That Big House & His Home

1475 Kata
Selama perjalanan dari Amerika ke Korea Selatan, tidak ada kata yang terucap dari bibir pria bergaris rahang tegas tersebut. Pun dengan adiknya yang memilih untuk membiarkan karena paham kondisi kakaknya seperti apa. Bagi Jeno, kembali ke Korea artinya membuka kembali jahitan luka yang sudah dengan susah payah ia rapatkan. Tak akan kunjung sembuh luka yang tertoreh jika ia tinggal di rumah besar itu. Di bandara Incheon, mereka sudah di sambut oleh supir keluarga Lee yang kebingungan karena kedua Tuan Muda nya ini tak membawa koper. Hanya tas yang menggantung di punggung mereka saja. Tak ada yang lain. Ia menawarkan diri membawa tas mereka tapi tawarannya itu di tolak. Jadilah ia hanya segera mengarahkan mereka ke mobil. Jeno yang sudah kembali menyalakan ponsel segera mengangkat telpon dari sahabatnya di US. "We're ready to blow." Ujar pria bernama Lucas itu dari sambungan telpon. "Blow it up." Perintah Jeno santai lalu segera mematikan panggilannya sebelum di interupsi. "Wait, Jen. Ini bener perkebunan yang di California, kan? Di Arizona mau sekarang atau besok?" Tanya Lucas lagi. "Arizona nanti aja setelah mereka pulang ke Korea." Itu rencana Jeno untuk melenyapkan orangtua itu dari hadapannya untuk sementara. * Tak disangka mereka sudah sampai di hadapan sebuah mansion luas dan besar bernuansa putih yang berada di pertengahan kota Seoul. Belum apa-apa Jeno merasa kepanasan. Emosi selalu mengkungkungnya disini. Pria itu lalu melepaskan leather jacket hitam dan kaca mata yang ia pakai menyisakan kaos hitam body fit dam jeans hitam membalut tubuh atletisnya. Rumah besar ini tampak seperti surga tapi bagi Jeno, tempat ini adalah neraka. Kelihatannya memang terang benderang penuh kebahagiaan tapi di tempat itulah semua luka Jeno bermula. Mematut kembali penampilannya di cermin, Yeji yang sebelumnya mencoba belasan pakaian yang akan ia gunakan untuk menyambut kedua saudaranya berakhir dengan baju yang ia pakai sejak awal. Sebuah kaos putih polos dan jeans pendek. Membiarkan rambut coklat hazel nya tergerai, Yeji mengambil nafas banyak-banyak saat Bik Min, pelayan rumah besar, memanggilnya karena kedua saudaranya sudah berada di gerbang kompleks perumahan. Turun, Yeji berdiri dibarisan para pembantu dan chef juga tukang kebun, seakan ikut gugup dan mendadak menunduk takut. Orang tuanya ada di hadapannya sambil berbincang. Sedangkan ia bingung harus apa. Sungguh, ia hanya akan menyambut saudara tirinya tapi segugup ini. Ketakutan Yeji sangat beralasan, selama 3 bulan tinggal di rumah besar Lee, Yeji mendengar hampir belasan laporan dua saudaranya itu membuat ulah dengan kepolisian. Lalu derap langkah kaki yang begitu santai namun tegas itu muncul. Yeji yang masih menunduk mencoba mengangkat kepalanya melihat wujud kedua saudara tirinya. Dua remaja itu terdiam memandang kearah orang-orang yang menyambut mereka sebelum dengkusan terdengar yang membuat Yeji kembali menunduk karena takut. "Berlebihan sekali." Suara berat itu terdengar. "Kembali bekerja." Perintahnya. "Kalian datang?" Ujar Nyonya Hwang mencoba menghilangkan ketegangan yang ada dengan mencoba menyambut seramah mungkin, mencoba memeluk pria yang lebih tinggi dari pria dibelakangnya. Tapi belum sampai menyentuh, pria yang memiliki gurat wajah lebih tegas itu menarik adiknya kebelakang tubuhnya dan mendorong bahu sang ibu tiri dengan jari telunjuk bersama tatapan tidak suka. "Apa yang membuatmu berpikir bisa menyentuh kami, Nyonya Hwang?" Tanyanya sinis membuat tubuh Yeji yang mendengar gemetar. Sepertinya ia benar-benar tidak akan pernah bisa diterima dengan baik oleh kedua saudaranya itu. "Lee Jeno! Dia ibu kamu sekarang. Pakai sopan santun kamu!" Sentak Tuan Besar Lee pada putra pertamanya. "Dia istri anda tapi dia tidak akan pernah menjadi ibu kami." Jeno mengeraskan rahangnya tanda tak suka dan sedang benar-benar marah. Jeno memang selalu sensitive jika menyangkut mendiang ibunya. Jisung yang melihat sosok Yeji ketakutan langsung menarik Jeno sebelum kakaknya itu lepas kendali. Tapi sebelum berhasil melewati Yeji, tatapan Jeno dan gadis itu bertemu. Manik hazel indah gadis itu bertemu dengan pualam hitam pekat yang selama ini hanya ia lihat dari foto. Mata itu begitu kelam dan menakutkan. Tapi harus Yeji akui lagi, mata itu sangat tidak asing baginya. Segera menunduk lagi, Yeji berdehem canggung dan juga takut. Debar jantungnya berdetak begitu heboh dan tak terkendali. Tubuh Yeji membeku begitu ia merasakan hawa dingin itu menerpanya. Tak hanya itu saja, ia juga merasakan tatapan setajam pedang prajurit perang itu juga menghunus tepat kepadanya. Semakin menundukkan kepalanya karena begitu takut akan sorot mata pria dengan kaos hitam yang memeluk erat tubuh kekar Jeno. Ada sesuatu dari tatapan itu yang mencoba untuk mengulitinya hidup-hidup. Yeji semakin dibuat kikuk dan juga gemetar. "Jangan menunduk begitu, Yeji. Sapa mereka. Mereka saudara baru kamu." Ujar Tuan besar Lee yang mau tidak mau membuat Yeji mendongak sedikit. Tatapannya bertemu lagi pada pualan gelap nan tajam itu. Sungguh gelap sekali. Ada amarah, dan ketidaksukaan dari pandangan itu. Yeji memahaminya. Ia tahu ini akan sulit. "Hai.... Aku Yeji." Memaksakan seulas senyum setulus mungkin. Dan tangan sang gadis terulur sebagai salam perkenalan. Setelah segala usaha yang Yeji upayakan untuk mengurangi ketegangan, yang di beri senyuman malah melengos tak peduli dan beranjak melewati tubuh kurus Yeji yang sedikit terhuyung saat tubuh besar itu menyenggolnya dan Yeji yakin memang Jeno berniat membuatnya jatuh. "LEE JENO!" Bentak Tuan besar Lee yang bahkan tak Jeno ataupun Jisung pedulikan. "Yeji gak papa, Pa. Gak perlu dibahas." Yeji mencoba tak membuat huru-hara di hari pertama ia bertemu dengan kedua saudaranya. Dengkusan keras terdengar dari Jeno yang menaiki tangga menuju ke kamarnya. "Bitch." Gumam Jeno. Entah pada siapa ia tujukan kata kasar itu. Menghela nafas yang rasanya begitu sulit karena sesak. "Jangan terlalu dipikirin. Dia emang git-." Ucapan Tuan besar Lee tersela karena tiba-tiba sekretris Choi masuk dan menginterupsi. "Tuan! Perkebunan almond di California selatan kebakaran!" Yeji membelalakkan matanya begitu juga semua mata yang ada diruangan itu. "Kamu jaga rumah. Jangan biarin mereka keluar rumah." Perintah Tuan Besar Lee sebelum kemudian ia pergi untuk ke kantor pusat memantau keadaan disana berasama istrinya. Menghela nafas, Yeji menatap lantai atas dengan seluruh perasaan yang entah mengapa tertuju pada kedua saudaranya itu. Ah... Ia tak akan pernah punya kesempatan. Setelah melewatkan drama keluarga barunya, Jeno langsung masuk ke kamarnya dilantai dua. Menatap sekeliling sambil sedikit membuka kenangan yang ia punya bersama sang ibu, Jeno terkesiap saat terdengar ketukan dipintunya. "Hyung?! Haechan udah nunggu didepan gerbang." Tanpa berganti baju, Jeno langsung keluar kamarnya. BlueFire. Markas phoenix yang berada di Korea menjadi tujuan tiga pemuda itu pergi. Setelah mengancam akan menabrak paksa para security di rumahnya, Jeno akhirnya bisa keluar dari tempat besar itu. Tempat yang dulu ia sebut rumah tapi sekarang rumahnya ada di BlueFire Headquarter. Tempat orang-orang yang ia sebut sebagai keluarga aslinya berkumpul. Tempat dari orang-orang yang berlatar belakang sama. Sama-sama memiliki orangtua yang memiliki anak hanya untuk formalitas masyarakat agar tak dicap mandul dan pengikat suatu perjanjian bisnis. Memasuki jalanan sepi dan jauh dari jalan raya, mereka terus melaju hingga tiba disebuah goa tertutup oleh dedaunan dan akar rumbai yang menutupi mulut gua. Haechan turun dari motor Honda new CBR 600rr merahnya, dan membuka pintu yang tersembunyi dibalik dedaunan itu dengan teknologi pengenal retina mata. Diikuti Jisung yang turun dari motor yang sama dengan warna putih sedangkan Jeno berwarna hitam. Terus melewati terowongan sepanjang 5 meter yang diterangi oleh lampu putih redup di setiap meternya, mereka bertiga keluar ke sebuah lapangan luas yang dikelilingi oleh pepohonan menyembunyikan bangunan lumayan besar itu dari dunia luar. Baru saja melepaskan helm dan turun dari motornya, Jeno langsung diserbu oleh sebuah pelukan dari saudaranya. Ya, member phoenix tak hanya menyebut diri mereka teman ataupun sahabat. Saudara. Itulah bagaimana mereka menganggap masing-masing. "Jeno Oppa, Yuna kangeeeeen!!" Ujar gadis tinggi bermata besar itu sambil memeluk erat Jeno yang tak bisa menahan untuk mengembangkan senyumannya. "Sama Jisung nggak kangen?" Goda Jeno. "Nggak. Jisung jelek!" Ujarnya sambil melepas pelukan. Jeno tertawa pelan sebelum menjawab. "Ya gak kangenlah. Bulan kemarin aja ketemuan tanpa bilang ke gue." Jawaban Jeno membuat Jisung dan Yuna membeku ditempat diikuti tawa yang lain. "My bro?!!!! Waaah!! Akhirnya pulang kampong juga ya anda, tuan Lee." Ujar Jaemin sebelum melepaskan rangkulannya pada gadis pendek tangguh itu. Shin Ryujin, kekasih Jaemin. Ryujin menjadi salah satu ace wanita di phoenix berkat pelatihan dari Jeno. Jeno dan Ryujin menyapa dengan mengangkat alis lalu melakukan fistbump dilanjutkan dengan Jeno yang mengacak rambut wanita itu. Lalu beralih memeluk Somi yang menggandeng tangan Haechan. "Dasar temen laknat! Gak pernah mau nelpon duluan!" Protesnya yang Jeno jawab dengan memutar bola matanya. Itulah Somi. Si bawel kesayangan Haechan yang tak kalah bawel. "Shuhua Noona mana, Hyung?" Tanya Jisung sambil melepaskan pelukan Jaemin. "Lagi dikamar mandi." Ujar Renjun yang langsung naik ke punggung Jeno. Mereka sangat dekat karena teman pertama yang Jeno punya adalah Renjun. "JISUUUUUNG! MY BABYYY!" Teriak Shuhua yang tiba-tiba muncul dan memeluk jisung erat sampai Jisung protes karena sesak. "Jisung doang yang dipeluk? Gue engga? Padahal lo yang paling rajin nelpon gue pas di US." Goda Jeno yang malah dijawab dengan jeweran di telinganya oleh Renjun. "Gak usah macem-macem ama cewek gue, Jen." "Ayo masuk semuanya! Itu didalam ada pizza, fried chicken sama cola." Seru Chaeryeong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN