3. Bistik Sapi Mentega

1082 Kata
Laksamana Latif berarti lelaki baik yang punya kemauan keras. Meski Laksa adalah seorang murah hati, tetapi segala titah yang keluar dari mulut Laksa, harus terpenuhi dengan segala cara, saat itu juga. Termasuk, bistik sapi mentega yang Naya tak pernah sekalipun memasaknya.  "Yo kamu cari aja cara masaknya di Cookpad itu lho, Nay." "Apa itu, Mbak?" "Kumpulan resep. Ada di HP. Mana HP kamu?" "Ya Allah, Mbak Rus. Saya nggak punya HP. Ya Allah, kok, di radio kemarin juga belum pernah bahas resep ini. Nggak ada di catatan saya." Sejak Naya diterima sebagai juru masak di rumah keluarga almarhum Bapak Taruma Latif, ia rajin mengumpulkan resep melalui radio yang ia punya untuk memperdalam ilmu memasak. Dahulu, Naya boleh berbangga hati, lantaran menu tiga kali sehari selama sebulan, terulang tanpa protes oleh dua tuan rumah tersisa setelah Pak Taruma meninggal dunia. Namun, entah apa yang menjadi penyebab, kini Laksa sesuka hati meminta menu baru sesuai seleranya hari itu.  "Saya boleh minta tolong dicarikan, Mbak? Nanti saya catat." "Duh, aku nggak punya paket. Aku bilang Risma dulu, ya, biar tethering?" Naya mengangguk meski ia tak tahu betul apa itu pengertian tethering. Maksud yang ia tangkap adalah, sepertinya meminta paket pulsa untuk semacam membeli informasi dari situs resep tersebut.  Tiba beberapa menit kemudian, Rustini mendaratkan bokongnya di kursi putar kitchen bar sembari mengotak-atik ponselnya. Mengetik kata kunci yang dimaksud. Setelah didapat, ia menyerahkan pada Naya. "Nyoh! Catet, Nay. Cepet! Aku keburu belanja. Ntar warung Ko Hari keburu habis semua bahan sayurannya." Sigap, Naya mencatat resep dari ponsel Rusmini. Usai membuat catatan ringkas agar tak berlama-lama membuang waktu, ia mendata semua bahan makanan untuk diserahkan pada Rustini.  "Ini Mbak, belanjaannya." "Oke." ------------ Hari ini sepertinya makan siang Laksa akan terlambat datang. Selain karena kesusahan mencari resep, merekap daftar belanjaan, Rustini juga harus berputar ke pasar lain dengan motor khusus belanja milik keluarga Latif, mencari daging segar yang telah kehabisan di warung Ko Hari. Satu penutup penambah semangat Kris—pekerja Laksa yang mendapat tugas mengambil masakan untuk dibawa ke proyek—kian mengerut, adalah matahari begitu terik di atas kepala. Sejak pukul sebelas, Laksa sudah mengeluh pada buruh yang bekerja lambat. Terlalu banyak istirahat, pun memakai alasan berpuasa demi mengurangi kecepatan mereka bergerak. Ia juga sempat memarahi Kris lantaran hanya membawa air putih, alih-alih kopi penambah stamina Laksa bekerja.  "Kus! Susul Kris! Lamanya bukan main! Atau dia ikut-ikutan buka puasa dulu, baru ke sini?" "Baik, Tuan." Baru saja Kus memutar badannya, dari arah berlawanan Kris datang dengan serantang pesanan menu siangnya.  Makan dengan khidmat, sembari penonton lain hanya duduk-duduk menikmati pemandangan siang di bulan Ramadan. Pemandangan orang makan siang. Sungguh cobaan berat bagi buruh Laksa yang sejak pagi hingga nanti sore, dikuras tenaganya untuk membangun rumah satu dan lainnya.  Selain perumahan, Laksa juga membangun ruko-ruko di pinggir jalan depan perumahan. Mengikuti jejak usaha ayahnya sebagai pebisnis perumahan, gerak Laksa dalam bekerja makin gesit. Ia tak hanya pintar dalam hal membuat tata wilayah, sehingga pembeli bahkan sudah berani membayar meski rumah belum jadi. Negosiasi Laksa dalam membeli berhektar-hektar tanah penduduk, pun tak diragukan lagi. Bagi para penduduk kampung, Laksa adalah lelaki pemurah. Entah karena mereka dijanjikan sesuatu akan tanahnya atau memang hanya Laksalah yang berani menawar tinggi harga tanah penduduk untuk dibangun perumahan baru.  Tiba-tiba, suara rantang kosong jatuh ke tanah. Membuyarkan kesadaran para pekerja di bawah pohon. Tadinya, mereka telah hampir tenggelam perlahan ke alam mimpi yang diiringi angin sepoi, jika Laksa tak menendang rantang makanannya.  "Kurang! Siapa tadi yang masukkan bistiknya ke rantang?" Kris menunduk dengan kedua tangan dilipat ke depan. Ingin mengaku salah, tetapi mempertahankan karier kali ini sepertinya dianggap lebih baik dan utama. Anak istrinya mau makan apa jika ia dipecat?  "Mbak Naya, Tuan." "Bohong! Kamu bohong! Memang boleh orang puasa, tapi bohong?" Dalam batin Kris menjawab,”memang boleh Tuan makan di siang bolong di bulan Ramadan?” tapi urung diucap. Kris hanya mengangguk. Ia mengharap kali ini nyawanya masih bisa selamat dengan pertolongan Allah melalui Naya.  Laksa maju. Menarik kerah baju Kris yang lusuh, khusus untuk menukang.  "Awas kalau saya tahu kamu bohong!" Lagi, Kris mengangguk.  ----------- Senja hampir tenggelam di ufuk barat, saat Laksa dan para pekerja kembali ke kediaman mewah ini. Meski seharian Laksa uring-uringan, tetapi ia tak menghalangi para sasaran amukannya tadi siang, untuk berbuka puasa di rumah Laksa. Seperti biasa.  Naya, Rustini, dan Risma, telah siap menghidangkan satu per satu piring yang telah diisi nasi, bistik sapi mentega, sayur pelengkap, juga minuman segar berbahan buah-buahan. Pekerja telah duduk rapi di atas tikar teras sayap kanan rumah, serasa lupa jika neraka tadi siang telah berganti menjadi surga sore ini. Hadiah dari kesabaran menghadapi tuan rumah baik hati, tetapi sangat pemarah jika menemukan kesalahan. Hadiah yang mereka tak kaget lagi dengan apa yang akan mereka dapat. Menu siang Laksa, adalah menu makan mereka saat berbuka.  ----------- "Kurang!" protes Laksa ketika Naya menghidangkan bistik pesanan sang tuan di meja makan. Bu Sukma sampai mengernyit heran dengan tingkah anak lelakinya. Begitu pula Naya, yang telah mendapat laporan dari Kris. Ia memberi dua irisan besar daging sapi, hingga piring Laksa penuh akan bistik tersebut.  Naya tak terlalu kaget. Kris yang tadi datang bersama yang lain, tergopoh-gopoh segera menuju dapur. Mengajak pada sebuah persekongkolan bahwa Nayalah yang menakar hantaran makan siang hari ini. Sebenarnya janda dua anak itu takut berbohong. Namun, melihat Kris yang lebih ketakutan, akhirnya Naya menghela napas panjang. Ia akan menanggung kesalahan Kris yang tadi terburu-buru memasukkan nasi ke rantang, lantaran hari kian siang dan waktu makin terlambat. Niat Kris membantu Naya, justru menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. "Biasanya juga segitu makan kamu," bela Bu Sukma.  "Siang tadi dikit. Jadi tambah dua kali lipat." Laksa menyodorkan piringnya pada Naya.  "Ini sudah saya dobel Tuan dagingnya," kata Naya masih heran. Harus diletakkan dimana lagi daging tambahan, jika Laksa menyodorkan piring yang telah penuh begini?  "Nasi!" "Owh ...." Mulut Naya membola, diakhiri dengan kekehan. Jadi, Tuan Laksa ini meminta nasi? Dari rekam data yang Naya catat tadi pagi, bahwa kebanyakan orang menikmati bistik daging sapi jarang menggunakan nasi. Ia menertawakan otaknya yang lambat sekali paham. Namun, tak seperti yang ditangkap Laksa. Rautnya berubah geram. Alis tebalnya terangkat begitu tinggi.  "Kenapa ketawa? Saya lapar dan kamu menertawakan saya?" Tawa Naya padam seketika, bagai lilin kecil tertiup angin kencang. Ia menunduk. Mengambilkan nasi sesuai porsi yang biasa Laksa makan.   "Maaf." Satu kata terakhir sebelum Naya kembali ke belakang untuk menikmati buka puasa terlambatnya, setelah melayani makan malam pria yang bahkan tak pernah menjalankan puasa.  Perasaan bagai orang tertindas ini, Naya sudah biasa.  ----------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN