3 Salah Besar!

1275 Kata
Malam merangkak naik, waktu pun sudah berputar maju kini menunjukkan pukul dua dini hari, bisa-bisanya Maruna terjaga, ia merasa tidak tenang, hatinya begitu terasa gelisah. “Maaas?” Maruna memanggil manja dan berbalik, jika biasa dia akan merasakan Kandra menempel kini dia bahkan tidak ada disana. “Mas Kandra, kemana?” Maruna heran ia pun turun dari ranjangnya menelisik ke seluruh ruangan kamar, tidak ada siapapun di sana bahkan lampu kamar mandi pun tidak menyala ia lihat saat ini. Pikiran Maruna mulai berkelana kemana-mana, apakah Mas Kandra keluar? Apakah Mas Kandra pergi diam-diam menemui perempuan lain saat aku tidur dan akan kembali saat sebelum aku bangun. Maruna berjalan cepat ke jendela mengintip mobil mereka yang biasa terparkir di teras rumah. Maruna menarik napasnya lega, mobil itu ada, lalu di mana Kandra? Tidak menunggu, Maruna bergegas keluar mencari sang suami, tiba-tiba di depan pintu kamar ia berhenti saat ia lihat pintu utama rumah mereka terbuka, Maruna segera berjalan pelan ke sana menyelidik, ia berjalan hati-hati sekali, hingga sampai di jendela dan mengintip di sebalik gorden. Degh... Ya ... Kandra ada disana, ia duduk di bangku teras rumah mereka memegang ponselnya, kaki Maruna seketika melamah, lutut-lututnya terasa tidak berdaya. Tampilan pertama yang ia lihat pada benda pipih yang Kandra pegang adalah seorang wanita dengan piyama merah menyala dengan bagian d**a montoknya dibiarkan terbuka, lalu suaranya begitu terdengar bermanja-manja di sana. Maruna berusaha tenang, ia menahan sesak dan bulir beningnya yang kini sudah lolos begitu saja. “Kandra selingkuh, Mas Kandra menusukku dia berhubungan dengan wanita lain.” Maruna meremas dadanya sakit sekali. "Apa ini mass..." Lalu tiba-tiba saja dan entah apa yang mereka bahas, Kandra beranjak akan masuk ke dalam rumah, seketika Maruna pun bersembunyi di sebalik gorden besar itu menahan napas untuk tidak diketahui Kandra. Maruna bernapas lega, langkah terburu-buru Kandra tidak menyadari keberadaannya meski telah menutup pintu, Kandra tampak pergi ke dapur bukan ke dalam kamar mereka. Setelah melihat Kandra masuk ke dalam dapur, Maruna lalu mengikuti Kandra ke sana, berdiri menempel tembok terus menguping pembicaraan sang suami. “Tidurnya sambil buka bajunya, Mas mau lihat.” Dengar Maruna jelas ucapan laknat itu. Shit! berengsek ucapan hina macam apa itu, bisa-bisanya lelaki yang selama ini ia cintai, kasihi sepenuh hati mengucapkan itu kepada seorang wanita lain. Jelas sekali Kandra berselingkuh, jelas hubungan mereka berdua sudah jauh, hubungan mereka sudah terlalu dalam, Kandra sudah lama berselingkuh. Maruna semakin sesak, air matanya tumpah ruah bersamaan kakinya yang seakan melemah, cinta dan kesetiaan di pernikahan mereka runtuh. Kehidupan rumah tangga mereka hancur. Semakin Maruna menangis semakin jelas pula ia dengar pembicaraan menjijikan Kandra bersama wanita itu di dalam dapur gelap itu menemani Kandra yang terlihat tengah membuat minuman dingin. "Turunin lagi, Vir!" Pembohong kamu Mas, angin apa yang memasukimu, angin iblis! “Mas ke kontrakan ya, Vir? Mas kangen kamu, sebentar saja sebelum subuh Mas balik ya ... ya...” Maruna menggeram, Vir-Vira ... Vira satu kantornya? Maruna beberapa kali pernah dengar itu adalah nama rekan kerja di kantor Mas Kandra, kini Maruna pun siap meledak. Amarahnya sudah begitu membuncah, beberapa kali juga rekan-rekan Kandra pernah membahas tentang nama Vira saat dia ke tempat kerja Kandra mengantarkan barang milik Kandra. Dengan napas yang terdengar berat, d**a yang menggelegak panas, Marun pun melangkah ke arah meja, meraih sebuah vas bunga kaca tanpa menimbang dan berpikir panjang. Prakkk…. Bugh…. Prang.... “Wah ada yang sedang asik melakukan video call s*x ternyata, makan ini! SAJA KAMU MAS, MATI!!!” Pekikan kasar itu pun lolos dengan lantang oleh Maruna kepada Kandra di pintu dapur menatap penuh kebencian kepada lelaki yang begitu ia cintai itu. Maruna begitu puas atas kepala Kandra yang tepat sasaran dihantam kuat oleh benda itu, pelipisnya terlihat terluka terkena ujung vas bersama ponsel Kandra yang terbanting. Aku pernah berpikir, aku takut kehilangan dia untuk selamanya terpisahkan oleh alam yang berbeda dan aku lebih memilih dia tetap hidup meski bersama orang lain, nyatanya itu salah. Sangat salah! Nyatanya ini sangat amat menyakitkan lebih dari apa pun. Kandra benar-benar terkesiap Maruna menangkap basah dirinya berselingkuh, kini vas bunga itu pecah bertaburan di lantai bersama ponsel Kandra yang masih menyala. Kandra merintih kesakitan, bagi Maruna tidak ada kata ampun untuk orang yang berkhianat apa lagi berzina seperti Kandra, dengan santai Marun pun mengambil ponsel Kandra di lantai kemudian melambai pada wanita yang tidak tahu apa yang tengah terjadi itu. Seketika tangan Kandra menarik Maruna mengunci lehernya. “Berikan ponselku!” Maruna tercekik oleh tarikan tangan besar Kandra, dia pun berusaha melepaskan dirinya, memukul-mukul Kandra. Plakkk. Maruna menjatuhkan lagi ponsel Kandra. “Berengsek kamu Mas, apa yang sudah dia berikan pada kamu, sampai seperti ini?” tatap Marun tidak takut. “Baguslah sekarang kamu sudah tahu semuanya Runa, ya dia, dia Vira kekasih Mas.” Dada Maruna memanas, ini lelaki tidak lagi punya malu atau sudah dibutakan oleh wanita, bisa-bisanya dia mengatakan dia kekasihnya tanpa mengelak atau berbohong dulu, Kandra sialan dia benar-benar mengakui itu. “Kekasih, oh ya? Kamu tega ya Mas, dimana hati kamu melakukan itu, kenapa tidak kamu ceraikan saja aku jika mau seperti ini.” Kandra memijat pelan benjolan dan sedikit luka pada kepalanya. “Ya saya akan menceraikan kamu saat ini! Kita sudah tidak ada kecocokan Runa, saya rasa hubungan kita tidak sehangat dulu, saya tidak tahu kenapa saya tidak lagi merasakan getaran itu di kamu.” Maruna sebisa mungkin menahan air matanya, hanya dalam hitungan jam semesta membolak-balikkan hati seseorang. “Saya tidak merasakan getaran itu lagi pada kamu!” Apakah pantas seseorang mengatakan kalimat itu pada istri yang selama ini mendampinginya. Maruna mengulang ingatan saat sedang hangat-hangatnya hubungan mereka. “Ingatkan Mas kalau Mas berubah, Ingatkan Mas kalau Mas melakukan kesalahan.” Omong kosong itu semua! Itu semua hanya saat dunia seakan milik berdua. Seperti ini Marun akan mengingatkannya. “Maaf, waktuku lebih berharga dari sebuah rumah tangga sampah yang sudah tidak lagi pada jalannya.” Maruna melengkungkan senyuman. “Dia membuat kamu bergetar Mas, dia membuat kamu tega sejujur ini dengan aku, Mas?” “Maaf Runa, saya pilih dia.” Ucapan itu lolos begitu saja lagi, saat padahal Maruna tidak meminta Kandra memilih siapa. Jelas saja, kaki Maruna lemas, seperti dunia ini runtuh, ini mimpi ... ini mimpi ... bayangkan saja semua yang begitu manis tiba-tiba menjadi segetir ini. Maruna nyaris meloloskan air matanya namun Ia terus berusaha tegar tidak menyahut, rasanya baru saja Kandra memeluknya, Kandra memintanya untuk duduk di ranjang dia yang akan bereskan rumah mereka, Kandra menggendongnya berkeliling rumah menghabiskan sore hari mereka, menghabiskan waktu mereka yang manis dan romantis. Sayang Mas pulang cepat, kita akan makan di mana? Besok Mas libur kita ke pantai mau? Maruna tersenyum, kalimat Kandra menghantam kewarasannya, ini benar Maruna kau tidak gila, lelaki itu benar mengutarakannya. Maruna terkekeh menutupi kepedihannya. “Kalian sudah lama? Baiklah, lakukan apa yang kau mau, semoga kau tidak akan menyesal.” “Aku tahu pasti kamu akan mengatakan itu Runa, hati tidak bisa dipaksa. Mas dan dia pun tidak tahu sejak kapan rasa itu ada dan membuat kami nyaman. “ Lagi-lagi Runa ditampar kenyataan, jiwanya ditembaki kepedihan. “Nyaman?” Maruna menyeringai mengulang kalimat Kandra jijik. Langsung Maruna pergi dari sana, Maruna tertawa, ia terbahak-bahak menertawakan dirinya, air matanya kini lolos semakin deras, sungguh Maruna mati rasa, perasaan cinta dan apa pun itu di hatinya lenyap tergantikan dengan sakit dan kebencian. Tidak ingin dia mendoakan untuk mereka mendapatkan balasan setimpal, tidak ingin lagi dia memperlakukan atau menyadarkan seakan Kandra tengah khilaf dan mereka perlu berbicara baik-baik. No tidak akan pernah. Maruna pun kembali ke ranjang ia menenggelamkan wajahnya ke bantal lalu memaksakan memejam melanjutkan tidurnya. “Inalillahi, ku anggap kau sudah meninggal mulai malam ini Kandra.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN