Bab 2 : Kenangan Pahit
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan dari depan pintu.
“Kal, ini Ibu. Buka pintunya, Nak!” ucap Bu Ida dari depan pintu.
Haikal membuka mata dan meraih tangan sang istri, lalu berkata, “Ada Ibu, Dek, di luar. Abang buka pintu dulu.”
“Iya, Bang, Adek ke dapur dulu mau menyiapkan makan malam buat Abang,” jawab Maura dengan sambil tersenyum.
Haikal membuka pintu dan mendapati ibunya di depan sana.
“Kal, lama banget buka pintunya? Ini Ibu bawain kamu ikan bakar,” ujar Bu Ida sambil nyelonong masuk.
“Gak usah repot-repot, Bu, istriku udah masak kok,” jawab Haikal mengikuti langkah ibunya menuju dapur.
Bu Ida hanya melengos mendengar jawaban dari sang putra bungsu, ini bukan kali pertama tingkah anehnya itu.
Sesampainya di dapur, Haikal celingukan mencari keberadaan Maura, sang istri yang katanya tadi sedang menyiapkan makanan di dapur, tapi nyatanya di atas meja makan tak ada apa pun.
“Makan dulu, Kal! Ayo duduk sini!” ujar Bu Ida sambil meletakkan rantang yang dibawanya lalu memindahkannya ke dalam mangkok dan piring.
Dengan mengerutkan dahi, Haikal duduk di depan meja makan dan terpaksa memakan makanan yang dibawakan ibunya itu. Pikirannya masih tertuju kepada sang istri yang tak mau menampakkan diri di depan siapa pun.
“Sayang, ternyata kamu di kamar,” ujar Haikal saat membuka pintu kamar dan mendapati sang istri sedang terbaring sambil menatapnya dengan tatapan menggoda.
“Iya, Bang, Adek gak jadi masak soalnya Ibu udah bawain kamu makanan,” jawab Maura sambil mengubah posisi berbaringnya.
“Iya, Dek. Ya sudah Abang mau mandi dulu,” jawab Haikal sambil menyambar handuk dan mengalungkannya di leher.
“Cepatan ya, Bang, mandinya!” seru Maura dengan mengedipkan sebelah matanya.
Haikal mengangguk lalu secepatnya masuk ke kamar mandi. Dengan cepat, ia mengguyur tubuh dengan air sambil membayangkan aktifitas yang selalu membuatnya bersemangat untuk segera pulang ke rumah setiap harinya.
Lima menit kemudian, Haikal keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Maura langsung turun dari tempat tidur dan menghampiri sang suami.
“Bang, kangen,” ujar Maura sambil memeluknya dari belakang.
“Abang pakai baju dulu, Sayang,” jawab Haikal sambil memegang tangan istrinya.
Haikal tak bisa menolak ajakan istrinya itu, karena ia juga menginginkannya. Aktifitas rutin pun dimulai. Keduanya begitu dimabuk kepayang, layaknya pengantin baru padahal mereka sudah bersama selama dua tahun terakhir ini.
Seperti malam-malam yang lalu, Haikal selalu menyerah lebih dulu dengan tenaga yang terkuras habis. Maura hanya tersenyum melihat ekspresi suaminya yang kelelahan.
Kedua suami istri itu mulai memejamkan mata, dengan terus berpelukan sepanjang malam.
***
“Bang, bangun, udah pagi. Adek pergi dulu, ya!” bisik Maura di telinga Haikal.
Haikal membuka mata karena usapan lembut dari tangan sang istri yang menyentuh pipinya. Akan tetapi, kini Maura sudah tak ada lagi di kamar. Ia segera beranjak dari tempat tidur, lalu meraih handuk bekas tadi malam yang tergeletak begitu saja di lantai.
Setelah mandi dan berpakaian, Haikal sarapan dulu dengan menu bubur ayam yang sudah disiapkan sang istri di atas meja makan. Dengan tersenyum senang, ia mulai menikmati sarapan lezat itu. Tiba-tiba, ponsel di hadapannya bergetar, ada sebuah pesan yang masuk.
[Bang, jangan lupa sarapan. I love you.]
Senyum Haikal semakin mengembang mendapat chat dari sang istri tercinta, lalu segera mengetik balasan.
[Iya, Sayang. Terima kasih ya, bubur ayamnya enak. I love you too.]
Haikal menyudahi sarapannya, lalu menyimpan ponsel. Ia begitu mencintai Maura, walau sang istri tak bisa terlihat di siang hari. Baginya, itu tak masalah, karena dari pagi sampai sore bahkan malam, ia selalu sibuk dengan pekerjaannya yang seorang Damkar.
Hari libur pun ia tetap bekerja. Ia bahagia menjalani rumah tangga ini, walau terkadang orang-orang menganggapnya aneh dan tak mempercayai kalau dia sudah beristri.
***
Dengan motor ninjanya, Haikal telah tiba di kantor Damkar. Ia langsung masuk ke dalam dan melihat teman-temannya sedang berkumpul, berebutan sesuatu di dalam kotak kue.
“Kal, sini!” panggil Zeki.
Haikal mengangkat alis dan meletakkan tas kecilnya di atas meja.
“Kal, buruan! Entar keburu habis loh!” timpal Zeki dengan mulut penuh kue.
Haikal mendekat dan mengamati teman-temannya yang sedang menikmati tiga kotak lamington dan satu teko teh. Ia duduk di samping Zeki dan menepuk pundaknya.
“Makan pelan-pelan, Zek!” ujar Haikal. “Siapa yang bawa ini?” sambungnya sambil mengambil satu iris kue berwarna cokelat itu.
“Dikasih ama Mbak Ella yang kemarin, katanya sebagai ucapan terima kasih,” jawab Santo sambil beranjak dari kursinya.
“Hmmm ... doi nyariin kamu, Kal.” Zeki menepuk pundak pria yang bersiap memasukkan satu potong lamington ke mulutnya itu.
Haikal melengos dan berusaha menelan kue yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya itu. Kalau ia tahu, lamington itu dari sang mantan, ia tak mau memakannya.
Kenangan pahit itu kembali berputar di kepalanya, di saat ia baru saja pulang dari berlayar dan langsung ke rumah sang pacar untuk melamarnya. Akan tetapi, ternyata Ella sedang dilamar oleh pengusaha muda yang kaya raya. Ia kalah telak.
“Kal, maafkan aku. Saat ini aku telah menerima lamaran Mas Ringgo, dia lelaki mapan yang ibu dan bapakku sudah menyetujuinya,” ujar Ella saat menghampiri Haikal yang berdiri di teras.
Haikal tersenyum kecut memandang wanitanya yang kini sudah mengenakan kebaya putih sangat cantik karena baru saja acara lamaran dengan pria lain.
“Semoga kamu bahagia. Padahal kedatanganku ke sini juga ingin melamarmu,” ujar Haikal dengan nada getir.
“Maafkan aku, Kal. Seminggu ini ponselmu tak bisa dihubungi, jadi maaf ... aku baru memberitahumu akan hal ini,” jawab Ella dengan berusaha tak menyakiti pria yang sudah dipacarinya selama tiga tahun itu, namun kalah telak dengan pria yang baru dikenalnya tiga bulan yang langsung melamar.
“Aku baru pulang dari laut, Ella. Kamu kan tahu, kalau di laut itu nggak ada sinyal. Ya sudahlah, semoga kamu bahagia dengan pria kaya itu.” Tanpa menoleh lagi, Haikal naik ke motor bututnya lalu memacunya dengan hati remuk redam.
Air matanya menetes juga. Ia begitu mencintai Ella, dan mereka berjanji akan menikah tahun ini tinggal menentukan tanggal dan bulannya saja. Namun, karena keadaannya yang selalu berlayar seminggu dan kadang sebulan, membuat ia jarang bertemu sang kekasih. Sehingga tak jarang, Ella berselingkuh dengan banyak pria tanpa sengetahuannya.
Sebagai pelampiasan rasa sakit hatinya, uang yang sudah ia kumpulkan dengan susah payah untuk melamar sang pujaan hati, ia belikan ke motor juga membangun rumah yang sekarang ia tempati.
Bersambung ....