera masuk ke dalam mobil. Tepat duduk di sampingnya. “Jalan, pak!” pinta Dion pada sopir yang sudah menunggunya di dalam dari tadi. Mobil itu perlahan keluar dari rumah mewah Alice. “Alice....” suara teriakan seorang laki-laki terdengar jelas di telingan Alice, suara yang sangat khas dan masih dia ingat. Rain? Apa itu dia? Alice menoleh cepat, dia melihat di balik kaca melihat Rain berlari mengejar mobilnya. Ia memejamkan matanya menahan air mata yang sangat derasnya keluar membasahi wajah cantiknya. “Dia kekasih kamu?” tanya Dion tanpa mentap ke arah Alice. “Bukan urusan kamu.” “Apa kamu tidak ingin turun?” Alice mengerutkan keningnya, menatap tak percaya ke arah Dion. Wajahnya yang datar seakan menyembunyikan sebuah rencana licik yang sama sekali dia tidak ketahui. Apa aku gak salah dengar? Dia mau memertemuka aku denganya. Tapi.. Tidak mungkin. Dia laki-laki licik. Aku takut Rain akan kenapa-napa. “Bagaimana?” “Enggak, jalan saja.” Alice kembali menatap ke depan, tak perdulikan Rain yang terus menyebut namanya. Dan tidak hentinya terus berlari, dia jatuh bangun mengejarnya tetapi Alice sama sekali tidak perdulikannya. Seakan wanita itu menutup rapat-rapat telinganya. Alice mencengkeram erat tanganya, meremas jemari-jemarinya. Ia hanya bisa menuduk. Berharap jika ada sebuah keajaiban nantinya dalam kisah cintanya. Maafkan aku Rain.. Bukanya aku tak cinta.. Atau aku tidak perduli dengan kamu.. Tapi ini juga demi keselamatanmu. Aku tidak mau kamu terluka hanya karena aki-laki licik ini.. Aku janji akan mencari kamu kelak nanti jika aku bisa bebas dari jeratan dia. “Jika kamu memutuskan tidak brtemu denganya.” Dion menoleh. “Jangan harap kamu bisa bertemu dengannya lagi.” Tegasnya. “Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?” tanya Dion. Alice hanya diam, dia tak sadar jika Dion berbicara denganya. Pandnagna matanya terasa kosong. Di dalam pikirannya hanya di penuhi dengan nama Rain dan Rain.. Alice.... Aku akan selalu menunggumu.. Dan tungguah aku.. Teriakan itu terngiang jelas di telinga Alice. Iya.. Rain, aku akan selalu menunggumu. Aku akan selalu menunggumu sampai kapanpun.. “Apa kamu tuli?” pekik Dion, penuh emosi. Dia menarik tangan Alice, mencengkeramnya erat. Membuat pandangan mata Alice tertuju ke arahnya. “Apa?” jawab Alice lirih seakan tak berdaya. Dion menarik sudut bibirnya sinis. “Kamu menangis demi laki-laki itu.” “Tidak, aku tidak menangis.” Ucap Alice beralasan. Ia segera menyeka air matanya. Sesekali Alice menoleh ke belekang. Melihat wajah tampan Rain yang kini semakin jauh darinya. “Kenapa kamu tidak mau bertemu denganya. Jika kamu suka, maka pergilah deganya.” Dion meraih rahang Alice. Menariknya untuk mentapnya lagi. “Cepat katakan, kenapa kamu menangis.” Geram Dion, pervikan api keluar dari ke dua matanya. Amarah membera membakar seluruh mobil, membuat Alice bergidik takut. Baru kali ini dalam hidupnya. Dia melihat amarah seorang laki-laki yang sangat menakutkan. Lebij menakutkan dari pada seekor harimau kelaparan. “Kenapa kamu diam..” bentak Dion. Alice tertunduk takut. Sekujur tubhnya mulai gemetar. “A..Aku.. Aku tidak..” “Tidak apa?” Dion semakin meninggikan suaranya. “Tidak suka denganya..” Dion menautkan ke dua alisnya bingung. Tidak suka? Dasar w************n? Baru di bilang seperti iu. Dia bilang tidak suka. Dasae munafik! “Jika kamu yakin tidak suka denganya. Tunjukan nanti, lepaskan semua pakaian kamu di kamar.” Alice mengangkat kepalanya terkejut, ia mengerjapkan matanya berkali-kali, dengan ke dua mata mereka salin bertemu. “Apa katamu?” “Kenapa? Apa kamu tidak mau?” “Bukanya seperti itu.” Alice tertunduk, mengigit bibir bawahnya, dengan ke dua tangan mencengkeram erat gaun putih yang masih membalut tubuhnya. “Apa?” “Aku..” “Aku tidak mau tahu lagi.. Jika kamu tidak menuruti apa katamu. Berarti kamu memang suka denganya.” Ucap Dion. “Dan pastinya kamu tahu, apa yang aku lakukan nanti padanya.” Sela Dion cepat tak memberi celah Alice untuk berbicara. Alice semakin mencengkeram gaunya, menahan emosi yang mulai mebakar tubuhnya. Ia manarik napasnya dalam-dalam, mengeluarkan secara perlahan. “Baiklah, aku akan menuruti apa katamu.” Ucap Alice, mengangkat kepalanya. “Tapi.. Tolong jangan sakiti Rain, dia tidak ada hubungannya dengan masalah keluargaku.” Jelas Alice. Dion tertawa kecil. “Bagus! Aku suka cara kamu melindungi pacar kamu.” Ucap Dion, kembali menatap ke depan tapa perdulilkan Alice lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN