Bab 8

2024 Kata
Mbak, gue sekarang di toko tapi lu nggak ada. Lu udah pulang ya? Sayang banget, kita belum sempat ketemu sore ini. Padahal gue kangen banget sama lu, Mbak! Sana memijit pelipis membaca pesan itu. Selera makannya langsung menguap entah ke mana, padahal dia sangat lapar. Sana menjauhkan mangkuk berisi mie rebus dari hadapannya. Mangkuk itu masih penuh, dia belum menyentuh isinya setelah selesai membuatnya tadi. Mungkin nanti dia akan memakannya, tapi tidak untuk saat ini. Sana beranjak meninggalkan dapur. Kembali ke kamar sepertinya pilihan yang bagus. Tangannya mengambil nampan, meletakkan mie di atas nampan, membawanya serta ke kamar. Siapa tahu nanti selera makannya kembali, dia akan menyantapnya di kamar. Jadi, tidak perlu susah lagi mengambilnya di dapur. Sana memasukkan ponsel ke saku piyama, kedua tangannya membawa nampan berisi mangkuk mie. Lebih aman baginya kalau ponsel diletakkan di saku piyama. Resiko jatuh lebih sedikit. Sana berjengit kaget merasakan ponselnya kembali bergetar disertai bunyi beep sekali. Sebuah pesan kembali masuk. Bergegas Sana meletakan nampan di atas nakas, mengambil ponsel dari saku piyama dan duduk di atas tempat tidur bersandar pada kepala ranjang. Lu udah dinner belum? Kalo belum cepetan makan, ntar masuk angin. Kalo udah langsung bobo aja, jangan lupa mimpiin gue biar tidur lu lebih nyenyak. Sana bergidik setelah selesai membaca pesan itu. Apanya yang tidurnya akan lebih nyenyak? Bagaimana mungkin dia bisa tidur nyenyak kalau bermimpi buruk? Memimpikan Joe bukanlah sebuah mimpi indah, sebaliknya. Sana melempar ponselnya ke tengah tempat tidur, tangannya bergerak memencet pangkal hidung. Perempuan itu mendongak dan memejamkan mata yang segera dibukanya kembali saat wajah Joe dengan senyum usilnya hadir di sana. Sana menggeleng pelan. Belum tidur saja dia sudah mendapatkan mimpi buruk, bagaimana kalau tidur nanti? Semoga saja itu tidak terjadi. Sana berharap tidurnya nanti lelap tanpa mimpi. Perutnya yang berbunyi memaksa Sana untuk melirik nampan yang tadi diletakkan di atas nakas. Tangannya terulur mengambil mangkuk yang berada di atas nampan itu. Masih hangat, mungkin mie rebus ini masih enak. Sana membuka penutup mangkuk dan mengerang melihat mie yang sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Sialan memang Joe! Tidak cukupkah pemuda itu mengganggu kenyamanan hari-hari kerjanya sehingga harus ditambah dengan mengganggunya di rumah juga? Ingin Sana mengganti nomor ponsel tetapi diurungkan. Nomor ini sudah lama menjadi nomor ponselnya, banyak kenangan yang tersimpan pada nomor itu. Seluruh teman dan rekan kerja termasuk atasannya di toko buku menyimpan nomor itu. Tidak mungkin dia menggantinya. Salahkan Hannah yang sudah dengan lancang memberikan nomor kontaknya kepada Joe. Dia tidak tahu apa maksud Hannah berbuat itu. Seandainya Hannah tidak memberikannya, Joe tidak mungkin tahu. Tidak mungkin pemuda menyebalkan itu bisa mengganggunya nyaris dua puluh empat jam sehari, seolah dia tidak memiliki pekerjaan lain lagi selain mengirimkan pesan atau meneleponnya. Lagi-lagi ponselnya bergetar disertai bunyi beep. Sesungguhnya Sana tidak ingin memeriksa pesan yang masuk, tetapi dia takut kalau-kalau pesan itu dari atasan atau rekan kerjanya yang ingin memberitahukan sesuatu alias penting. Karena itu dia memajukan tubuh dan memanjangkan tangan untuk mengambil ponsel yang berada agak jauh darinya. Sana menyalakan layar dan membuka kunci ponsel. Menyentuh aplikasi berwarna hijau dengan gambar gagang telepon untuk mengetahui siapa yang sudah mengiriminya pesan. Sana menghela napas kesal, dugaannya benar. Joe yang mengiriminya pesan, kali ini tidak hanya satu tetapi beberapa. Pantas saja tadi bunyinya sangat berisik. Jari Sana menyentuh nomor kontak Joe. Dia tidak menyimpan nomor itu, tapi sudah hapal kedua belas angka di luar kepala akibat seringnya pesan dari nomor itu memasuki ponselnya. Erangan kesal kembali terdengar dari mulut Sana. Kali ini Joe bukan hanya mengiriminya pesan, ada foto juga di antara pesan-pesan itu. Sana tidak ingin tahu foto itu, tapi dia penasaran. Bahkan jarinya tidak bisa diajak kompromi, jarinya seolah bergerak sendiri menyentuh foto untuk mengunduh. Napas Sana berhenti sesaat melihat foto itu. Foto yang paling mengerikan yang pernah dilihatnya. Joe mengirimkan fotonya yang sedang berada di sebuah kafe atau restoran. Sepertinya dia sedang makan malam. Sebenarnya tidak ada yang salah dari foto itu, Joe bahkan terlihat sangat tampan. Hanya saja, karena foto itu adalah foto Joe dan Sana sudah sejak awal mencap pemuda itu sebagai pengganggu, jadilah semua yang berhubungan dengan Joe terlihat mengerikan bagi Sana. Namun, tunggu dulu. Apakah tadi dia mengatakan kalau Joe terlihat sangat tampan? Astaga! Sepertinya dia perlu memeriksa matanya besok ke dokter spesialis mata. Sana yakin kalau matanya bermasalah. Joe tidak mungkin tampan, yang ada pemuda itu sangat menyebalkan. Sana cemberut, kesal pada dirinya yang sudah salah berkata. Kafenya nyaman banget, Mbak. Makanannya juga enak, kapan-kapan kita ke sini ya? Sana langsung saja menutup aplikasi itu dan kembali melempar ponselnya. Kali ini ke sembarang arah di atas tempat tidur. Tak mungkin dia melempar ponselnya ke lantai, kesayangan dan satu-satunya. Suara perutnya memaksa Sana untuk menyantap mie yang tadi diletakkan kembali di atas nakas. Sungguh dia sudah tidak berselera makan lagi, tetapi perutnya perlu diisi. Atau dia akan masuk angin seperti apa yang dikatakan Joe dalam pesannya tadi. Sana memakan mie-nya dengan lambat, ditemani suara-suara dari ponselnya yang selalu bergetar. Dia yakin Joe kembali mengiriminya pesan. Namun kali ini Sana tidak berniat untuk membukanya. Dia tidak ingin semakin bermimpi buruk saat tidur nanti. *** Senyum lebar menghiasi wajah tampan itu. Sana memang tidak membalas pesan-pesannya, tidak pernah sama sekali. Namun, perempuan itu selalu membuka dan membaca semua pesan yang dikirimnya. Joe yakin Sana pasti sangat kesal sekarang. Dia tidak hanya mengiriminya pesan-pesan saja, tetapi juga foto selfie yang barusan diambilnya. Joe dan ketiga temannya memang sedang berada di sebuah kafe. Bukan hanya sekedar nongkrong ala anak muda, mereka juga mengisi perut mereka. Joe sangat menyukai makanan di kafe ini, terasa cocok di lidahnya yang pemilih. Dia tidak mudah menyukai suatu masakan, masakan koki di rumahnya saja kadang tidak tersentuh. Joe heran, untuk apa Tristan mempekerjakan para juru masak di rumah mereka kalau kedua tuan rumah sangat jarang bahkan hampir tidak pernah makan di rumah. Mungkin Tristan kebingungan ke mana harus menghabiskan uangnya yang banyak sehingga memilih untuk mempekerjakan mereka. Kadang Joe kasihan dengan para juru masak itu, masakan mereka seolah tidak dihargai. Namun mau bagaimana lagi, dia tidak ingin makan sendirian di rumah. Meja makannya terlalu besar hanya untuk dirinya sendiri. "Perasaan dari tadi lu senyum-senyum mulu kayak orang gila. Sampe takut gue ngeliatnya," komentar Ferdinand sambil bergidik. Sean sangat ingin tertawa tetapi ditahannya, sampai dia terbatuk-batuk. "Yang lu maksud siapa, Fee?" tanyanya tersenyum geli. "Soalnya ada dua orang yang lagi senyum-senyum gaje dari tadi." Sean memang benar, bukan hanya Joe yang sejak tadi tadi selalu tersenyum sambil memainkan ponsel, Romi juga seperti itu. Malah Romi lebih parah, senyumnya terkadang diselingi dengan cekikikan. Sean menggeleng melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. Kalo untuk Joe, Sean sudah dapat menebak. Joe pasti sedang mengirimi Sana pesan, yang tidak pernah dibalas perempuan itu. Sean heran sekaligus takjub dengan Joe. Baru tadi siang sahabatnya itu bergalau ria, sekarang sudah ketawa-ketiwi saja. Begitu cepat Joe melupakan kegundahan hatinya. Seandainya saja dia bisa seperti itu, tentu dia tidak akan merasakan sakit berkepanjangan seperti sekarang. Lalu untuk Romi, Sean tidak tahu pasti dia menghubungi siapa. Paling salah satu dari sekian banyak kekasihnya. Di antara mereka, Romi terkenal paling playboy. Pacarnya banyak, tersebar di seantero kampus. Kalau Ferdinand yang paling alim dan paling heboh. Sementara dirinya bisa dibilang paling pendiam, mungkin karena hatinya masih belum mau berdamai dengan kenyataan. Sekali lagi Ferdinand bergidik. Matanya nanar terarah pada Romi yang tertawa terbahak, membuat mereka menjadi pusat perhatian. Namun dengan santainya Romi menebar senyum kepada setiap pengunjung kafe yang menatap ke arah mereka. Joe dan Sean saja berdecak melihatnya. Terkadang mereka malu memiliki sahabat dengan kepercayaan diri selangit seperti Romi alias tidak tahu malu. "Rom, kali ini lu yang bayar ya? Sekali-sekali traktir kita-kita." Perkataan Ferdinand membuat tawa Romi langsung berhenti. Matanya melotot garang kepada pemuda berambut gondrong itu. "Apanya yang sekali-sekali?" Romi bertanya kesal. "Perasaan tadi siang juga gue yang bayarin kalian bertiga!" "Dih pelit!" sindir Ferdinand. "Uang lu kan banyak, Rom. Nggak bakalan habis juga buat traktir sobat-sobat lu ini seminggu." "Kata siapa banyak? Yang ada ntar jatah bulanan gue yang dikurangin bokap gara-gara terlalu boros!" "Nggak boleh perhitungan sama sohib sendiri, Rom!" sungut Ferdinand. Padahal dia sendiri tidak pernah mentraktir, selalu minta ditraktir. "Kenapa nggak minta traktir sama Joe?" usul Sean menengahi perdebatan kedua sahabatnya. Sean menatap Joe yang masih fokus pada ponselnya. Entah apa yang diketiknya, yang pasti jari-jari panjang Joe bergerak cepat di atas layar ponsel. "Joe kan punya black card." Sean mengangkat sebelah alisnya. Joe membalas menatap Sean yang duduk di seberangnya. Meskipun dia fokus mengetik dan mengirim pesan kepada Sana, tapi pendengaran tajamnya masih dapat menangkap suara di sekelilingnya. "Enak banget sih lu ya, manfaatin duit gue." Joe memicing. Sean tertawa. "Bang Tristan nggak bakalan marah juga kan?" tanyanya. "Lagian kartu lu nggak bakalan limit, ada terus isinya." Joe mendengus kesal, dalam hati membenarkan perkataan Sean. Tristan tidak pernah menanyakan soal uang di dalam kartunya. Dia sudah memberikan kartu berwarna hitam untuk memenuhi keperluan sehari-harinya. Teristan ttidak pernah mempermasalahkan uang yakg diberikannya,bahkan kalau dia meminta tambahan sekalipun. Yang menjadi masalah bagi kakaknya adalah kalau nilai setiap mata kuliahnya merosot atau di bawah target. Tristan mematok angka di setiap mata kuliah yang diambilnya, dan akan marah kalau nilainya turun seperempat saja. Selain itu juga seringnya dia tidak berada di rumah, itu juga menjadi masalah besar bagi Tristan. Pria itu sangat egois baginya. Tristan sendiri sangat jarang berada di rumah, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Bagaimana mungkin Tristan memintanya untuk selalu berada di rumah sementara dia tidak memiliki teman? Terlalu sepi di rumah besar itu kalau sendirian. Meskipun mereka memiliki beberapa orang asisten rumah tangga, tetapi mereka tidak sama dan tidak dapat menggantikan kehadiran Tristan. Seandainya saja Tristan tahu kalau uang diinginkannya adalah pelukan hangat dari kakaknya itu. Namun semuanya tidak mungkin. Semuanya sudah tidak lagi sama, semua sudah berubah. Jujur saja, Joe sangat merindukan kakak laki-lakinya yang dulu, yang selalu menemani dan menjaganya setiap dia ketakutan. Joe menggeleng, mengusir pikiran-pikiran masa lalu yang memasuki kepalanya. "Terserah!" Joe mengangkat bahu. "Kalian makan apa aja, gue traktir." Sean tersenyum. "Bener kan yang gue bilang?" tanyanya. "Beneran ya, Joe? Lu nggak bohong kan?" tanya Ferdinand dengan mata berbinar. Romi yang masih kesal langsung melempari Ferdinand dengan bola-bola tisu. "Denger kata traktiran aja lu udah kayak apa aja lagi!" belalaknya. "Lu tuh masih mampu, Fer, nggak seharusnya minta traktiran mulu!" Ferdinand hanya mengangkat bahu, tak memedulikan kata-kata menusuk Romi, mengangkat tangan memanggil pelayan dan memesan. Romi dan Sean yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala. Sementara Joe tidak memedulikan keributan teman-temannya juga pengunjung kafe yang lain. Dia masih sibuk dengan ponselnya. Sebenarnya tadi dia hanya iseng mengirimkan fotonya pada Sana, dan jujur saja dia sangat ingin tahu bagaimana tanggapan perempuan itu. Maksudnya apa yang dipikirkan Sana ketika melihat fotonya. Apakah dia tampan atau jelek atau biasa saja, dia sangat penasaran. Karena itu Joe kembali mengirimi Sana beberapa pesan disertai foto-fotonya. Joe berharap semoga Sana tidak membanting ponselnya nanti ketika membuka pesannya yang lebih dari sepuluh itu. Joe tidak tahu apa yang sedang Sana lakukan sekarang. Apakah sudah tidur atau melakukan sesuatu yang lain. Pesan-pesannya tidak dibuka, bahkan Sana sudah tidak aktif tapi masih menyalakan sambungan datanya. Buktinya ketika dia mengirimkan satu pesan lagi masih bisa terkirim. Senyum tak pernah luntur dari wajah tampan Joe malam ini. Dia sudah melupakan pertanyaannya tentang perasaan. Sekarang, dia hanya ingin menikmati setiap waktu dan membiarkan semuanya mengalir. Joe yakin, suatu saat dia pasti menemukan jawaban yang dicarinya. Untuk saat ini dia menyukai Sana dan semua yang melekat padanya. Bukan hanya paras cantiknya saja, tetapi juga sifat dan sikap Sana. Apakah itu bisa dikategorikan cinta, dia masih belum tahu. Lihat saja nanti. Kalau apa yang dirasakannya bertahan lebih dari tiga bulan, kemungkinan besar dia memang jatuh cinta dan serius pada Sana. Kalau tidak, dia akan menjauhinya perlahan. Joe menghela napas panjang. Dia sudah mengirimkan pesan penutup pada Sana untuk hari ini. Pesan dengan isi yang sama seperti pada hari-hari sebelumnya. Joe berharap semoga pesannya tidak mengakibatkan Sana bermimpi buruk setiap malamnya. Lagipula rasanya tidak mungkin wajah setampan dirinya menjadi penyebab mimpi buruk seseorang. Selamat istirahat, Sana. Ketemu lagi besok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN