Pagi yang Kacau

1540 Kata
Pagi-pagi sekali Angeline terbangun karena pintu unit apartemennya digedor keras-keras. Langit di luar masih temaram. Angeline terheran-heran, apakah ada kebakaran? Sambil menggaruk rambut yang kusut Angeline membukakan pintu. Segera saja dua petugas keamanan melongok ke dalam. Angeline melotot melihat sosok Nathan menyeruak masuk. "Pagi, Mbak, tidak ada masalah? Kami dapat laporan kalau ada penghuni yang pingsan karena menghirup gas bocor," kata seorang petugas keamanan. Angeline menarik nafas dalam-dalam, tapi sebelum dia mampu melontarkan makian Nathan sudah memeluk erat-erat. "Syukurlah kamu tidak apa-apa. Lain kali kalau aku telepon segera diangkat. Membuat cemas saja!" Nathan berakting sempurna. "Kamu—" Nathan menekan bagian belakang kepala Angeline hingga wajahnya menempel di d**a, dengan demikian wanita itu tidak dapat bersuara. "Terima kasih, Pak, sudah merepotkan. Pacar saya tidak apa-apa." Nathan mengusir dengan halus. "Mmmpphhh!" Angeline berusaha melepaskan diri dari pelukan Nathan yang sangat erat. Kedua petugas keamanan tadi mengernyit tidak senang. Nathan merogoh kantong celana dan memberikan dua lembar uang berwarna merah, barulah kedua orang itu tersenyum lebar. "Baik, Mas, Mbak, kami permisi dulu. Kalau ada apa-apa panggil saja ya." "Permisi, Mas, Mbak." Angeline menatap tak berdaya saat pintu apartemennya ditutup. Hilanglah harapannya untuk meminta kedua petugas tadi menyeret Nathan pergi. "Kulepas, tapi jangan memukul, oke?" kata Nathan. Angeline menggeram sebagai jawaban. Nathan tertawa. Rasanya nyaman juga memeluk wanita mungil ini, tapi bagaimanapun dia harus melepasnya. Begitu memperoleh kemerdekaan Angeline melayangkan pukulan ke wajah bosnya. Nathan menangkis dengan baik. Sebuah tendangan susulan dari arah tak terduga mengenai sasaran. Tubuh Nathan sedikit terbungkuk karena tendangan Angeline. "Hei, berhenti atau kamu kuikat!" ancam Nathan. "Masih berani ngancam?? Ngapain lo menerobos masuk?? Mau gue laporin ke polisi??" bentak Angeline. "Stop!" Nathan menghindari sikutan dan dengan terpaksa menjatuhkan Angeline ke lantai. "Aaahh! Lepasin gue, b******k!" Angeline tidak dapat bergerak karena Nathan menahan dengan bobot tubuhnya. Dia sedikit panik karena tubuh mereka menempel berhadapan. "Sssshhh ... Begitu caramu bicara dengan atasan?" ejek Nathan. Kedua tangannya menahan tangan Angeline di atas kepala. "Gue resign! Pergi lo b******k!" Angeline berhenti meronta karena dirasa sia-sia. "Tenang dulu, Sayang. Kalau kamu tenang baru kulepas. Oke?" Nathan tersenyum. Posisi ini sangat menggoda baginya, apalagi wanita di bawahnya tidak berhenti bergerak. "Jangan panggil sayang sayang!! Gue bukan pacar lo, b******k! Lepasin!!" "No. Kamu tenang dulu." Nafas Angeline terengah karena emosi. Mana ada bos yang membully karyawannya seperti ini? Sudah menerobos paksa, masih menekan secara fisik pula. Dia menggeliat liar untuk melonggarkan tekanan Nathan. "Gerakanmu menggoda sekali, Angel." Nathan menyeringai. Mata Angeline terbelalak saat menyadari benda apa yang menekan tubuhnya. Panik, Angeline meronta lebih kuat. Nathan menahan nafas, "Semakin kamu bergerak semakin dia bersemangat, Sayang. Bagaimana kalau adik kecil ini butuh tempat untuk melepaskan diri? Kamu mau jadi tempat pelepasannya?" Wajah Angeline merah padam. Dia segera berhenti bergerak, "Nggak mau! Sial, lo pikir gue perempuan apa??" "Bagus. Begitu. Jangan bergerak." Nathan mengamati wajah pasrah di bawahnya. Seumur hidup belum pernah ada lelaki yang memperlakukannya seperti ini. Angeline merasa luar biasa malu dan direndahkan. Dia sudah berhenti bergerak tapi Nathan belum juga melepasnya. Mata Angeline berkaca-kaca. "Jangan menangis, Angel. Aku tidak berbuat apa-apa, kan? Ayo, bangun." Nathan berdiri dan menarik Angeline bangun. Detik berikutnya wajah Nathan tersentak ke samping. "Keluar dari sini!!" bentak Angeline. Telapak tangannya terasa pedas sehabis memberikan tamparan yang tak terkira kerasnya. Baru pertama kalinya ada wanita yang menampar Nathan sekeras itu. Dia menoleh sengit, namun kemarahan Nathan memudar setelah melihat air mata yang menitik di wajah Angeline. Untuk sesaat Nathan tidak tahu harus berbuat apa. "Kubilang keluar!" Suara Angeline bergetar karena emosi. Nathan terdorong untuk merengkuh Angeline, tapi wanita itu melangkah mundur. Tangan Nathan yang sudah terangkat berhenti di tengah jalan. Dilihatnya Angeline sudah kembali pada sikap waspada. Nathan menghela nafas. Kekacauan pagi ini disebabkan olehnya. "Sorry, Angel," ucap Nathan tulus. Angeline tidak merespon. Setelah melalui beberapa saat dalam keheningan, Nathan melangkah keluar dan menutup pintu. Pertahanan Angeline jebol. Dia mendekap mulut dan membiarkan air mata mengalir. Tidak diketahui Angeline bahwa Nathan menyisakan celah kecil di pintu. Begitu mendengar wanita di dalam terisak Nathan segera masuk kembali. Angeline yang sedang sibuk dengan perasaannya tidak sempat menghindari serbuan Nathan. "I'm really sorry, Angel ...." Nathan memeluk Angeline dengan lembut, memberikan ruang gerak lebih jika wanita mungil itu hendak melepaskan diri. "Pergi! Kenapa kembali lagi??" Angeline melepaskan diri dari pelukan lelaki yang sudah dia anggap gila dan maniak ini. "Mau menebus kebodohanku," jawab Nathan. Angeline mengusap air matanya sampai tak bersisa. Dia benci terlihat lemah di depan orang lain. Setelah itu Angeline mengatur nafas supaya dapat bicara dengan baik. "Batalkan kontrak saya," tegas Angeline. "Tidak bisa. Aku benar-benar membutuhkan kamu. Maksudku, seorang asisten pribadi." Nathan cepat-cepat mengkoreksi. "Buka saja lowongan baru," ketus Angeline. "Aku lebih suka yang sudah berpengalaman." "Banyak yang lebih berpengalaman dariku." Angeline mengernyit. "Berapa banyak yang bisa menjadi rekan sparring?" Nathan tersenyum simpul. Angeline memicingkan mata. Ingin rasanya melempar lelaki tidak tahu malu ini keluar jendela. Dia menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. "Saya perlu waktu berpikir," ucap Angeline hanya supaya Nathan pergi. "Baiklah. Kutunggu keputusanmu, Angel," kata Nathan. Angeline tidak menjawab. "Okay then. See you today?" "Tidak janji," sahut Angeline. Tanpa berkata lebih banyak Nathan pun pergi. Jika ada hal yang disesali dalam hidup, kebodohan pagi ini adalah salah satunya. Gagallah rencana berduaan dengan Angeline di luar kota. Nathan menyentuh wajahnya yang masih sakit terkena tamparan. Dia berharap Angeline tidak akan benar-benar menghilang dari kantornya. Sementara itu Angeline telah bertekad untuk tidak lagi menginjakkan kaki di kantor Wayne Group. Penghinaan yang diberikan Nathan terlalu besar untuk dilupakan begitu saja. Lagipula bukankah akan menjadi pelajaran yang baik bagi lelaki b******k itu? Bahwa tidak semua wanita dapat tunduk di antara kakinya? "Sial ... Sadar Nathan ... Dia cuma seorang wanita!" maki Nathan dalam lift. Wajahnya yang serius tampak menyeramkan. Emosi yang tak tersalurkan dalam diri Nathan dilampiaskan ke jalanan. Dia melajukan motor dengan kecepatan tinggi, menyalip setiap kendaraan yang berada di depannya. Jika saja ada orang yang protes, dia pasti akan melayaninya berkelahi. Apa artinya berkelahi di tengah jalan untuk seorang Nathaniel Wayne? Siapa yang berani menuntutnya? Tiba di penthouse di lantai empat puluh satu gedung Wayne Group, Nathan langsung melepas kemeja dan mencampakkannya ke lantai. Dia menghabiskan satu jam menyiksa samsak di ruangan