Nadia berhasil kabur dari rumah. Ia berlari melewati lorong jalan yang sempit sambil kebingungan. Tujuan gadis itu bersembunyi dari kejaran Ayah dan Pamannya. Ia sungguh tak menyangka kalau sang ayah tega menjualnya seharga lima milyar agar dinikahi bos pemilik konveksi terbesar.
“Kalau Kak Tania nikah mah pantes umurnya udah dua puluh lima tahun, lah aku baru delapan belas tahun, mana nikahnya sama om-om, belum lagi kalau om itu tua bangka yang usianya sama kayak Ayah yang usianya udah lima puluh tahun lebih, iyuuuhhh…” gumam Nadia sampai tak sadar ia menabrak tiang listrik di hadapannya.
Bruk!
Dahi gadis itu memerah dan benjol seketika.
“Duh, sakit!” gadis itu mengusap dahinya yang memerah.
Nadia membenarkan kacamata hitamnya, ia berusaha menutupi wajah bertampang pas-pasan yang berlesung pipi itu agar tak dikenali. Selendang warna hitam ia tudungkan menutupi rambut hitam yang bergelombang sebahu. Ia sedang berada dalam mode penyamaran.
Gadis itu memasuki sebuah pasar tradisional yang ramai. Tubuhnya yang ramping nan mungil mampu membuatnya berdesak-desakan dengan mudah mencari pintu ke luar lain dari dalam pasar.
Nadia menggendong sebuah tas ransel hitam bergambar siluet kucing berisikan beberapa pakaian dan buku tabungan almarhum ibunya. Padahal ia sudah berjanji akan menggunakan uang tersebut untuk pendidikannya di perguruan tinggi nanti.
"Bunda, maafin Nadia ya,” lirih gadis itu seraya menyeka bulir bening yang tak terasa jatuh di hidung kecilnya itu.
Perut gadis itu tiba-tiba berbunyi dan terasa amat perih, "Duh laper lagi."
Gadis itu menoleh pada tukang bakso di seberang sebuah bank yang tadinya hendak dituju oleh Nadia. Kaki rampingnya melangkah pasti menuju gerobak bakso berwarna biru itu.
"Bang, bakso campur satu, ya," pinta Nadia seraya menunjukkan jari telunjuknya.
"Beres, Neng," sahut si pedagang bakso tersebut.
"Bang, bagi api dong!" pinta seorang pemuda mengenakan jaket hitam bertudung.
Celana jeans belel yang pria itu kenakan cukup membuat hidung Nadia merasa tak nyaman. Bau apek menggelitik ke rongga hidung yang langsung membuatnya merasa mual.
“Ini orang bajunya bau banget ih, antara gak mandi atau bajunya gak dicuci selama satu minggu hiiyy...,” batin Nadia.
Gadis itu berusaha mengamati wajah si pemuda tersebut, tapi tak bisa. Pria itu duduk di hadapan Nadia ia turunkan masker yang ia kenakan.
“Abang Hasan? Kamu Abang Hasan, kan? Pacarnya Kak Tania?” tunjuk Nadia ke arah pemuda tersebut.
Pria yang bernama Hasan itu sontak saja langsung ambil seribu langkah untuk menghindari Nadia ketika dikenali.
“Woi! Bang Hasan tungguin!” teriak Nadia yang hendak mengejar pria tersebut tapi tak jadi karena lengannya di tahan oleh si tukang bakso.
"Neng, jangan kejar! Neng, kan perempuan, kalau Abang tadi itu preman sini, duh serem atuh kalau sampe Neng diapa-apain preman," ucap si tukang bakso mencegah Nadia mengejar pria tadi.
“Tapi, Bang. Kakak saya tuh kabur dari rumah dan dia itu pacar Kakak saya makanya saya mau cari keberadaan Kakak saya sama dia,” ucap Nadia.
“Jangan deh, Neng. Abang saranin jangan berurusan sama preman itu, Abang denger-denger tuh dia pengedar narkoba,” bisik si tukang bakso.
“Hah, terus kabar Kakak saya nanti gimana?”
“Lapor polisi aja, Neng, duduk dulu nih baksonya.”
Tukang bakso itu meletakkan mangkuk di meja yang ada di hadapan Nadia.
“Haduh... enak banget ini wangi baksonya saya makan aja lah dulu," ucap Aliya lalu duduk kembali berusaha menikmati bakso di hadapannya.
Ia harus mengisi perut dulu seraya berpikir. Toh, ia yakin Kak Tania pasti baik-baik saja. Sekarang yang harus dia pikirkan adalah dirinya sendiri yang sudah menjadi tuna wisma agar bisa bertahan hidup sendirian.
*
Nadia memasuki sebuah bank swasta di kotanya yang terlihat cukup luas dan besar.
"Bisa dibantu, Dek?" tanya seorang petugas keamanan pada Nadia.
"Ummm… saya mau ambil tabungan, Pak," sahut Nadia.
“Adek ke sana, lalu silahkan ambil nomor antrian, nanti tunggu nomornya dipanggil teller, ya," ucap Pak Penjaga.
"Oke, makasih, Pak!"
Tubuh mungil Nadia beranjak menuju mesin pengambilan nomor secara otomatis. Setelah mendapatkan nomornya, tiba-tiba perut Aliya terasa mulas.
"Duh, harus cari toilet, nih!"
Gadis itu menoleh ke kanan dan kirinya, kedua bola matanya memindai dengan cepat mencari tanda pemberitahuan yang bergambar toilet.
"Nah, ketemu, toiletnya sebelah sana!"
Karena terlalu panik saat berlari, rupanya Nadia salah masuk kamar mandi. Ia memasuki toilet pria tanpa menyadari kloset di depan cermin yang berbeda. Gadis itu langsung masuk ke sebuah bilik yang kosong untuk menunaikan panggilan alamnya segera.
"Ah... leganya, untung sepi."
Nadia mem-flush toilet yang baru ia gunakan tersebut. Namun, sebelum ia keluar ia mendengar seorang pria yang bergumam kesal dari balik pintunya.
“Dasar cewek sialan, bisa-bisanya dia bawa minuman soda ke dalam bank dan menumpahkan airnya ke kemejaku seperti ini,” gumamnya.
Aduh, kok ada cowok di sini, wah kurang ajar nih, jangan-jangan mereka sengaja masuk kamar mandi cewek mau berbuat kurang ajar,” batin Nadia.
Ia mencoba membuka pintu toilet itu perlahan untuk mengintip. Seorang pria bertubuh tinggi dan tegap sedang mencoba membersihkan noda kemejanya dengan air keran.
Tak lama kemudian terdengar seorang pria masuk ke dalam toilet tersebut. Pria berkacamata dengan rambut mulai memutih itu membawakan si pria kemeja yang masih terbungkus rapih.
“Tuan, ini kemeja baru untuk ganti,” ucap pria satunya.
“Hmmm…”
“Sulit sekali rasanya mendengar Anda mengucapkan kata terima kasih,” ucap pria satunya itu.
“Pak Hendrawan, apa kau mau dipecat?”
tanya pria yang mulai membuka kemeja kotornya itu.
“Tidak, Tuan Aryan, saya kembali ke kantor Pak Wirya untuk mengurus rekening baru milik Tuan.”
Pria bernama Hendrawan itu lalu pergi.
“Eh, bentar, apa jangan-jangan aku yang salah masuk toilet, ya?” batin Nadia yang akhirnya sadar kalau ia salah masuk toilet.
Tuan Aryan sudah bertelanjang d**a di depan cermin. Perut kotak-kotaknya terpampang nyata di hadapan Nadia. Gadis itu menelan air liurnya dengan berat. Ini kali pertama ia melihat tubuh seorang pria atletis yang sempurna di kedua bola mata gadis itu yang berwarna cokelat.
Rasanya ingin berteriak dan mengulurkan tangan sambil berjingkrak-jingkrak layaknya seorang fangirl yang baru saja ditunjukkan abs idolanya dari atas panggung. Nadia menutup mulutnya dengan telapak tangannya rapat-rapat. Bahkan ia menggigit ujung punggung jari telunjuknya sendiri dengan gemas.
Pria di hadapan cermin itu sempat menoleh ke kanan dan kirinya sebelum mengenakan kemeja putih barunya.
"Kok, aku merasa ada yang sedang mengawasiku, ya?" gumamnya.
Tuan Aryan lalu melangkah menuju tiap bilik toilet untuk memastikan tak ada siapapun di dalamnya.
“Haduh, mati aku!” batin Nadia.
Tubuh gadis itu mulai gemetar ketakutan.
*
To be continue...