Gladys membuka pintu rumah mertuanya. Mulai dari dua minggu yang lalu, Gladys ikut tinggal bersama Yudha di rumahnya Marsel. Namun seperti janjinya, kalau dia tetap akan bekerja menjadi pelatih guru musik di tempat lesnya dulu untuk mencari uang yang nantinya bakal dia berikan kepada Jihan.
Kakinya melangkah perlahan-lahan ke arah kamarnya Yudha. Di rumah sedang sepi, jadi Gladys tidak ingin mengganggu siapa-siapa. Kemungkinan besar penghuni rumah sedang beristirahat.
"Baru pulang, Glad?"
Jantung Gladys rasanya hampir copot mendengar suara barusan. Itu suara Alexa, Gladys tahu betul. Tinggal di rumah Marsel selama dua minggu, membuat Gladys jadi hapal siapa saja penghuni rumah ini dan juga suaranya.
"Eh, Bunda," ucap Gladys yang masih berusaha menetralkan rasa kagetnya.
"Astaga, Bunda ngagetin kamu ya? Maaf ya, Glad. Bunda nggak bermaksud begitu." Alexa mendekati Gladys, mengusap rambut panjangnya dan juga mengucapkan maaf.
Gladys menyadari perbedaan Alexa dan Jihan. Keduanya sama-sama seorang ibu, tapi perlakuan mereka terhadap anak-anaknya sangatlah berbeda. Terlebih lagi, posisi Gladys di sini hanya sebagai menantu. Dari cerita urban legend yang biasa dia dengar, kebanyakan perempuan itu kalau di rumah mertua akan dijadikan pembantu atau pesuruh gratisan. Namun semua itu tidak berlaku untuk Gladys. Kenyataannya malah kebalikannya, di rumah mertua dia merasa dijadikan ratu, tapi di rumah sendiri dia merasa seperti pembantu.
"Enggak apa-apa kok, Bun," balas Gladys sambil berusaha tersenyum.
"Kamu sudah makan? Mau makan apa? Biar Bunda masakin sesuatu buat kamu." Alexa memperlakukan Gladys layaknya putrinya sendiri. Tidak ada yang dia beda-bedakan.
"Aku tadi udah makan kok, Bun. Jadi Bunda nggak perlu repot-repot masakin aku," jawabnya sopan.
Alexa menepuk-nepuk bahu Gladys pelan. "Kalau begitu lebih baik kamu istirahat. Kalau misalkan pengen apa-apa, bilang aja ke Bunda nggak apa-apa ya," pesan Alexa.
Gladys mengiyakan sambil memberikan anggukan kepala. "Aku ke atas dulu, Bun." Dia pamit pada ibu mertuanya.
Alexa mengiyakan, membiarkan Gladys beristirahat. Jika dilihat-lihat, sekarang sudah pukul empat sore. Alexa akan ke dapur dan menyiapkan menu makan malam bersama para asisten rumah tangganya.
Gladys merebahkan tubuhnya di sofa kamar. Melihat ke sekitar, kamar yang masih terasa asing baginya. Meski Gladys sudah dua minggu tinggal di sini.
"Aku kangen tidur di rumah," ucapnya lirih.
Bagi Gladys, kamarnya Yudha terasa sangat kosong. Layaknya seperti kamar anak lelaki pada umumnya. Hanya ada ranjang tempat tidur, lemari pakaian, meja belajar yang isinya hanya buku saja. Tidak ada hal lain lagi selain lemari kaca berisikan penghargaan dan piala yang dimiliki Yudha selama menjadi atlet renang.
"Aku harus mandi sekarang," kata Gladys.
Dia bangun, melepas semua atributnya seperti tas, sepatu dan beberapa aksesoris di tubuhnya. Gladys akan mandi sekarang sebelum Yudha pulang. Dia membuka blouse yang dia pakai, tapi dia mendengar suara dentuman keras dari pintu.
"Sorry, gue lupa ketuk pintu," ucap Yudha.
Gladys menoleh ke arah pintu dan mengurungkan niatnya yang hampir membuka pakaiannya. Yudha ada di sana dengan posisi membelakanginya dan menghadap ke arah pintu kamar.
"Gue ingetnya masih di kamar sendirian," lanjutnya lagi.
"Nggak papa, gue ke kamar mandi sekarang aja." Gladys mengalah, dan langsung ke kamar mandi.
Yudha merasa lega. Dia tadi tidak sengaja melihat Gladys hampir melepas pakaiannya. Bibirnya sekarang tidak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri yang selalu lupa kalau dirinya sudah beristri.
"Ah, bodo amat. Gue nggak harus mikirin hal ini terlalu serius." Yudha membuka seragam sekolahnya dan memilih mandi di kamar mandi luar.
Di kamar mandi, Gladys sudah selesai mandi, tapi dia lupa membawa pakaian ganti. Gladys merutuki kebodohannya sendiri, takut ke luar kamar mandi. Akhirnya dia meletakkan telinganya di pintu untuk mengetahui keberadaan Yudha di kamar. Namun Gladys tidak mendengar apa-apa sehingga dia meyakinkan dirinya kalau Yudha memang tidak ada di dalam kamar.
"Mending gue ke luar sekarang, daripada nanti Yudha lebih dulu balik kamar."
Dengan sepenuh keberaniannya, Gladys ke luar kamar mandi dan mengambil pakaian ganti yang dibawa ke kamar mandi lagi. Gladys tidak mungkin berani ganti baju di dalam kamar. Apalagi setelah dia tahu, Yudha sudah pulang.
Di dalam kamar, Yudha maupun Gladys sama-sama diam. Yudha lebih fokus mengerjakan tugas sekolahnya. Begitu pula dengan Gladys yang juga mengerjakan tugas kuliah. Tidak ada yang saling bicara, bahkan sepatah kata pun.
Saat sedang menonton video materi mengenai tugas yang harus Gladys kerjakan, tiba-tiba ada iklan minuman yang bertemakan liburan. Gladys jadi terpincut dan bukannya melanjutkan mengerjakan tugas tapi malah menonton video orang-orang liburan dan berjalan-jalan. Sampai tanpa sadar, Gladys menoleh ke arah Yudha yang masih fokus dengan buku-bukunya.
Rasanya pengen jalan-jalan berdua doang sama dia, tapi mana mungkin gue minta ke dia buat ngajak jalan-jalan. Batin Gladys.
Mengharapkan Yudha mengajaknya jalan-jalan berdua, itu hal mustahil yang harus Gladys terima. Mengetahui kalau Yudha menerimanya ikut tinggal di kamarnya saja, sudah membuat Gladys bersyukur. Gladys membuka headset dari telinganya.
"Lo nggak ada niatan ke luar rumah?" Gladys tiba-tiba bertanya kepada Yudha tanpa memanggil namanya.
Yudha yang merasa kalau Gladys bicara dengannya, seketika menolehkan wajahnya. Menatap Gladys dengan penuh tanya.
"Lo ngomong sama gue?" tanya Yudha memastikan.
Gladys menggigit bibir bawahnya. "Ya nggak ada orang lain lagi di sini selain lo," balasnya.
Yudha seolah sedang memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan. "Kepo," balasnya dan langsung kembali fokus ke buku-bukunya seperti semula.
Gladys berdecak kesal. Yudha sangat menyebalkan tapi Gladys juga tidak bisa menyalahkannya, memang seperti ini hubungan mereka. Jauh di dalam hatinya, sebenarnya Gladys ingin pergi jalan-jalan bersama Yudha. Namun harapan itu sepertinya sia-sia. Yudha tidak akan pernah menuruti keinginannya. Bukan, lebih tepatnya rasa ngidamnya.
"Percuma minta ke dia. Dia juga nggak bakal nurutin," ucap Gladys tanpa suara, hanya gerakan bibirnya saja.
Gladys menyudahi acara nonton liburan. Semakin dia menonton, semakin Gladys ingin pergi bersama Yudha, dan hal itu mustahil terjadi. Sampai dia melahirkan pun, Yudha tidak akan pernah mengajaknya jalan-jalan berdua.
Padahal kalau cuma ke luar beli cilok doang juga, gue udah seneng. Asal beli ciloknya sama dia. Berdua doang. Batin Gladys.
Sekarang Gladys malah menyalahkan iklan yang tidak sengaja lewat tadi. Karena iklan itu, Gladys jadi ingin jalan-jalan dengan Yudha.
Gue juga pengen pergi berdua sama ayahnya, makan berdua gitu. Padahal 'kan yang pengen bukan murni dari gue, tapi dari anaknya juga. Salah siapa coba, gue bisa sampai hamil kayak gini? Gladys tidak henti-hentinya memarahi Yudha dalam hati.