olahraga. "Damn you, Angeline. Lihat nanti siapa yang akan menang," geram Nathan. Nathan meninju samsak sekali lagi sebelum pergi mandi. Lagi-lagi Nathan memaki karena bagian tubuhnya berdiri penuh semangat hanya dengan memikirkan pergulatan yang terjadi di apartemen Angeline. Beban yang menumpuk harus dilepaskan, kalau tidak dia tidak akan bisa bekerja dengan normal. "b******k. Kamu menyebutku b******k. Siapa yang b******k sekarang, hah? Dasar wanita sial." Nathan masih terus mengomel sampai ke ruangannya. Melihat bos yang sedang penuh emosi Cindy batal mengucapkan selamat pagi. Nathan menghempaskan diri di kursi kebesaran. Jarinya mengetuk meja. Gelisah. Nathan menekan nomor ekstension Cindy dan menyuruh si sekretaris menghubungi Angeline. Beberapa menit kemudian Cindy memberitahu bahwa Angeline tidak bisa dihubungi. Kabar itu menyulut emosi Nathan. Dia melempar gagang telepon ke dinding. Hancur. "Sial! Kamu membuatku gila, Angel. Apa yang harus kulakukan denganmu," desis Nathan. Terdengar suara-suara di luar ruangan. Kedengarannya Cindy sedang berusaha keras mencegah seseorang yang hendak masuk ke ruangan Nathan. Sayang usaha Cindy tidak berhasil. Pintu ruangan terbuka lebar menampakkan wajah Alardo yang tersenyum lebar. "Mana dia? Mana wanita yang jadi asisten pribadimu? Kudengar dia wanita yang cantik?" Alardo yang tidak tahu mati berjalan menghampiri Nathan. Melihat sahabatnya datang Nathan berdiri dan menyeret Alardo ke lantai empat puluh satu. Dia masih butuh pelampiasan emosi dan Alardo adalah kandidat terbaik untuk menjadi samsak hidup. Setengah jam berlalu dan Alardo melempar handuk putih sebagai tanda menyerah. "Payah. Kau terlalu banyak mengejar wanita sampai fisikmu lemah!" ejek Nathan yang melanjutkan memukul samsak. "Kau gila! Pukuli orang yang membuatmu emosi, bukan aku!" Alardo terbaring kelelahan di sofa. "Aku tidak memukul wanita, b******k," gerutu Nathan. Mata Alardo membulat. Dia duduk tegak, "Wanita?? Siapa wanita yang berhasil membuatmu emosi? Wanita yang semalam, bukan? Ohhh pasti sangat cantik dan seksi. Kenalkan padaku, Nate!" "Berani menyentuhnya akan kupotong burung kecilmu," ancam Nathan. "Hei, hei, oke, aku tidak akan merebut wanitamu." Alardo menatap ngeri. Nathan mengambil dua botol air dari kulkas. Dia melempar satu untuk sahabatnya. Tato naga tribal di lengan kiri Nathan membuat tubuh kekarnya terlihat semakin sangar. Alardo yang lelaki normal saja kagum melihat tubuh sahabatnya, apalagi para lawan jenis? Tidak heran banyak wanita yang antre untuk bisa naik ke tempat tidur Nathan. "Bertengkar karena apa? Kau tidak bisa memuaskannya di tempat tidur?" tanya Alardo. Nathan menggerutu, "Dia masih perawan." Alardo menyemburkan air yang diminumnya. Nathan menatap tidak senang. "Wow! Dari mana kau mengenalnya?? Apakah dia punya teman? Saudara?" tanya Alardo antusias. "Diam kau." Nathan meneguk air dingin. "Jadi kesimpulannya kau mengajak kencan dan dia menolak?" Alardo menyeringai. Akhirnya Nathan menceritakan secara singkat kejadian tadi pagi. Alardo pun tertawa terbahak-bahak sampai berlinang air mata. "Astaga sahabatku ternyata tidak paham cara mendekati wanita! Apa gunanya kau meniduri wanita-wanita itu kalau masih belum mengenal kepribadian wanita?" ejek Alardo. "Tidak ada hal lain yang kuinginkan dari wanita," ujar Nathan. "Jadi kau akan terus bercinta sampai barangmu terlepas?" Alardo tertawa lagi. Nathan menatap tajam, "Semakin dia menolak, semakin aku ingin menaklukkannya." "Maka kau butuh strategi, Sobat. Wanita suka diperlakukan lemah lembut dan dirayu, bukan dipaksa. Dan please, jangan pernah lagi menerobos masuk ke tempat tinggalnya." Alardo menepuk bahu Nathan kuat-kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN