Seorang perempuan berusia 30 tahun, mengetuk pintu tripleks rumahnya. Ujung bawah pintu, geripis. Dikerat oleh tikus. Tepat di pojok kanan bawah pintu kontrakan seharga 300 ribu per bulan itu, terdapat lubang sebesar badan tikus. Tempat keluar masuk si pengerat. Sang perempuan menambalnya dengan kardus sementara.
Baju wanita ini tidak ada yang lusuh. Semua rapi dan bersih. Naya membenarkan jilbab instan biru langitnya. Meregangkan bibir, agar senyum tercipta sempurna di depan dua bocah kecil pembuka pintu.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hore ... Ibuk pulang!" seru dua bocah, begitu jelas terdengar dari balik pintu.
Bunyi derit mengalun, seiring gerakan pintu yang mulai seret dibuka. Sosok cantik dan tampan muncul dengan wajah berbinar. Sepintas saja, mereka menyambut senyum Naya. Lantas, tatapan mereka beralih pada kantung plastik hitam di tangan kanan Naya.
Aim menerima kilat apa yang sang ibu sodorkan. Membawanya ke meja lipat kayu, yang sebenarnya berfungsi sebagai meja belajar anak. Mereka tidak punya meja makan. Meja lipat itu, adalah meja serba guna terbaik yang pernah mereka miliki. Bisa ditekuk dan diselipkan di belakang pintu, jika tak sedang terpakai.
"Bang. Ini mangkuknya."
Uma mengangsurkan tiga mangkuk plastik ukuran sedang, setelah sempat mengidentifikasi tekstur makanan dengan tangan telanjangnya, dari luar plastik.
"Ibuk. Ini Indomie goreng, ya?"
Mata Uma membola. Ia tak tahan untuk tak berkomentar begitu hidangan yang terasa masih hangat dituang. Bawaan ibunya malam ini, berbeda dari yang sering Uma dapati di hari-hari sebelumnya.
"Bukan, Sayang. Ini namanya Spaghetti. Spa-ghe-tti bo-log-nese,” eja Naya.
"Spaghetti bolong, ya, Buk?"
"Bolognais, Uma. Gimana, sih? Makanya, kalo Abang putar radio Mister John, kamu jangan main-main terus sama Nenes."
Uma mengerucutkan bibir, yang disambut pelukan oleh Naya. Naya tak bisa menyalahkan Aim untuk tak mengingatkan Uma. Pasalnya, Aim terlalu terbiasa bersama adiknya ini. Selama hampir 10 jam, Aim-lah yang menjaga Uma, ketika Naya mencari nafkah. Pun mengajak gadis kecil itu mendengarkan radio sebagai hiburan, sekaligus mengganti keramaian, kala sosok Naya sedang tak ada. Mereka tak punya TV seperti yang Nenes punya.
Secepat kilat Naya membagi rata sesuai porsi.
Aim paling banyak. Tubuh Aim besar dan dia aktif sekali. Setiap hari makin semangat menghafal ayat yang ditugaskan dari ekstrakurikuler tahfidz dari SD-nya.
Uma di urutan kedua. Meski badan gadis usia tujuh tahun itu kecil, porsi makannya juga tak disangka-sangka. Lauk separuh piring besar mampu ia habiskan dalam lima menit.
Urutan terakhir diduduki oleh Naya. Perempuan yang sudah ditinggal tiga tahun oleh suaminya itu, pasrah jika harus makan nasi dengan lauk sambal atau kuah sisa pembagian makanan anak-anak. Ia tak tega mengambil jatah kedua anaknya.
"Enak, Ibuk," komentar Uma di suapan kedua.
Naya tersenyum teduh.
"Pedes, nggak?"
Uma tak bersuara. Namun, suap demi suap makanan yang masuk ke mulut Uma, telah menjawab segalanya.
"Ibuk yang masak di rumah Bu Sukma, ya?"
Aim mengangsur air putih pada sang adik yang bibirnya mulai memerah merasakan pedasnya lada di lidah.
"Bukan. Tadi Tuan Laksa yang bawa."
Laksa dan Bu Sukma, adalah majikan terbaik di dunia bagi Naya. Meski kehidupan seorang konglomerat yang konon dekat dengan hingar-bingar pergaulan bebas juga pamer kekayaan, mereka tak mencerminkan sosok seperti itu. Majikan berhati sebaik malaikat.
Pantaslah jika Naya berpikir rezeki Laksamana Latif tak pernah habis meski dihambur ke sana kemari. Sedekah Laksa tak pernah main-main. Panti asuhan, proposal pembangunan masjid dimana pun yang disodorkan padanya, juga beberapa rumah singgah untuk para tunawisma.
Seperti inti sebuah ayat di Al-Qur'an, bahwa perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.
Allah tak pernah berhutang dengan hamba-Nya, dan tak pula ingkar janji. Harta Laksa terus bertambah 700 kali lipat seiring sedekah yang terus ia gelontorkan.
-----------------------------------------
Di sisi lain, sebuah kontrakan satu kamar dan satu ruang serba guna utama, berdiri bangunan dua lantai di atas tanah seluas 2000 meter persegi, yang dicat d******i putih. Tempat Naya mengais rupiah. Meski yang tercatat dalam Kartu Keluarga hanya ada dua nama, tetapi lalu-lalang manusia di rumah itu tak pernah mati. Karyawan Laksa mencakup buruh dan sales, berjumlah 100 orang. Sedangkan yang sering berkunjung ke rumah, sekitar separuhnya. Belum termasuk asisten rumah tangga seperti Naya—yang jika dihitung dengan jari tangan mentok di angka 10.
Ibu Sukma mengasuh Laksa seorang diri. Hingga menjadikan Laksa, sosok seorang pria yang jika wanita pantas bersiul, pasti ia akan mendapatkan puluhan siulan di setiap langkah Laksa menelusuri desa.
Laksa, pria yang matang. Memiliki usia tak jauh dari Naya. Hanya berbeda satu tahun lebih tua dibanding Naya. Aura seorang pemimpin yang dingin, begitu menguar jika tiba saatnya karyawan sales memberi laporan pagi.
Satu yang membuat Laksa mencoreng sendiri gelar ‘baik hati’ yang Naya sematkan pada pria itu. Laksa berubah menjijikkan kala malam tiba. Ia menggelar pesta mabuk di gazebo belakang rumahnya. Sendirian. Membuat Bu Sukma dan Naya harus menghela nafas panjang, tanda lelah.
Bu Sukma lelah, karena harus terus memuntahkan nasihat, yang tak pernah anaknya indahkan.
Naya lelah, setiap pagi mendapat tugas membersihkan botol-botol kosong berbau menyengat bercampur puntung rokok dan bekas makanan.
-------------------------------------
"Dah, yuk. Abis ini tidur. Besok, kan, sahur pertama kita. Udah tarawih tadi, Im?"
"Udah, dong, Buk. Uma duduk shaf paling depan. Deket Nenes,” balas Uma sembari menyendok spaghetti terakhirnya. “Ibuk ... Ibuk ... tahu nggak? Bundanya Nenes beliin Nenes mukena baru. Bagus. Warnanya pink. Ada gambar kuda poninya di dep—"
"Hush, Ma! Yang penting itu bukan mukenanya. Tapi pahalanya. Lagian kita mau nabung buat beli genteng. Ya, kan, Buk?"
Senyum paling manis terbit dari bibir merah muda Naya. Namun, tak seperti hatinya. Bagai ada sebilah pisau tajam sedang menyayat sangat dalam, hingga susah payah Naya menahan air mata yang merebak di sudut mata.
Membeli genteng baru.
Impian terbesar mereka dalam waktu dekat.
Naya sudah menabung satu bulan terakhir, demi agar anak-anaknya tidur nyenyak, kala hujan melanda di malam hari.
Agar buku-buku bekas yang Naya dapatkan dari kakak kelas Aim yang masih terhitung tetangganya, tak koyak karena terlalu lama basah.
Juga agar mereka bertiga tidak lagi menjemur kasur di tengah hari, hanya karena air terjun dadakan yang tak lagi tertampung oleh panci yang Naya pasang di atas kasur. Lantas, membasahi seisi kasur kapuk Naya satu-satunya.
"Iya, Aim, Uma. Berdo’a ya? Besok Ibuk cicil dulu beli berapa meter."
-------------------------------
NB:
KEMBALI LAGI dengan cerita terbaruku. Semoga kalian suka ya? n****+ ini memenangkan juara 1 lomba menulis di salah satu pf, kini hadir untuk pembaca setiaku di Innovel. Ada 45 bab, dan 20 extrapart yang merupakan novela sequelnya. JANGAN LUPA TAP LOVE dulu. WAJIB dong.
ATURAN:
ATTITUDE IS NUMBER ONE.
Saya menghargai pembaca yang menghargai saya. NO KOMENTAR NEXT. NO NGELUH2 DI KOMEN. NO PLAGIAT. NO MEMBAJAK. NO MENJUAL SEENAK UDEL PDFNYA. YANG MO BELI, SILAKAN JAPRI SAYA DI SOCMED AJA. SAYA JELAS DAN TEGAS AKAN MENINDAKLANJUTI SEGALA BENTUK PELANGGARAN HAK CIPTA!!! PENJARA/GANTI RUGI DENGAN NILAI YANG NGGAK AKAN KALIAN SANGKA-SANGKA. Serem ya Mak ya? Emang SEREM, Mak kalo sama kang bajak. Biarin kapok! Penjara udah penuh. Tapi rekening Mak akan selalu terbuka lebaaaarrrr untuk para Kang bajak transfer ganti rugi.
Selamat menikmati.
Dari Mak yang selalu manis untuk pembaca yang manis juga. #eaaakkk