"Aku tak peduli, kau harus menemukannya."
Revan mematikan sambungan telepon, meletakkannya ke atas meja kerjanya kemudian memijit kecil pangkal hidungnya. Sudah seminggu berlalu namun tak ada hasil mengenai perintahnya untuk menemukan rekaman cctv sebelas tahun yang lalu.
Tok … tok … tok
"Masuk."
Perlahan pintu bercat hitam itu pun terbuka dan seorang pria bersetelan jas rapi berjalan ke arahnya.
"Maaf, Tuan. Saya sudah menyelesaikan tugas yang anda peri telah kemarin." Pria itu memberikan map berisi apa yang Revan inginkan.
Revan menerima map tersebut dan mulai memeriksanya. Membaca dengan teliti setiap informasi yang orang suruhannya berikan. "Baiklah, kau boleh pergi," perintahnya.
Pria itu pun undur diri meninggalkan Revan yang terlihat begitu serius dengan isi map tersebut.
Revan menyandarkan punggungnya pada punggung kursi putarnya dan memutar kursi hingga menghadap jendela besar ruang kerjanya. "Yuna … Kania …." gumamnya dengan menggigit ibu jari dimana tangannya terkepal di depan mulutnya. Dua nama perempuan itu kini menjadi prioritas utamanya. Ia tak lagi muda dan mungkin inilah jawaban atas semua keanehan yang terjadi padanya.
Sejak malam itu ia tak bisa tidur dengan nyenyak. Bayangan wajah Yuna seolah telah terukir dalam ingatan hingga membuatnya tak bisa menerima kehadiran wanita baru. Selama ini entah sudah berapa banyak wanita ia tolak. Ia sempat berpikir apakah ia mulai gila atau ada yang salah dengan hasrat seksualnya. Pasalnya, setelah apa yang ia lakukan dengan Yuna kala itu, ia tak bisa lagi menyentuh wanita lain. Pernah satu kali ia mencoba memaksakan diri dengan membuka hati pada wanita lain dan berniat melakukan hubungan hanya untuk membuktikan bahwa ia masih normal. Sayangnya, ia benar-benar tak bisa. Namun saat bayangan wajah Yuna terlintas, seketika itu juga hasratnya memuncak. Ia seolah telah mendapat ilmu guna-guna, sayangnya, jika memang Yuna memberinya guna-guna, tentu wanita itu akan memunculkan diri. Tapi tidak, Yuna justru menghilang bak ditelan bumi.
Revan memejamkan mata mengingat hari itu. Seharusnya, ia menunggu Yuna bangun maka semua tak akan berakhir seperti ini. Waktu itu ia harus segera ke luar kota untuk urusan pekerjaan demi kelangsungan perusahaannya. Ia sengaja meninggalkan kartu namanya agar Yuna menghubunginya jika terjadi sesuatu. Meski mereka baru pertama melakukannya juga baru saling mengenal, namun jika terjadi sesuatu, ia akan siap bertanggung jawab. Karena memang, apa yang terjadi pada Yuna juga karena ia yang tak bisa mengendalikan diri.
Jika teringat waktu itu hati Revan berdenyut ngilu. Semua pertanyaan kenapa Yuna tak menghubunginya terjawab sudah. Seketika tangannya terkepal kuat dengan gigi bergemeletuk menahan amarah. Kilatan kebencian terlihat jelas lewat sorot matanya yang seolah membara. Pria itu, akan ia hancurkan.
Sementara di tempat Kania, ia terlihat duduk seorang diri di ayunan taman tak jauh dari rumahnya. Bu Vita nyaris dipecat karena kesalahannya, meski keputusan itu dibatalkan, tapi tetap saja ia merasa bersalah. Tangannya menggenggam rantai ayunan dengan kuat. Ia marah, sangat marah dengan dirinya sendiri. Andai saja jika pria itu memang ayahnya dan mengakuinya, mungkin penyesalan tak akan sedalam ini. Pengorbanannya hingga nyaris mengorbankan gurunya sia-sia karena Revan bahkan mengaku tak mungkin mempunyai anak.
Deg!
Tangannya menekan d**a dengan kuat saat rasa ngilu seolah menghujam jantungnya. Semua sudah berlalu, namun ingatan ucapan Revan masih terekam jelas.
Pluk! Byar!
Sakit, rasa sakit itu nyata saat sebuah balon air terlempar dengan keras ke arah mukanya.
"Hahaha, rasakan! Rasakan ini!"
Lagi, lemparan demi lemparan mengenai tubuh Kania hingga membuat baju hingga tubuhnya basah dan ia jatuh dari atas ayunan.
"Ini balasan karena kau, bu Vita hampir keluar dari sekolah!" teriak Zio dengan terus melempari Kania dengan balon berisi air.
"Makanya jangan sok mencari ayahmu. Kau itu anak haram dan tak mempunyai papa!" maki Reza, teman Zio yang juga melempari Kania.
Sementara kedua temannya yang lain hanya tertawa menertawakan Kania bahkan sesekali bertepuk girang.
Keempatnya baru berhenti saat balon air mereka telah habis. Kemudian mereka mendekati Kania yang telah basah kuyup dan terduduk di atas tanah. Tak berhenti sampai di situ, mereka meraup tanah basah di sekeliling Kania dan melemparkannya ke arahnya.
"Hahaha, anak haram sepertimu itu memang sekotor lumpur, hahahaha. Rasakan ini, rasakan!"
Kania hanya diam dan berusaha melindungi diri dengan menyilangkan tangan didepan wajah. Tidak apa jika bajunya kotor atau robek sekalipun, tapi tidak dengan kacamatanya. Ia tidak ingin kembali merepotkan mamanya dengan membelikannya kacamata baru.
"Hai! Apa yang kalian lakukan, bocah!"
Suara teriakan pria dewasa membuat keempatnya terkejut. Mereka menoleh ke arah sumber suara dan saling berpandangan satu sama lain. Ini kali pertama ia melihat pria dengan setelan jas rapi dengan postur tubuh tinggi dan berotot.
Klak … klak … klak ….
Buku tangan pria itu berbunyi kala ia menyatukan tangannya dan menunjukkan wajah garang.
Keempatnya mulai ketakutan dan segera lari kalang kabut. Sementara pria itu segera menghampiri Kania yang tertunduk dengan berusaha mengusap air mata. "Kenapa kau tidak lari?" tanya pria itu seraya membersihkan wajah Kania yang kotor menggunakan tisu.
"Jika aku lari dan mereka menangkapku, mereka akan lebih menyakitiku," jawab Kania.
"Mari ikut paman, paman akan membersihkan bajumu," ujar pria itu dan membantu Kania berdiri.
"Tidak, terima kasih. Aku akan segera pulang," tolak Kania dan hendak pergi namun pria itu segera mencegahnya.
"Kalau begitu paman akan mengantarmu," paksa pria itu dengan menahan tangan Kania.
"Terima kasih, paman, tapi nanti Kania akan mengotori mobil paman."
Pria itu setengah berjongkok menyamakan tingginya dengan tinggi Kania. Mengelap kembali wajah Kania yang masih sedikit basah dan melempar senyum tipis untuknya. "Kau tenang saja, paman bukan orang jahat. Paman hanya khawatir anak-anak nakal itu akan menjahilimu kembali," ucapnya dengan mengusap lembut tangan Kania yang memerah karena lemparan balon air.
Kania mulai ragu, haruskah ia bersedia atau berjalan kaki ke rumah dengan keadaannya seperti ini. "Kenapa paman mau menolongku?" tanya Kania hati-hati.
"Karena Kania anak baik jadi paman harus menolong Kania," jawabnya yang kini kembali berdiri tegak.
Kania mengangguk kecil tanda bahwa ia bersedia diantar pulang oleh paman yang baru ia kenal, namun dengan syarat yaitu berjalan kaki. Jadi jikalau paman itu berniat lain yakni menculik, ia bisa kabur dengan berlari atau berteriak.
Pria itu pun mengiyakan keinginan Kania dan akhirnya mengantar Kania pulang ke rumah. Tangannya menggenggam tangan Kania erat layaknya seorang ayah menggenggam tangan putrinya saat berjalan. "Kenapa mereka mengganggu Kania?" tanyanya membuka suara. Meski postur tubuhnya terlihat menyeramkan, namun tutur kata pria itu begitu santun dan terdengar bersahabat.
"Karena Kania anak haram," jawab Kania singkat dan datar.
Pria itu terkejut dan menatap Kania dengan pandangan sulit diartikan. Ia menghentikan langkahnya yang juga menghentikan langkah kaki Kania. "Tidak ada yang namanya anak haram," ucapnya dengan mengusap pucuk kepala Kania.
"Tapi Kania tidak punya papa."
"Setiap orang punya papa. Mungkin, papa Kania saat ini tengah bekerja dan suatu saat akan datang menemui Kania."
Bibir Kania terlihat mengerucut kecewa. "Kania sudah tidak punya papa dari kecil," ucap Kania seraya hendak kembali melangkah.
Pria itu hanya diam dan menatap sendu Kania yang berjalan di depannya. Hanya dengan melihat wajah dan mata Kania saja, pria itu tahu dan percaya.