"Pemerintah ingin kita lebih bisa melayani masyarakat dengan lebih baik." ujar Ranvier. Saat ini kami sedang berada di ruang meeting. Meeting kali ini cabang Artika Home dikumpulkan dalam satu ruangan. Aku menghitung semuanya ada 30 Agent. Memiliki 30 agent penyalur di negara ini tentu saja adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Mengingat perusahaan keluarga Ranvier bukan hanya Artika Home saja.
"Pemerintah banyak maunya!" bisik Adnan padaku. Aku menyikut pelan perutnya.
"Emang bener kan?" kesal Adnan.
Aku hanya menggeleng saja.
"Sekarang banyak banget aturan. Kita agen harus gini harus gitu, kan nyebelin banget." keluhnya lagi.
"Banyak keluhan terkait med yang diberikan oleh artika home." ujar Ranvier lagi. "Kita mulai saat ini harus menyeleksi calon med lebih ketat lagi. terutama dalam keterampilan memasak dan mengurus anak dan orang tua. Juga attitude yang baik, sangat diperlukan. Kalian harus wasapada pada med yang memiliki kebiasaan mengambil barang orang." Saat mengatakan itu, Ranvier menatap padaku. Mungkin dia ingin memberikan peringatan padaku, bahwa memang tidak semua maid itu baik. Karena aku merasa tidak tenang saat kedua mata gelap itu tertuju padaku, maka aku pun mengalihkan tatapanku pada sudut lain.
"Pak Ranvier selalu saja diam diam natap kamu. aku rasa dia memang sedang mengincar kamu ya." bisik Andnan lagi. Dia tidak tahu saja, kalau aku dan Ranvier memang sudah bertunangan. Ingin rasanya aku mengeluhkan hubungan aneh ini. Namun mana mungkin aku akan bisa mengakhirinya kalau ternyata Ranvier memang tidak akan mudah untuk dikalahkan.
"Enggak lah. Mana mungkin dia mau ngincer aku." ujarku.
"Tapi itu yang aku lihat. Band juga, kayanya suka diem diem lihat kamu, kalau ke sini."
"Band itu mungkin sedang melihat ada berapa orang di sini, kamu tahu kan kalau Band itu kan emang sedang iri pada Ranvier?"
"Iya, sih. Mungkin aja."
"Nah, kala--"
"Kalian berdua!" Aku mendengarkan teguran Ranvier dari poduim, membuatku dan Adnan kaget, tentu saja."
"Kalian ngapain? kalian gila ya? kalian tidak menghormati ku." ia terdengar marah sekali. Ya ampun ... padahalkan aku dan Adnan itu berbicara dengan saling berbisik. Aku sungguh tidak mengerti dengan laki laki yang satu ini. Lagi pula, aku tuh enggak cekikikan atau pun menertawakannya. Emang Dasar iblis menyebalkan!
"Kamu! Agata! ke depan!" dia memintaku ke depan. Dan mau tidak mau, aku harus mengikuti kemaunnya itu. Aku pun ke depan duduk di sampingnya Bu Irene.
"Ok, mari kita mulai lagi. Kalau sekali lagi, kalian membuat keributan di saat meeting. Maka upah kalian berdua akan saya potong!" tegas Ranvier lagi.
Aku hanya mendengus jengah saja. Aku sungguh enggak habis pikir pada laki laki itu.
Meeting pun berlanjut dengan membosankan. Aku kadang menguap, membuat Ranvier sepertinya ingin sekali mengulitiku. Habisnya dia kalau meeting tuh terlalu lama. Aku bosan dan ingin sekali segera kembali ke meja ku, lalu mendengar musik sambil mengobrol dengan para tamu. Ya ... mengobrol dengan para tamu itu, lebih baik, dari pada harus menjadi pendengar untuk seorang Ranvier. Namun ada yang tidak ku mengerti dengan diriku, karena kedua mata ini begitu berat. Aku seperti melihat seorang Ranvier ada dua orang. Tidak! dia bahkan ada tiga orang. Mereka berputar putar, dan tertawa. Aku tidak tahan lagi, sehingga aku pun terlelap.
Tidak tahu entah berapa jam aku terlelap. Ketika aku bangun, aku mendapati diriku di ruangannya Ranvier. Ku mengucek mata ini dan ...
"Enak tidurnya?" suara itu ... itu adalah suaran ranvier. Aku sungguh kaget, dan segera bangun. Dia berdiri di sampingku.
"Apa yang kamu makan? kenapa kamu sampai ketiduran di ruang meeting. Kamu membuatku kesal, dan rasanya aku ingin memakan mu sekarang!"
Aku memutar kedua bola mata ini jengah. "Aku kelelahan Ranvier. Jangan marah."
"Dan aku tidak marah." dia duduk di sopa, yang berada di dekat sopa panjang yang aku tiduri. Menyalakan rokok, dan menatapku dengan dalam. "Kamu mau kapan kita menikah?" dia mengepulkan asap rokok.
"Kan aku udah bilang, kalau aku--"
"Aku enggak tanya kalau kamu bisa nolak. Aku hanya bilang, kapan kita akan menikah?"
"Dan ya ... pernikahan itu enggak se gampang itu. Kamu enggak cinta sama aku. kenapa kamu mau menikahi aku?" aku bangun dan menatapnya geram.
"Memangnya kamu pikir, aku butuh perempuan yang aku cintai untuk bersamaku?" makasudnya apa! Dia mendekat dan mengusap pipiku. "Aku hanya akan menikah dengan perempuan sepertimu, bukan perempuan yang aku cinta."
"Lalu apa arti pernikahan untuk kamu?" aku kesal, sehingga kutepis tangannya dengan kuat. Enak saja, dia menyebut wanita sepertiku. Memangnya aku ini perempuan seperti apa? aku sungguh ingin sekali mencolok kedua matanya.
"Ayolah agata ... ,menikahi perempuan yang di cinta itu ribet. Aku harus banyak mengalah dan banyak berkorban perasaan. Jadi aku hanya akan menikah dengan perempuan yang tidak aku cinta, yaitu kamu."
Aku berdecih. 'Tapi aku hanya ingin menikah dengan laki laki yang aku cinta. Itu artinya hubungan kita ini tidak akan berjalan mulus. Kita lebih baik berakhir saja."
Dia menggeleng. "No! itu tidak akan pernah terjadi. Kita harus menikah, dan memiliki seorang anak!" apa katanya! Anak? aku rasa dia tidak waras!
"Kamu pikir, aku mau melahirkan anak dari laki laki yang tidak aku cinta? kamu gila atau sedang mabok ya!" kurasa suaraku terlalu kuat, sehingga ranvier meletakan talunjuknya di bibir. "jangan terlalu berisik. Kalau orang lain dengar, itu akan sangat memalukan sekali kan?"
"Aku tidak peduli. Dan aku tegaskan sekali lagi. Aku tidak akan pernah mau nikah sama kamu. Sampai kapan pun!"
"Dan kamu akan menjadi perawan tua? begitu?"
"No! aku akan menikah dengan laki laki yang mencintaiku dan yang aku cinta."
"Seperti adnan?" ledeknya.
Aku menggeleng. "Bukan!" kemudian aku keluar dari ruangan itu, karena aku begitu kesal padanya.
***
Sore hari, aku membereskan mejaku. Aku akan pulang dan menemui kucing ku di rumah. Karena sangat sibuk, aku bahkan sampai lupa, kalau di apartemen ku ada seekor kucing berwarna putih yang besar. Dia kucing kesayangan papah, yang aku bawa. Karena aku merasa amat kesepian, makanya aku membawa hewan lucu itu.
"Mau pulang bareng enggak?" tanya Adnan.
Aku menoleh. "Kamu duluan, gih. Aku masih harus ke toilet. Kamu tahu kan wajahku harus di rias sedikit." ujarku.
Adnan terkekeh. "Baiklah, perempuan dengan segala ke ribetannya. "Sindirnya. Lalu aku pun memilih ke toilet. Masuk ke sana dan ternyata lampunya mati. Ingin ku nyalakan namun ...
Seseorang keluar dari bilik lain. Aku mematung, jujur saja aku kaget. karena dia seorang perempuan.
"Siapa?" tanyaku.
Dia terdiam mendekat dan mendorongku, lalu....
"Pulangkan, saya miss Agata!" perempuan itu menodong ku dengan pisau, membuatku menegang dengan menelan ludah.