PART 13

1364 Kata
“Ayang, ngapain?” “Baru pulang hon, dari kampus. Bentar lagi sidang skripsi terakhir, dan abis itu wisuda deh” “Seneng dong kamunya” “Iya dong. Kenapa?” “Sabtu ini, kak Hana lamaran. Kamu dateng yah. Mereka pengen ketemu kamu” “Ah serius. Aku malu hon. Aku juga takut mereka mikir tentang hubungan kita” “Gak kok, mereka support kok. Nyante aja. Please. Kemarin kan kamu ga bisa hadir di acara ulang tahun aku. Sekarang gak pake alasan lain ya, aku ngambek nih” “Ehm, liat nanti deh. Aku mikir dulu” “Gak usah mikir, ada aku. Kalo mereka marah, aku yang akan belain kamu. Serius. Walaupun itu gak mungkin, mereka itu suka apapun yang aku suka.” “Iya, oke. Jam berapa biar aku bisa siap-siap” “Jam 1 siang, aku jemput kamu jam 11. Sebelum rombongan calonnya kak Hana dateng, kita udah harus siap-siap?” Tiba hari pertunangan Kak Hana, kakak keduaku. Dia bertunangan dengan sesama dokter, tapi lebih tua dari dia. Mereka emang udah lama pacaran sekitar lima tahun lebih, lumayan lama. Tapi karena kesibukan mereka bener-bener bertemu saat hari spesial aja. Aku udah siap dengan kemeja batik lengan panjang, celana kain hitam dan sepatu pantofel hitam menjemput kamu di rumah. Saat aku tiba di rumah ternyata kamu masih sementara siap-siap dan aku terpaksa masuk ke rumah kamu. Pertama kali aku ketemu orangtua kamu. Deg-degan cuy. Serasa aku yang lamaran deh. Lagian gak salah sih, selama ini aku gak sopan banget jemput kamu depan rumah aja. “Selamat pagi menjelang siang…om” sapaku saat Ayahmu membuka pintu. Bingung juga ini kan jam setengah 11, pagi gak terlalu pagi, siang juga belom. “Oh pagi. Silahkan duduk” sapa Ayahmu mempersilahkan aku duduk. Gaya santainya di rumah yang mengenakan baju kaos putih dan sarung. Aku duduk berhadapan dengan dia. Aku terpaku pada foto yang terpajang di dinding. Ternyata bapak kamu tentara. Astaga kenapa aku baru sadar sekarang. Rumah kamu ini berada di kawasan komplek rumah tentara. “Kamu apanya Rindu? Kamu terlihat lebih muda untuk menjadi anak kuliahan” tanya ayahmu melihat penampilanku dari ujung kaki hingga ujung rambut. “Eh…saya…saya…adek sepupunya Anggi om, eh pak…” jadi gagap aku “Kebetulan saya disuruh jemput, jadi jemput Kak Rindu dulu baru deh jemput Kak Anggi, begitu pak” “Oh iya, baliknya kamu anterin gak?” “Iya pak, pasti. Saya antar sampai pulang dengan selamat” “Ya udah,” jawabnya mengangguk mengerti. “Bu, buatin minum” teriaknya ke arah dapur. “Eh gak usah pak. Soalnya takut telat ke acaranya, takut macet” padahal aku aja udah takut banget ngomong dengan ayah kamu “Eh Eza, sori yah lama nunggunya,” sapamu keluar dari kamar. Gak sia-sia kamu aku tungguin, kamu memakai kebaya hitam yang kontras banget dengan kulit kamu dan rok batik sebetis. Sumpah cantik banget kamu. Kamu adalah karya seni dengan kearifan lokal. Gak salah sih aku mencintai produk Indonesia. “Iya gak papa kok” “Bapak, kami berangkat dulu yah,” ucapmu mencium tangan ayahmu aku juga ikutan salim. “Permisi pak” ijinku. “Kamu gak gandeng aku gitu,” bisikmu yang berjalan di sampingku “Kamu mau aku ditembak sama ayah kamu. Pasti dia masih liatin kita deh. Buruan ke mobil” ucapku. “Kak Rindu, sepupu Anggi…sepupu darimananya kamu” ledekmu. “Ngeledek kamu yah, kamu gak tahu aku tuh udah grogi banget di depan ayah kamu.” “Hahaha…rasain.” “Kamu kenapa sih, gak konsen amat nyetirnya. Awas nabrak” tanyamu heran. Apalagi liat aku yang sering menoleh ke arah kamu. “Gak, kamu cantik banget sih” “Kemaren gak?” “Selalu lah, bangun tidur aja kamu cantik.” Jawabku lugas. