Tania Ayu Diraja, biasa dipanggil Tania. Gadis itu memiliki perawakanmungil dengan tinggi 160 cm. Berbeda dengan sang adik, Nadia yang lebih tinggi lima senti dibanding sang Kakak.
Tania memiliki kulit kuning langsat yang membuatnya pernah didapuk sebagai bintang sabun mandi anak remaja. Sifatnya sangat feminim, berbeda dengan Nadia yang tomboi.
Hidung gadis itu lancip bak perosotan sekolah TK, berbeda juga dengan Nadia yang memiliki hidung minimalis. Gadis itu duduk seraya menyisir rambut hitam sepunggung yang halus. Udara di sekitarnya tampak panas dan membuatnya gerah. Padahal jika ia berada di rumahnya ia tak akan mengalami hal itu karena memiliki pendingin udara.
Kamar kontrakan sempit berukuran 4x4 meter itu bahkan lebih sempit dari kamar yang ia miliki. Namun, demi cintanya pada Hasan ia memilih tinggal di situ dibandingkan harus menikah dengan pria pilihan sang Ayah.
Tania mengingat setahun yang lalu saat bertemu dengan Hasan.
Hari itu dia memakai rok bermotif kotak-kotak selutut, berpadu padankan dengan atasan T-shirt berwarna putih yang dimasukkan ke dalam rok. Tak lupa outfit-nya hari itu dilengkapi dengan tas selempang berbentuk kotak kecil serta mengenakan sepatu flat.
Nadia menemani sang Kakak menghadiri sebuah pembukaan kafe baru. Sejujurnya dia sangat tak percaya diri jika bersanding dengan sang Kakak. Tubuh aduhai bak idol dari Korea itu sangat membuatnya iri. Akan tetapi, sifat tomboi Nadia yang lebih menyukai pakaian laki-laki dan berpenampilan seperti laki-laki itu membuatnya lebih nyaman daripada tampil seperti perempuan.
"Kita mau ke mana sih, Kak?" Tanya Nadia.
"Udah ikut aja, Kakak mau ketemu calon gebetan, tau!" Seru Tania.
Mereka berdua adalah idola para pria sebenarnya. Nadia idola di sekolahnya karena sembilan puluh persen murid di sana adalah pria. Sedangkan, Tania merupakan idola di kampus. Berbeda dengan kepribadian Nadia, Tania memiliki kepribadian yang ceria dan mempunyai banyak teman semasa sekolah maupun kuliah.
Siang hari yang cerah serta panas terik tak menyurutkan tekad Tania untuk mengajak Nadia menuju sebuah pertunjukan musik di sebuah kafe yang baru saja di buka dan memiliki banyak pengunjung.
Di dalam kafe yang penuh dengan lukisan bertemakan tentang anak muda itu, hadis itu mengikuti sang Kakak yang masih berdecak kagum memandangi lukisan. Mereka juga memesan steak daging sapi dan kentang goreng dilengkapi dua jus jeruk.
"Nad, lihat deh, bagus ya lukisannya?"
tanya Tania sembari menunjuk lukisan di depannya.
"Biasa aja, Kak, mana aku ngerti urusan kayak gini, lagipula aku yakin kalau Kakak tuh enggak ngerti urusan seni begini."
Nadia mencibir sambil mengarahkan telunjuknya ke arah wajah sang Kakak.
Tak lama kemudian, seorang pemuda gagah berdiri di hadapannya. Wajahnya terlihat seperti pria keturunan Timur Tengah.
"Hai, Tania! Apa kabar?" tanya seorang pria tinggi berbadan tegap, rambut berwarna hitam dengan hidung mancung memakai kacamata merk terkenal itu hadir di hadapan keduanya.
"WOY... !" teriak Nadia sambil menampar pipi Tania pelan karena sedari tadi sang Kakak tak berhenti berkedip menatap pria tersebut seperti terkena sihir.
"Aww, sakit, Nad!" pekik Tania lalu menoleh ke arah pria di hadapannya itu.
Tanda-tanda Tania mulai menyukai pria ya seperti itu menurut Nadia. Biasanya kalau sikapnya seperti itu pastilah gadis itu jatuh cinta karena Tania merupakan gadis yang mudah untuk jatuh cinta tapi tak berani untuk mengungkapkan.
Toh semenjak saat itu, Tania berhubungan dengan Hasan. Bahkan gadis itu merasa kalau pria tersbut adalah pelabuhan terakhir baginya.
Suara ketukan terdengar di pintu kontrakan yang sempit itu menyadarkan Tania dari lamunannya saat bertemu dengan Hasan untuk pertama kalinya. Gadis itu bangkit lalu membuka pintu tersebut.
"Sayang, kok wajah kamu panik, gitu?" tanya Tania pada Hasan yang baru saja sampai. Di tangannya tergenggam dua bungkus nasi goreng.
Tania segera meraih dua piring plastik dan dua sendok beserta sebotol air putih untuk dirinya dan Hasan.
"Tadi aku ketemu sama Nadia, dia hampir aja ngejar aku ke sini," ucap Hasan menjelaskan.
"Nadia? Di mana kamu ketemu dia?"
"Di depan Bank Negara, dia lagi mau makan bakso, tapi dia bawa tas ransel, mau ngapain ya, jangan-jangan dia mau cari kamu lagi," ucap Hasan sembari mengunyah nasi goreng tersebut.
"Hmmm… mungkin disuruh sama Ayah, dia kan anak Ayah banget," ucap Tania.
"Atau jangan-jangan dia kabur," tukas Hasan.
"Kabur? Mau ngapain dia kabur, Nadia itu anak kesayangan Ayah, dia enggak akan ninggalin Ayah, sementara aku selalu aja jadi tumbal selepas Bunda meninggal."
"Kok, kamu gitu ngomongnya?"
"Emang iya, Ayah itu selalu aja membela Nadia, makanya aku iri sama Nadia yang selalu jadi kesayangan Ayah."
"Udah cup cup jangan kesel lagi, sekarang kamu habisin dulu makanan ini, yang penting sekarang kamu jadi kesayangannya aku."
Hasan memeluk tubuh ramping nan molek milik Tania. Bahkan setelah selesai makan malam itu, pria itu dengan mudahnya merayu Tania agar menuruti keinginannya malam itu. Gadis itu bahkan pasrah dan membiarkan segalanya terjadi karena yakin Hasan merupakan pria terakhir baginya. Dia juga yakin kalau ia akan menikah dan membina rumah tangga bersama Hasan.
*
Di rumah besar keluarga Khan, pengusaha kain nomor satu di Kota Bulan Biru. Tuan Aryan menatap tajam ke arah para asisten rumah tangga di hadapannya. Seseorang membuat kesalahan karena menghilangkan pena hitam miliknya.
Pena tersebut merupakan pemberian dari wanita yang bernama Aneke, mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya demi mengejar karier sebagai model internasional di Paris.
"Bagaimana jika saya membeli pena hitam yang baru?" tanya Pak Hendrawan menawarkan bantuan.
Aryan tak menjawab. Ia hanya melemparkan tatapan tajam yang menusuk ke arah pria di hadapannya itu. Pak Hendrawan tau kalau ucapannya barusan itu salah. Ia lalu kembali ke hadapan para pelayan.
"Siapa di antara kalian yang menghilangkan pena hitam tersebut?" tanya Pak Hendrawan.
Kesepuluh pelayan tersebut saling bertatapan dan menggelengkan kepala bersamaan. Mereka benar-benar tak tahu bagaimana bisa pena itu bisa hilang.
Tuan Aryan bangkit dan berdiri melangkah menuju anak tangga hendak menuju kamarnya.
"Kau tau kan, apa yang harus kau lakukan?" ucap sang majikan itu.
"Tapi, Tuan, mereka ada sepuluh orang, haruskah—"
Tatapan tajam milik Aryan itu sudah menjawab pertanyaan pria tersebut. Tuan Aryan berlalu menuju kamarnya. Pak Hendrawan menarik napas panjang dan menghela berat.
"Baiklah, maafkan aku, tapi kalian semua dipecat, silahkan hubungi Ibu Melani untuk mengurus gaji kalian," ucap Pak Hendrawan.
"Tap-tapi, Pak Hendrawan..."
"Kalian tau jika kalian membantah atau bersikeras, yang kutakutkan nanti malah yak ada uang gaji untuk kalian," ucap Pak Hendrawan lalu berlalu dari hadapan para pelayan tersebut.
*
To be continue…