Sana mengembuskan napas lega, Joe sudah tidak terlihat di dalam toko buku lagi. Sungguh, kehadiran Joe sangat mengganggu baginya, dia tidak bisa fokus dalam bekerja. Tatapan Joe yang selalu mengarah padanya membuatnya kehilangan konsentrasi dalam menghitung jumlah barang maupun harga. Karena itu dia sangat senang ketika melihat Joe dan teman-temannya melangkah melewati pintu keluar toko.
"Ini belanjaannya." Sana tersenyum ramah, mengangguk sekali saat memberikan kantong plastik berisi barang belanjaan seorang pembeli. "Terima kasih," ucapnya.
Pembeli itu mengangguk, berlalu tanpa berkata apa-apa. Sana menghela napas pelan, dia maklum. Semua pembeli memang seperti itu, sangat jarang ada yang mau membalas sapaannya. Mereka ingin cepat-cepat keluar dari toko setelah memilih barang dan mengantre untuk membayar. Soal antre, ini juga salah satu yang yang membuat pembeli terkesan terburu-buru. Mereka tidak ingin membuat pembeli lain yang berdiri di belakang mereka menunggu lebih lama lagi. Karena siapa pun tahu kalau menunggu adalah sesuatu yang sangat tidak menyenangkan.
Sana kembali berhadapan dengan seorang pembeli, kali ini seorang gadis kecil dengan setumpuk buku komik. Sana tersenyum ramah dan menyapa gadis kecil itu.
"Halo!"
Si gadis kecil membalas sapaan Sana dengan tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi-giginya yang sudah tidak berada di tempatnya lagi. Gadis kecil kepang dua itu ompong.
"Kamu suka baca komik ya?" tanya Sana lembut.
"Iya!" Si gadis kecil mengangguk cepat. Memberikan selembar kartu pada Sana ketika semua buku komiknya sudah dihitung dan dijumlahkan seluruh harga.
Sepasang alis Sana berkerut menerima kartu itu. Sana meneliti kartu kredit beberapa saat, mengedarkan pandangan mencari orang tua si gadis kecil pemilik kartu. Seorang perempuan berusia kira-kira di pertengahan tiga puluh mengangguk. Perempuan cantik itu mendekat, tangannya mengusap pucuk kepala si gadis kecil.
"Mami!"
Seruan dari suara mungil itu membuat Sana kembali mengembuskan napas lega. Perempuan cantik itu ternyata ibu dari si gadis kecil pembeli buku komik dan pemilik kartu kredit. Segera Sana menggesekkan kartu itu pada mesin, mengembalikan kartu begitu transfer selesai.
"Terima kasih, Mbak." Perempuan cantik itu mengangguk ramah saat menerima kartunya kembali. "Saya membiasakan Una untuk mandiri," ucapnya memberitahu.
Sana juga mengangguk. Tak lupa senyum ramah selalu menghiasi bibirnya yang dipoles dengan lipgloss berwarna sesuai dengan warna bibirnya, peach. Jadi nama gadis kecil itu Una? Sekarang Sana dapat memanggil namanya.
"Biar dia nggak manja. Saya mengawasi dari jauh kayak tadi," sambung ibu Una.
"Una selain cantik juga pintar ya?" puji Sana sambil menyerahkan kantong plastik berisi buku-buku komik milik Una ke tangan ibu gadis kecil itu. "Una bacanya jangan dekat-dekat sama mata ya, nanti matanya rusak."
"Tuh, denger kan apa kata kakaknya? Nggak boleh baca deket-deket kalo nggak mau pake kacamata kayak papi." Ibu Una menunjuk Sana yang tersenyum menatap mereka.
Una mengangguk patuh. "Siap, Mami!" jawabnya.
Sana dan ibu Una tertawa kecil. Setelah berbasa-basi sebentar, ibu Una mohon diri. Ada seorang pembeli yang mengantre di belakang mereka. Tadi tidak ada antrean, Una yang terakhir sehingga mereka dapat berbincang-bincang santai.
"Terima kasih, Una sama Mami. Nanti datang lagi ya." Sana melambai pada Una dan ibunya yang menjauh.
Sebelum mencapai pintu Una berbalik, membalas lambaian Sana. Ibunya hanya tersenyum, mengangguk dan segera keluar toko.
Sana kembali melayani pembeli yang ingin membayar. Mengucapkan terima kasih setelah selesai.
"Capek banget hari ini!" Hannah mengeluh untuk yang pertama kali di hari ini. Mendatangi meja kasir yang dijaga oleh Sana adalah kebiasaannya kala pengunjung sepi. Seperti sekarang, Hannah langsung mendatangi Sana dan duduk di kursi yang diperuntukkan bagi Sana. "Asli deh, Sa, rasanya gue pengen berbaring aja."
Sana memutar bola mata. Hannah kan memang selalu mengeluh capek setiap hari, kecuali hari libur saat mereka tidak masuk kerja. Hannah akan mengajaknya jalan-jalan entah ke mana. Sungguh kebiasaan jelek dan tidak pantas untuk ditiru.
"Lo nggak capek, Sa?" tanya Hannah. Tangannya terulur mengambil sebotol air mineral dari rak di bawah meja Sana. Botol mineral milik Sana, tapi Hannah tidak peduli. Dia sudah sering melakukannya, toh Sana tidak marah. Yang paling penting dia haus, dan lupa membawa botol air mineral miliknya. "Perasaan dari tadi lo nebar senyum mulu," sambung Hannah setelah meneguk habis semua air di dalam mulutnya. Tatapan ingin tahu dilayangkannya pada Sana.
Sana menarik napas jengkel sebelum menjawab. Dia tidak suka tatapan menuduh dari Hannah. Sana membalasnya dengan memicingkan mata.
"Nggak usah curiga kayak gitu ya!" Sana membelalak. Mata cokelatnya yang tadi memicing sekarang melebar. "Kita kan petugas kasir, ya, harus senyum lah! Masa harus cemberut, yang ada ntar semua pembeli kabur!"
Hannah cekikikan. Dia memang sangat suka menggoda Sana. Reaksi Sana yang tanpa dibuat-buat membuatnya gemas.
"Iya sih, tapi kan ada kalanya juga kita bete. Apalagi kalo ada pembeli yang nyebelin. Contohnya Joe!" Hannah sengaja memberikan penekanan saat menyebut nama Joe. Dia ingin tahu bagaimana reaksi Sana saat mendengar nama itu. Biasanya Sana akan mendiamkannya. Entahlah bagaimana dengan sekarang.
Joe memang menyebalkan, Hannah mengakui itu. Joe selalu mengganggu Sana dengan tingkah konyolnya. Namun, di balik semua itu Hannah tahu, Joe menyukai Sana. Semuanya tampak dari sikap Joe yang selalu memperhatikan sahabatnya. Tatapan Joe pada Sana juga berbeda. Dia memang tidak pandai menilai seseorang tapi sikap Joe sangat terlihat. Sayangnya Sana tidak peka, atau dia hanya berpura-pura tidak peka?
Sana langsung berbalik membuang muka. Hannah mengingatkannya pada pemuda paling menyebalkan yang pernah ditemuinya.
"Jangan nyebut-nyebut nama dia bisa?" pinta Sana ketus.
Hannah kembali tertawa. Benar kan yang dikatakannya tadi, kalau Sana begitu menggemaskan dengan reaksi alaminya.
"Emang kenapa sih?" tanya Hannah menggoda. "Ada yang salah ya sama Joe?"
Sana mendelik. Bercanda Hannah kali ini sangat tidak lucu. Hannah yang paling tahu kalau Joe itu tak ubahnya gulma dan eceng gondok di sawah, sama-sama pengganggu.
"Joe itu ganteng lho, Sa. Tampangnya imut kayak bocah."
Sana memutar bola mata. Hannah menyebutkan tipe laki-laki kesukaannya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Hannah menyukai berondong. Bahkan kekasihnya sekarang seorang bocah kemarin sore yang berusia empat tahun di bawahnya. Sana tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. Bagaimana mungkin Hannah bisa dekat bahkan sampai berpacaran dengan anak di bawah umur seperti itu? Sana bergidik membayangkan kejadian beberapa hari yang lalu, saat dia melihat Hannah dan bocah itu berciuman. Mereka begitu panas, Hannah dan bocah itu terlihat sama-sama menikmati permainan mereka.
"Tinggi lagi," sambung Hannah. "Lo kan pendek, cocok tuh sama dia." Hannah kembali cekikikan. Mencubit gemas pipi Sana yang menggembung.
"Iya iya, ngalah aja deh sama yang lebih tinggi." Sana memutar bola mata kesal. Dia memang pendek, tingginya hanya lima kaki lebih beberapa inchi. Hannah lebih tinggi darinya, dia hanya sebatas tulang pipi sahabatnya itu.
"Dih ngambek." Sekali lagi Hannah mencubit pipi Sana. Pipi chubby itu benar-benar membuatnya gemas. Seandainya saja bisa ingin digigitnya pipi itu. "Jangan suka ngambek ntar cantiknya hilang."
"Bodo!" Sana makin cemberut.
"Jangan benci sama Joe ya, Sa. Ntar jatuh cinta." Hannah makin menggoda Sana. Dicubitnya sekali lagi pipi tembem Sana sebelum kembali ke belakang meja kasir yang ditempatinya.
Sana tidak menghiraukan. Namun memikirkan kata-kata Hannah di dalam hati. Dia juga sering mendengar orang-orang berkata seperti itu. Jangan terlalu membenci karena akan berubah menjadi cinta, tapi dia tidak membenci Joe hanya tidak menyukainya saja. Benci dan tidak suka itu berbeda bukan? Sana menggeleng. Dia tidak ingin memikirkan pemuda menyebalkan itu. Sana akui Joe memang tampan, tapi tetap saja Joe pengganggu dan menyebalkan.
Baru saja Sana duduk, seorang pria dengan buket bunga di tangan mendekatinya. Pria yang ternyata kurir itu memberikan buket bunga padanya, dan pergi setelah Sana menandatangani bukti kalau dia sudah menerima bunga, tanpa berkata apa-apa. Meninggalkan Sana yang kebingungan dengan buket bunga mawar putih besar.
Hannah yang melihatnya kembali menghampiri meja Sana. Dengan heboh Hannah memeriksa kartu ucapan yang menyertai buket. Hannah menemukan kartu itu di dalam buket setelah mencarinya beberapa saat, memeriksa dengan hati-hati tentu saja. Bagaimanapun Hannah tidak ingin merusak bunga cantik ini.
Sana melarang Hannah membuka kartu ucapan. "Jangan dibuka!" serunya sambil mengambil kartu dari tangan Hannah.
"Kenapa sih?" tanya Hannah memprotes. Dia sangat penasaran dengan orang yang sudah mengirimkan bunga kepada sahabatnya. Hannah merebut lagi kartu berwarna merah hati itu dari tangan Sana.
"Gimana kalo salah kirim?" Sana bertanya was-was. Dia tidak ingin malu atau lebih buruk lagi mengganti buket bunga ini yang dia yakin tidak murah.
"Salah kirim gimana?" Hannah balas bertanya. "Nggak mungkin lah!" sangkalnya. "Kan mawar putih kesukaan lo."
Sana hanya diam, tidak mengangguk ataupun menggeleng sebagai respon. Dia masih khawatir kalau-kalau buket bunga ini salah kirim. Meskipun mawar putih adalah kesukaannya, tapi yang menyukai bunga ini bukan hanya dirinya saja bukan?
Buat cewek yang udah bikin gue kayak orang gila.
Semoga lu suka sama bunganya.
Hannah mengerjap beberapa kali setelah membaca kata-kata yang tertulis di kartu. Kata-kata itu adalah yang paling konyol dan sangat tidak romantis yang pernah dibacanya. Hannah memberikan kartu kepada Sana, meminta sahabatnya untuk membaca.
Reaksi yang sama terlihat dari Sana setelah membaca ucapan yang tertulis di kartu. Sana menatap Hannah yang juga menatapnya dengan sinar mata yang sama. Bingung.
"Ini dari siapa?" tanya Sana setelah dapat mengendalikan diri dari kebingungannya. "Nggak ada nama pengirimnya."
Hannah menjawab pertanyaan Sana dengan mengangkat bahunya yang menandakan kalau dia juga tidak tahu apa-apa.
***
Joe tersenyum lebar. Dia yakin sekarang Sana sedang cemberut kesal karena bunga yang dikirimkannya tanpa nama. Dia sengaja melakukan itu, menjahili Sana merupakan salah satu kegemarannya saat ini. Dia suka melihat Sana cemberut, Sana uang cemberut dan menggembungkan pipinya tampak sangat menggemaskan. Dia juga suka melihat Sana mengerutkan kening. Pokoknya dia suka semua yang dilakukan Sana.
"Ni orang sinting kali ya, perasaan dari tadi senyum-senyum sendiri mulu." Ferdinand bergidik ngeri menatap Joe.
"Hilih, paling dia lagi mikirin gebetannya." Sean melempari Joe dengan kulit kacang. Tertawa keras ketika melihat ada beberapa kulit kacang yang menempel di rambut Joe. Sekilas terlihat seolah Joe mengenakan jepit rambut.
Joe tahu itu, dia dapat merasakan kulit kacang yang jatuh di atas kepalanya. Namun dia membiarkan, seperti halnya membiarkan tawa Sean yang semakin keras. Dia sedang bahagia, tak ingin kebahagiaan yang dirasakannya dirusak oleh beberapa buah kulit kacang. Selain itu dia malas mengambilnya, biarkan saja nanti juga kulit-kulit kacang itu akan jatuh dengan sendirinya.
"Bilang aja lu sirik sama gue." Joe tersenyum mengejek Sean.
"Astaga, ngapain juga gue iri sama lu." Sean bergidik. "Tampang juga masih kerenan gue, lu mah bayi!"
Joe mengangkat sebelah alisnya. "Bayi-bayi gini gue udah bisa bikin bayi," ucap Joe penuh percaya diri. "Gue juga lebih laku dari kalian bertiga." Joe menatap ketiga sahabatnya bergantian.
"Dih, pede gila!" cibir Ferdinand, tapi dalam hati mengakui kebenaran kata-kata Joe. Di antara mereka berempat memang Joe yang mempunyai banyak penggemar. Wajah tampan dan imut berpadu dengan tubuhnya yang tinggi dan proporsional, menjadikan Joe idola dikalangan gadis-gadis.
"Suka-suka lu aja deh, malas debat gue." Sean memutar bola mata. Dia tidak berbohong saat mengatakan sedang malas berdebat. Yang diinginkannya saat ini adalah bersama Linda atau Siska atau siapa pun, yang penting salah satu dari gadis-gadis populer di kampus mereka. Perkataan Joe tentang bayi membuat miliknya terbangun di bawah sana.
"Terus tu Mbak kasir mau lu bikinin bayi juga?" tanya Romi jahil sambil memeluk bahu Joe.
"Kalo dia mau gue nggak nolak," jawab Joe santai.
Jawaban yang kembali dihadiahi kulit kacang oleh Sean. "Otak s**********n mah gini, yang dipikirin bikin bayi mulu." Sean tertawa sambil kembali melempari Joe dengan kulit kacang yang tersisa.
"Gue cuma mikir ya, Sean. Nggak sampe bangun ya," balas Joe meledek Sean.
Seketika Sean terdiam. Joe diam-diam mengamatinya. "Sialan lu, Joe! Tanggung jawab lu!" Sean berdiri, melangkah menghampiri Joe yang duduk di atas motornya.
"Lu nggak hamil, ngapain gue harus tanggung jawab?" tanya Joe tidak terima.
Romi yang duduk bersamanya tertawa terbahak. Dalam pikirannya terbayang Joe dan Sean yang sedang bermain 'pedang-pedangan'. Romi menggeliat, jijik pada otaknya yang bisa-bisanya membayangkan hal tidak senonoh seperti itu.
"Lagian ya gue masih normal. Gue lebih milih lubang daripada pedang."
Tawa keras Romi dan Ferdinand langsung pecah. Perkataan frontal Joe terdengar sangat lucu di telinga mereka. Sementara Sean hanya tersenyum kecil. Dengan cepat Sean memeluk kepala Joe, mengacak rambut hitamnya gemas.
Joe tidak melawan, tidak juga berontak. Dia justru tertawa. Baginya, apa yang dilakukannya bersama teman-temannya merupakan salah satu hiburan dan kesenangan. Juga kehangatan yang tidak lagi didapatnya di rumah. Sana dan teman-temannya adalah dia hal yang selalu membuatnya bersemangat.