Bab 6. Paman Omar
Rumah keluarga Wijaya sudah ramai saat Safira dan Athar sampai. Sebagian besar keluarga inti Almira, Safira mengenalnya. Karena bukan cuma sehari dua hari saja mereka mengenal. Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Apalagi kedua orang tua serta saudara sepupu Almira sering berkunjung ke Boston. Almira merupakan anak satu-satunya pasangan Herman Wijaya dan Kinanti Atmaja. Meski anak satu-satunya, Almira tak pernah merasakan kesepian dia punya banyak sepupu yang dekat dengannya, salah satunya kak Andin.
**
"Paman, ehmm Adam boleh tanya?" tanya Adam ke paman yang seusia denganya. Uminya memang mempunyai adek saat sedang mengandung Adam. Jadilah mereka bukan layaknya paman dan keponakan. Namun baik Adam maupun saudaranya yang lain tetap memanggil Paman ke Omar. Omar sendiri, terlahir tanpa direncanakan kedua orang tua mereka. Di usia yang tidak memungkinkan Azizah, ibunda Omar dan Latifah. Kehamilannya penuh resiko, membuat sang suami Abi Qosim Alatas ekstra perhatian. Namun, malang tak dapat dihindari. Usai melahirkan Omar kecil, Umi Azizah menghembuskan nafas terakhirnya. Abi Qosim begitu terpuruk, kondisi kesehatannya memburuk. Hingga di saat Omar berusia lima tahun, lelaki Alatas itu menghembuskan nafas terakhirnya menyusul bidadari syurganya, Azizah.
"Boleh?" tanya Omar datar.
"Ish, Paman mah gitu. Irit bicara," gerutu Adam.
Tak ada tanggapan dari Omar, lelaki itu hanya mendengkus menanggapi gerutuan Adam.
"Serius nih Paman, itu... Ehmm kalung Paman sekarang ada di mana?" tanya Adam merubah ekspresi wajahnya menjadi serius.
"Hilang," sahut Omar singkat.
"Kok bisa hilang sih?" tanya Adam tak terima, hingga tak sadar sudah meninggikan suaranya membuat semua mata menatapnya.
Dengan perasaan malu dia melambai, menandakan tak ada hal yang patut di khawatirkan.
"Ish kau ini memalukan!" desis Omar tak suka. Sejak dulu memang dia paling tidak suka menarik perhatian orang.
"Eh... Beneran paman, kalung paman hilang di mana?" tanya Adam kembali berbisik. Dia sudah kepo maksimal.
"Entah, tak tau," jawab Omar acuh sembari mem-permainkan gelas berisi jus sirsak kesukaannnya.
"Ih... Paman! Bisa serius dikit nggak? Paman waktu itu ikut ke Bali nggak sih? Enam tahun yang lalu waktu annyversary Umi dan Abi?" selidik Adam. Entah feelingnya mengatakan kalau Ayah dari anak lucu itu adalah Pamannya.
"Ikut," jawab Omar acuh.
"Lalu seinget Paman, kalung paman masih ada atau sudah hilang. Pas datang ke Bali," selidik Adam bak anggota penyelidik kepolisian. Jangan lupakan tatapan matanya yang menatap Omar penuh intimidasi, sayangnya yang dihadapinya adalah seorang Omar, lelaki paling datar sejagat raya.
"Pake."
"Terus pas balik ke Kairo, kalungnya masih ada?" selidik Adam lagi.
"Hilang."
"Terakhir ingat, hilangnya di mana?"
"Lupa."
"Ya Allaaaah!! Berikan hamba-Mu kesabaran!! Sudah jawabnya irit banget, Duhhh... Bikin kesel deeeh," gerutu Adam penuh kekesalan. Omar menahan senyumnya melihat amarah Adam. Ponakannya satu ini memang lebay.
"Kalo lupa ya lupa," bela Omar.
"Serius nih Paman, apa pas kita di Bali saat itu Paman melakukan hal buruk," selidik Adam kesal.
"Banyak."
"Apa itu termasuk memperkosa seorang gadis berhijab?" tanya Adam berbisik, tak mau ada yang mendengar pertanyaannya.
"Kau gila!!" teriak Omar tak terima.
"Yee kan Adam cuma nanya. Lagian kenapa Paman kayak nggak terima gitu. Kalo nggak bener ya sudah. Kan saya cuma tanya," ujar Adam melihat setiap perubahan pamannya itu. Mencurigakan, batinnya.
"Aku nggak sebrengsek itu, lagipula kalau aku melakukannya pasti dengan tantemu," desis Omar tak terima. Dengan amarah dia meninggalkan Adam yang menatap kepergian Omar tak percaya. Apa maksud kata-kata pamannya?
"Bego! Kan paman sudah punya tante, kalaupun memang Paman Omar Ayah anak itu nantinya akan ada hati yang terluka... Arghhh," erangnya pada diri sendiri.
***
Omar berjalan dengan pikiran berkelana entah ke mana. Kata-kata Adam membuat pikirannya melayang ke enam tahun yang lalu.
Malam di ulangtahun pernikahan kakaknya membuatnya harus pulang lagi ke Indonesia. Malam itu entah apa yang diminumnya, perasaan dia tak minum alkohol, tapi kondisinya berkata lain. Kesadarannya menghilang begitu saja. Di pagi harinya dia tersadar dan terbaring di ranjang berdua dengan seorang wanita dengan kondisi telanjang bulat dan hanya ditutupi oleh selimut.
Sesaat dia tersadar sudah melakukan sesuatu yang buruk.
Wanita itu, Nadine. Teman SMA yang dari dulu sangat terobsesi padanya. Entah berapa kali dia menolak perasaan wanita itu. Dan kini dia sudah melakukan suatu dosa. Walau Omar tak bisa melihat adanya bercak darah, tapi dari penampakan Nadine yang penuh dengan kissmark bekas dicumbu habis-habisan. Mau tak mau menyadarkan Omar apa yang semalam dilakukannya.
Meski entah kenapa dia merasa ada yang hilang, seakan dia yakin tidak mungkin melakukannya dengan Nadine. Tapi....
Nadine mengancam akan memperlihatkan video perbuatannya ke keluarga besarnya kalau Omar tidak mau menikahinya. Makanya sebulan kemudian terjadilah pernikahan di antara keduanya. Tak ada cinta di hatinya untuk istrinya. Hanya sebatas tanggung jawab. Bahkan keduanya memiliki kamar sendiri di rumah.
Omar bahkan tak peduli apapun yang dilakukan Nadine. Banyak sudah didengarnya kabar miring tentang istrinya. Namun dia acuh.
Brukk
"Auuchhh, Bundaaa... Athar jatuh..." seru seorang anak kecil tengkurap tak jauh darinya.
"Hei buddy... Kau oke?" tanyanya penuh khawatir. Dengan lembut dia menggendong tubuh mungil itu.
"Bundaaa...." isak anak kecil itu.
"Bunda kamu yang mana?" tanyanya lagi celingukan.
"Atharr..." suara lembut menggelitik pendengaran Omar. Suara itu seakan pernah didengarnya.
"Ya Allah nak, Athar kenapa?" tanya seorang wanita cantik berhijab berwarna tosca. Sesaat Omar terpesona, detak jantungnya entah kenapa bertalu begitu kencang. Matanya tak ingin beralih dari wajah cantik itu. Dunianya berhenti saat itu juga. Hanya ada dia dan wanita cantik itu.
"Di a anakmu?" tanyanya lembut. Membuat wanita itu menatapnya tajam. Entah kenapa wanita itu memandangnya penuh tanya.
"I... Iya..." sahut si Cantik gugup dan langsung menunduk tak mau mengadu tatapan dengannya.
Jantung Omar berdentam kian nyaring, Omar bahkan takut apabila si Cantik bisa mendengar suara berisik jantungnya.
"Sini, biar saya yang bawa anak saya," ujar si Cantik sambil berusaha meraih tubuh si kecil yang masih nyaman dalam gendongannya.
"Biar saya antar, anak kamu perlu diobati. Saya akan minta obat dulu hmm," jawab Omar penuh kelembutan. Tatapannya hanya terfokus ke wanita di depannya. Dia bahkan tak terlalu memperhatikan bagaimana miripnya wajahnya dengan anak kecil itu.
"Tapi... Saya nggak mau merepotkan," sahut si cantik serba salah.
"Tidak merepotkan, ini juga salah saya. Tadi saya berjalan sambil melamun soalnya," jawab Omar dengan senyuman tersungging di wajahnya yang biasanya irit ekspresi. Wow sekali.
Adam yang memang mengikuti Omar, memandang takjub ke arah keduanya. Senyuman terbit di bibirnya.
Namun tak jauh dari sana juga ada seseorang yang menggeram dengan kesal. Ada banyak setumpuk amarah yang sudah ingin menguar dari rongga dadanya.
Sialan!!! Awas saja Omar! Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa lepas dariku! Tak akan!
Dengan kesal wanita itu pergi meninggalkan tempat itu dengan amarah melingkupinya. Sudah banyak rencana yang siap dia realisasikan untuk membuat posisinya kuat di sisi Omar. Suaminya. Mempertahankan rumah tangga bukannya tugas istri kan? Apa pun caranya... dia akan mempertahankan Omar. Omar hanya miliknya. Milik Nadine.
Dengan laju kendaraan di atas rata-rata dia mengendarai Audi terbarunya. Tak perduli dengan lalu lintas yang ada di sekelilingnya. Dia berada di dunianya.
Sampai di persimpangan, dia tak melihat ada mobil tronton melaju dengan kecepatan yang tak kalah kencang dengannya. Tabrakanpun tak terhindarkan lagi.
Brakkkk
Brakkkk
Dua kali benturan dirasakannya. Dia merasa mobilnya terseret dan terpental. Dia masih bisa merasakan tubuhnya sakit apalagi area kakinya yang tergencet body mobil yang penyok. Seketika kegelapan melingkupinya.
>>>Bersambung>>>