Tidak terasa malam pun sudah berganti menjadi pagi. Bulan dan bintang sudah tergantikan oleh teriknya matahari pagi. Zenna menaruh tangan kanannya tepat di depan wajahnya untuk menghalau sinar matahari yang langsung mengenai wajahnya. Gadis itu sudah berdiri di pinggiran jalan sejak sepuluh menit yang lalu, namun angkut yang ditunggunya belum juga menampakkan diri. Zenna menoleh ke sana ke mari untuk mencari keberadaan angkut itu, namun Zenna tetap tidak melihatnya.
“Ayo ikut dengan saya.”
Suara itu boriton itu membuat Zenna terperanjat kaget. “Kamu siapa?” tanya Zenna memundurkan langkahnya beberapa kali untuk menjauhi lelaki jangkung yang menaiki motor ninja berwarna merah itu.
Lelaki itu tersenyum, “Saya guru olah raga baru di sekolah kamu,” ucapnya. “Saya Neandro, kamu bisa memanggil saya pak Nean atau jika sedang sendiri panggil saya kak Nean juga boleh,” sambungnya lagi.
Zenna menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga bertanda gadis itu tengah gugup. Gugup akibat mendapat tatapan lembut dari Nean.
“Ayo naik,” perintah Nean lembut. Matanya tidak lepas menatap Zenna yang sedang menampilkan wajah bingungnya dan menurut Nean itu sangat imut. Ini gila, Zenna adalah anak muridnya, namun entah mengapa dadanya selalu saja berdetak ketika melihat wajah polosnya.
Zenna menggeleng cepat, “Tidak usah pak, sebentar lagi angkutnya datang kok,” ucap Zenna mencoba memberikan alasan. Bukannya Zenna menolak rezeki, tapi jika berlama-lama dengan Nean jantung Zenna bertedetak tidak karuan.
Nean meneliti sekitarnya seolah tengah mencari keberadaan akutan umum yang Zenna maksud. “Mana? Tidak ada. Lebih baik kamu bareng saya aja, sebentar lagi bel masuk berbunyi loh, kamu nggak takut kena hukuman?” Nean masih berusaha untuk membujuk Zenna untuk berangkat ke sekolah bersamannya.
Zenna mengigit bibir bagian bawahnya seolah tengah berpikir keras. ‘Bener juga apa yang dibilang sama pak Nean, sebentar lagi bel masuk dan angkut pun juga belum lewat. Duh, gimana ya? masa iya aku harus nebeng sama guru sih? Nanti apa kata temen-temen?’ monolog Zenna dalam hati.
“Zenna.” Nean menjentikkan jarinya di depan wajah Zenna gemas lantaran gadis itu tidak kunjung menjawab ajakannya.
“Iya pak, ada apa?” tanya Zenna seperti orang tidak tahu apa-apa.
“Nean terkekeh geli, “Kamu melamun?” tanya Nean. “Sudah jangan berpikir lagi, lebih baik kamu berangkat sekolah bareng saya, dari pada telat ‘kan?”
Setelah lama menimang, akhirnya Zenna menyetujui ajakan Nean. Entah mengapa jantungnya berdetak berkali-kali lipat lebih cepat ketika berdekatan dengan Nean yang notabelnya adalah gurunya sendiri.
‘Apaan sih Zen, mana mungkin kamu suka sama guru kamu sendiri.’ Zenna merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
Setelah menempuh jarak berkilo-kilo meter jauhnya akhirnya motor ninja berwarna merah itu telah terparkir rapih di halaman sekolah. Zenna masih setia menundukkan kepalanya malu karena mendapat tatapan sedemikian rupa dari siswa-siswi yang tengah melintasi area parikiran.
“Zenna, kamu kenapa?” tanya Nean khawatir dengan Zenna yang sedari tadi menundukkan kepalannya.
Zenna mendongak mata keduanya saling bertatapan. “Sa-saya tidak pa-pa, pak,” jawab Zenna gugup. ‘Ya ampun, tatapannya,’ batin Zenna sembari memegang dadanya dengan napas yang memburu.
“Mau saya antar ke kelas, Zenna?” tanya Nenan menawarkan diri.
“Tidak usah pak,” jawab Zenna cepat. Zenna meremas jemarinya sendiri karena mendapat tatapan terheran dari Nean. “Maksud saya, tidak usah pak karena kelas saya pun tidak jauh dari sini,” jelas Zenna agar tidak ada kesalah pahaman di antara keduannya.
Nean yang mendengar penjelasan itu hanya menganggukkan kepalannya, lalu berucap. “Ya sudah, hati-hati ya.”
Zenna hanya memberikan senyum dan tidak lupa memberi anggukan lalu Zenna melenggang pergi dari parkiran menuju kelasnya. Dari kejauhan, Zenna masih merasakan jika Nean masih saja menatapnya. Sebenarnya Zenna tidak nyaman, namun mau bagaimana lagi setiap orang berhak menatapnya dan itu tidak ada yang bisa melarang.
Sesampainya di kelas, Zenna sudah dihadang oleh Clara yang berdiri di depan pintu kelas sembari bersidekap d**a.
“Zenna, kamu hutang penjelasan sama aku,” ucap Clara dengan bibir yang mengerucut.
Zenna hanya meringis. “Iya, tapi nanti ya. Aku mau duduk dulu.” Zenna melewati tubuh Clara begitu saja.
“Zenna, kok kamu gitu sih,” protes Clara yang berjalan tepat di belakang Zenna.
“Gitu gimana?” tanya Zenna sembari mendudukkan dirinya di bangkunya.
“Kamu kenapa bisa berangkat bareng sama pak Nean?” tanya Clara tatapannya penuh selidik.
“Tadi ketemu di jalan dan pak Nean nggak sengaja liat aku berdiri di pinggiran jalan mungkin karena kasian aku ngari angkot nggak ketemu makannya dia nawarin tumpangan,” jelas Zenna lalu mendapat anggukan kepala dari Clara.
“Sekarang kamu udah percaya kan?” tanya Zenna memastikan.
“Iya, aku udah percaya. Abisnya kamu bikin heboh semua angkatan dan otomastis aku juga jadi ikut heboh.”
Zenna terkekeh geli, “Emangnya yang kamu pikirin itu apa? Mana mungkin aku suka sama pak Nean. Meskipun umur kita cuma berbeda beberapa tahun, tapi aku juga sadar posisi kali,” ujar Zenna.
“Abisnya pak Nean ganteng banget sih, bikin nggak nahan buat nggak deket-deket dia terus.” Clara berucap itu dengan wajah yang menggebu-nggebu. Zenna yang melihat kelakuan temannya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalannya.
Zenna memang tidak bisa mengelak pesona Nean yang tampan dan gagah di usianya yang masih muda. Jika Zenna tertarik dengan Nean pun tidak masalah karena usia keduannya hanya selisih dua tahun. Namun, lagi-lagi Zenna tahu diri, dirinya tidak akan pernah diperbolehkan untuk pacaran di saat detik-detik terakhinya sekolah. Setelah lulus sekoalah pun Zenna pasti masih tidak diperbolehkan untuk pacaran dengan alasan harus bekerja dulu membahagiakan keluarga.
Zenna kembali memfokuskan dirinya untuk mengikuti pembelajaran hari ini. Mencoba mengalihkan segala bayang-bayang Nean yang selalu menghinggapi otaknya. Namun, ketika berusaha mengalihkan baying-bayang wajahnya, justru semakin membuat Zenna mengingat tatapan lembutnya itu.
“Zenna.” Clara menyentuh pundak Zenna sampai membuat gadis itu terlonjak kaget.
“Kamu kebiasaan selalu ngangetin aku,” protes Zenna dengan bibir yang mengerucut.
“Abisnya dari tadi kamu bengong terus, ada apa sih?” tanya Clara tatapannya penuh selidik.
“Aku nggak pa-pa.” Zenna mencoba mengelak karena gadis itu tidak ingin Clara tahu bahwa temannya itu tengah memikirkan Nean.
Clara memutuskan diam ketika Zenna memilih untuk membaca bukunya. Sebenarnya Calara masih penasaran mengapa Zenna terbengong seperti itu. Namun, Calara mengurungkan niatnya untuk bertanya karena dirinya takut jika Zenna merasa tidak nyaman.
Jam istirahat pun tiba, di mana seluruh siswa dan siswi berhamburan keluar menyerbu kantin sekolahan. Namun, tidak untuk Zenna, gadis itu setia di kelas dengan sekotak bekal nasi goreng yang dibawanya dari rumah.
“Zenna, aku ke kantin sebentar ya nanti aku bakalan ke sini lagi buat nemenin kamu makan,” ucap Clara.
Sepeninggal Clara ruang kelas yang tadinya riuh kini menjadi hening hanya ada suara detik jam yang berbunyi serta deru AC yang menyapu lembut indera pendengaran Zenna. Saat Zenna tengah asyik menatap pemandangan jalan dari jendela kelas, tiba-tiba pintu kelas dibuka hingga menimbulakan suara kencang dari sana.
“Eh lo, nggak usah keganjenan ya!”
Gadis seumuran Zenna itu berteriak sampai suarannya menggema memenuhi ruang kelasnya. Zenna yang melihatnya hanya mengerutkan keningnya bingung.
“Maksud kamu apa ya?” tanya Zenna memang tidak mengerti maksud dari temannya sekelasnya itu.
“Nggak usah sok nggak tau deh lo, dasar anak penyakitan!” hardik Nadin.