3. Uang Segalanya.

1101 Kata
Agata POV. Ranvier membawaku ke apartemen mewahnya itu. Ku dipersilahkan duduk dengan dirinya yang mengambilkan ku sebuah gelas, lalu ia isi dengan wine. Kami duduk berdua dengan dirinya yang begitu dekat menempel padaku. "Minum ini sayang." pintanya padaku. Aku tahu, aku ini bukan orang suci. Namun aku juga tidak suka meminun minuman yang beralkohol itu. Lagi pula aku harus pulang ke apartemen ku, aku takut pingsan di LRT, nantinya. "Aku enggak minum itu, Vier." ujarku. Dia tersenyum kecil. "Kenapa enggak mau?" tanya nya dengan lembut. "Aku memang enggak pernah minum itu. Aku mungkin akan pingsan kalau sampai berani meminumnya." alasan lainnya adalah karena aku takut pingsan di sini, lalu Ranvier mungkin saja melecehkanku. Aku bukan berpikiran tidak baik. Tapi untuk berjaga jaga, aku harus berpikiran jelek. Dia mendengus pelan. "Kita sudah bertunangan. Dan aku juga sudah mengirim uang setengahnya untuk membantu restoran keluargamu itu. Lalu kamu tidak mau memberikanku sedikit saja kesenangan?" tanya nya padaku. "Kesenangan yang bagaimana yang kamu maksud?" aku menggeser diriku agar tidak terlalu dekat dengannya. Mulut nya yang menelan minuman beralkohol itu mulai terasa menguar dan sampai dihidungku. Aku agak mual menghirupnya. Tangannya mengusap pipiku. "Seperti pasangan lainnya yang tengah dimabuk cinta." ujarnya. Dia hendak menciumku, namun aku menjauhkan wajah ini. Aku sungguh tidak suka keadaan ini. Ranvier sepertinya sedang mabuk dan ... menurutku ini sangat berbahaya. "Aku akan pulang!" kutarik tas kecilku seraya berdiri. Kulihat Ranvier tersenyum kecil dan meletakan gelas tinggi ramping itu, di atas meja. Isinya telah habis diteguk olehnya. "Kamu tidak akan memberikan apapun?" pertanyaannya terdengar seperti dia sedang menunggu timbal balik dari sebuah pengorbanan. "Tidak ada." ujarku ketus. Dia terkekeh. "Bagaimana bisa?" dia mengangkat kedua bahunya. dan mendekat padaku. "Kamu itu tunangan ku. Kamu harusnya menyenangkan ku. Tapi kamu bilang tidak akan pernah memberikan apa apa?" "Tidak akan. Aku akan memberikan kesenangan itu, jika sudah ada ikatan pernikahan diantara kita." "Apa bedanya? sekarang atau nanti, kamu juga akan merasakannya kan?" Aku tidak tahu pergaulan iblis semacam apa yang telah dilalui oleh laki laki itu. Namun sungguh sial, kenapa harus aku yang menjadi kekasihnya saat ini. Lebih tepatnya kekasih yang ia jadikan sebagai bayaran karena kedua orang tuaku meminta bantuan padanya. "Tentu saja beda. Dan kamu enggak akan pernah ngerti itu. karena kamu seorang laki laki." "Aku juga memiliki banyak teman perempuan. Tapi mereka mau mau saja, ketika kekasihnya mengajak happy happy. Mereka melayani lelakinya, karena cinta." "Dan kamu lupa, kalau kita memang tidak pernah saling cinta." Aku tidak akan gentar, meski Ranvier ini adalah seorang pemilik perusahaan terbesar di Negara ini. Keluarganya bukan hanya memiliki perusahaan di bidang jasa seperti Artika Home ini. Tapi dibidang property dan juga di logistik. Mereka memang hebat dan kaya raya. Tidak seperti keluargaku yang hanya memiliki satu restoran. Dan saat ini sedang mengalami krisis. Pasalnya ayahku terlalu percaya sama managernya. Ayahku jarang masuk ke restoran, dan mempercayakan semuanya pada managernya itu. Dan sialnya Ayahku ditipu begitu banyak oleh managernya dan saat ini setelah kondisi restoran sedang krisis karena keuangannya di bawa kabur. Ayahku berjuang sendiri. Lalu tidak ada satu pun yang membantunya. Makanya ayah datang ke Ranvier dan meminta bantuan pada lelaki gila itu. Aku tidak tahu apakah ayah mengetahui bagaimana gilanya seorang Ranvier, yang selalu bergonta ganti perempuan layaknya sebuah permen karet? atau memang sama sekali tidak tahu? Ranvier menatapku dalam."Apakah cinta itu lebih agung dari sejumlah uang?" dia meletakan wajahnya di bahuku, menghisap aroma rambutku. "Iya." Jawabku pelan. "Lalu kenapa ibuku memilih meninggalkan ayahku, dan menikah dengan lelaki kaya raya itu?" aku terdiam. Aku bingung apa yang dimaksud lak laki gila ini. Aku yakin sekali kalau dia sedang mabuk berat. Tapi mana mungkin seorang Ranvier bisa mabuk hanya karena satu gelas wine saja. "Kamu bohong!" dia mendorongku. Kedua matanya terlihat merah penuh kemarahan. Dia berjalan ke arah meja, lalu mengambil botol minuman itu, dan menenggaknya sampai habis. "Cinta itu tidak lebih rendah dari sekedar sejumlah uang. Cinta itu tidak ada, agata!" dia kembali mendekat dan memegang kedua bahuku."Kamu datang padaku, pasti karena uang kan? lalu kenapa kamu tidak memberikan tubuhmu itu sekarang juga agar aku segera mengirim kan sejumlah uang yang ayahmu butuhkan! Kenapa?" dia mendorongku ke pintu dan menghimpitku di sana. Dia sungguh sangat bau alkohol. Ku dorong wajahnya yang hendak manghabisi wajahku itu. "karena sejak awal, kamu menginginkan seorang pendamping hidup, dan bukan seorang pelacur." Aku mulai tidak bisa menahan dirinya yang terus mendesak ku. "Apa bedanya? p*****r atau pun pendamping hidup. Mereka sama sama memberikan tubuhnya dan menginginkan uang!" Dia berhasil mendorongku ke sopa dan aku berada di bawahnya. "Kamu akan menjadi pemilik Artika Home. Ayahmu juga akan mendapatkan uang banyak dan menjalankan restorannya. Kamu mendapatkan keuntungan dua kali lipat. Dan aku, aku hanya ingin tubuhmu saja. Iya, hanya itu. Tapi kamu masih saja pelit?" Ku tampar wajahnya, dan ku tendang tulang keringnya. Ku ambil teko yang berisi air. Lalu kusiramkan padanya hingga ia basah dan berteriak memanggil namaku. "AGATA!" namun ia masih berada di lantai. "Kita berbeda Ranvier!" aku berdiri dengan tegak. Ku tatap dia dengan senyuman hina. "Aku dan keluargaku memang memang membutuhkan uang. Dan kita menamakan itu dengan menanam modal. Bukan dengan menjual diriku. Kita akan berjuang sekuat tenaga untuk mengembalikan uang itu. Tapi tidak dengan melakukan hal itu." "Munafik!" Ranvier berdiri dengan sempoyongan. "Kamu sangat munafik!" dia menunjuk wajahku. "Wajahmu ini sangat cantik dan indah. kenapa tidak kau jual saja untuk mendapatkan uang lebih banyak padaku. Bukankah itu yang selalu dilakukan oleh perempuan perempuan cantik seperti kalian?" Kalian siapa maksudnya? Dia sepertinya memang sedang gila. "Aku pikir, kamu memang sedang gila!" aku harus meninggalkannya. Dari pada aku yang jadi korban atas kekacauan hidupnya itu. Aku tidak peduli jika dia pingsan atau masuk angin karena guyuranku itu. "AGATA!" dia berteriak, sampai pemilik apartemen yang berada di sampingnya ini melihat pada kami. Aku hanya mengangguk pelan dengan senyuman kaku, lalu masuk ke dalam lift. Sampai ke apartemenku, Ayahku menelpon dan memarahiku atas apa yang aku lakukan pada Ranvier tadi. Aku yakin sekali laki laki itu telah mengadu padanya. "Kamu harus minta maaf, dan kembali pada apartemennya Ranvier. Urus dia, jangan sampai dia masuk angin atau sakit. Kamu dengar papah enggak agata?" duh, kepalaku nyut nyutan kalau sudah begini. Kujauhkan saja ponsel di telinga ini. Dan kubiarkan papah berbicara sendiri. Hingga pada akhirnya Papah menutup ponselnya, lalu aku terpaksa harus kembali pada si biadab itu. Sungguh aku malas dan kesal sekali. Aku sungguh ingin menampar dan mencacinya. Tapi sekali lagi uang adalah segalanya. Dengan pelan ku buka pintu baja yang memiliki nomor password yang udah kuhapal di luar kepalaku. Ku terkejut karena ruangan itu gelap. Belum saja langkah ini menjauh, ketika sebuah napas hangat berada di telingaku. "Kamu kembali sayang!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN