Bab 4. Kalung Berbandul Bulan Sabit

1048 Kata
Bab 4. Kalung Berbandul Bulan Sabit   "Bunda nangis? Any body hurt you, Bun?" berondong Athar karena tanpa sadar air mataku membangunkannya. "No, Bunda cuma capek," sahutku mencoba menghentikan tangisanku. Aku harus kuat demi anakku. "Wah... Maafin Athar ya, Bun. Bunda pasti kecapekan karena gendong Athar yang ketiduran. Kalau gitu Bunda bisa turunin Athar, biar Bunda nggak capek," jawab Athar berusaha turun dari gendonganku. Setelah berhasil turun anak tampanku segera menuntunku menuju kursi yang ada di taman. Untung daerah pemukiman dekat rumahku merupakan daerah yang banyak pohonnya apalagi di taman ini. Tempatnya tak jauh dari rumah. Cuma berjarak empat rumah. Dari sini aku masih bisa menatap pagar rumah tempatku dibesarkan. "Kita jadi ketemu sama Eyang, Bun?" tanya Athar seakan menamparku. Apa yang harus hamba jawab ya Allah? Tidak mungkin hamba mengatakan yang sesungguhnya. Kalau eyangnya tidak menerima kehadirannya. Itu pasti akan menyakiti hatinya. "Maafin Bunda ya sayang, ternyata Eyang nggak ada di rumah. Bunda lupa kalau Eyang pergi ke luar kota," sahutku berbohong. Entah kebohonganku yang ke berapa padanya. "Yahhh, tapi kan kita bisa datang lagi kalau Eyang sudah pulang. Bunda jangan sedih ya," kata Athar mencoba menghiburku, meski aku tau dia juga sedikit kecewa karena tidak dapat bertemu eyangnya. "Terus kita menginap di mana Bunda?" tanyanya lagi setelah hening meliputi kami. "Mungkin di apartemen aunty Al," sahutku pelan. Entahlah aku agak tak enak kalau terus merepotkan Almira, apalagi dia pasti tinggal dengan keluarganya. Ponselku berbunyi, Almira. Panjang umur, batinku. "Assalamu'alaikum," sahutku begitu aku mengangkat panggilan sahabatku itu. "Waalaikum salam, bagaimana pertemuan kalian? Mereka bisa nerima Athar kan?" tanya Almira to the point. "Mereka menolaknya," sahutku singkat tak mau Athar mengetahuinya. "Oh sayangku, aku ikut menyesal untukmu. Kalau bagitu kau bisa tinggal denganku," ujarnya lirih, aku tau Almira ikut merasakan kesedihanku. "Baiklah, untuk sementara kami tinggal denganmu. Namun kami harus mencari tempat tinggal sendiri nantinya. Aku tak mau terus merepotkanmu." "Hei... Kau bicara apa sih? Nggak... Nggak... Nggak ada itu," cerocosnya membuatku terkikik geli. Aku bisa membayangkan kalau mulutnya pasti sudah maju beberapa senti kalau sedang kesal. "Hei... Itu keputusanku, Sayang, bukan karena apa. Namun aku ingin mandiri. Lagipula aku kan bisa kuliah sambil kerja di sini. Atau bisa bisnis online," sahutku tak bisa diganggu gugat. Kini saatnya aku menata hidupku mulai dari nol tanpa bantuan siapapun. Demi Athar dan juga demi diriku sendiri. "Bisnis online apaan, nggak... Nggak ada itu. Bukannya kamu sudah setuju kerja di rumah sakit keluargaku." Aku terpaku mendengar jawaban Almira. Benar, aku sudah berjanji padanya jika lulus kuliah kedokteran maka aku harus mau bekerja di rumah sakit keluarganya. Setidaknya itulah kenapa aku bisa kuliah kedokteran di Boston, dengan beasiswa dari rumah sakit The Healthy, milik keluarga Wijaya. "Iya ya, baru inget. Makasih ya Al. Tolong sampaikan rasa terimakasihku pada keluargamu ya. Nggak tau gimana jadinya aku kalau nggak ada kalian. Allah sudah mengirim kalian untuk membantuku. Terima kasih." "Yaelahhh Fira, santai aja lah. Kayak sama siapa aja," sahutnya terkikik geli. Kami terkekeh bersama. "Sekarang kamu di mana? Biar kujemput." "Aku di taman dekat rumah orang tuaku." Aku mendesah saat menatap ke pagar rumahku kembali. Tak ada tanda-tanda mereka akan mencariku. Apa mereka benar-benar sudah membuangku? Tak bisakah mereka memaafkanku? Sedih menggelayuti sanubariku kala panggilan telpon dari Almira selesai. Aku menatap anakku yang juga menatapku. Dia menatapku penuh tanya dan juga khawatir. Kucoba tersenyum semanis mungkin padanya, tak mau membuatnya merasakan kesedihanku. "Kita akan menginap di tempat aunty Al sementara waktu," kataku sambil membelai pipi tembemnya yang berubah menjadi dingin. Seketika aku menyadari cuaca yang semakin dingin karena waktu kian gelap. "Athar kedinginan?" tanyaku khawatir. Segera kuambil pakaian hangat miliknya dan memakaikannya dengan lembut. Kukecup penuh sayang kedua pipinya dan dihadiahi olehnya kecupan yang sama di kedua pipiku. "Makasih, Bunda," ujarnya ceria. Wajahnya penuh senyum, membuat semua capek dan pikiran burukku menghilang seketika. Tak lama sorot lampu mobil menyorot kami membuatku dan Athar menutup muka karena silau. Siapa sih usil banget, batinku kesal. Tin Tin Seseorang turun setelah membuat keributan, mataku memicing karena belum terbiasa. "Ih... Aunty mah nakal. Ngeselin tau," gerutu Athar lebih dulu menyadari siapa pelaku keributan barusan. "ALMIRA!!!" panggilku kesal. Sahabatku itu hanya terkekeh geli. Dan sejenak aku lupa dengan dukaku karena kehadiran kedua orang yang senantiasa menemani dan menghiburku selama ini. "Terima kasih," bisikku saat kami sudah berada di mobil menuju apartemen Almira. Sahabatku itu hanya mencebik kesal menanggapi. "Stop berterimakasih terus Fir. Kita kan keluarga, jadi jangan pernah perhitungan." "But, i still say thank you," kataku sungguh-sungguh. "Anytime beby," sahutnya akhirnya. "Kami nggak ganggu kamu dan keluargamu kan?" tanyaku tetap merasa tak enak hati kalau mengganggu quality time Almira dan keluarganya. "Tenang aja, apartemen itu kosong kok. Aku pulang ke rumah orangtuaku." Ah, syukurlah. Tanpa sadar aku menghela nafas lega. "Woaaa... Ekspresi kamu sesuatu banget deh," ujarnya menggoda. "Ya kan, aku nggak mau kehadiran kami malah ganggu temu kangen kamu dan keluarga." "Kebetulan Umi dan Abi masih di perjalanan. Mereka baru nengok Kak Andin yang baru lahiran," sahut Almira enteng. "Wah, kok kamu nggak cerita sih? Anak kak Andin apa nih? Cewek atau cowok?" tanyaku antusias. "Cewek lagi, padahal mereka pengen banget punya anak cowok," sahutnya sedikit sedih. "Cowok cewek kan sama aja Al," sahutku tak suka. Bagiku anak laki-laki atau perempuan itu sama aja. Sama-sama anugrah. "Menurutmu, tapi tidak bagi mertua kak Andin. Bagi mereka, memiliki anak lelaki atau cucu lelaki itu suatu kebanggan. Bisa menjadi penerus keluarga," sahutnya dengan nada yang tak pernah kudengar selama mengenal Almira. "Semoga apa yang terbaik diberikan Allah untuk kak Andin sekeluarga. Karena baik menurut Allah kadang tidaklah sama dengan baik menurut manusia. Sesungguhnya hanya Allah yang Maha Mengetahui," doaku tulus. "Iya kau benar," sahut Almira setuju.   *** Seorang lelaki tampan sedang menggambar sebuah liontin berbentuk bulan sabit. Setelah menyelesaikannya dia membelai gambar bulan sabit di sana. "Kenapa wanita itu tak memiliki liontinku?" tanyanya entah pada siapa. Hanya kesunyian malam yang menemaninya. Selalu begitu. Tak perduli di manapun dia berada, atau seramai apapun dia selalu merasa sendiri. "Liontinku tak mungkin hilang begitu saja," ucapnya lagi. Dia menghukum dirinya sendiri akan kesalahannya di masa lalu. Kesalahan yang selalu membayanginya hingga kini. Bahkan dia tak dapat memaafkan dirinya sendiri. Penyesalan seumur hidupnya. Ya, wanita itu adalah kesalahan terbesarnya. Harusnya malam kelam itu tak pernah dialaminya. Kesalahan yang harus berakhir dengan wanita sialan itu. >>Bersambung>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN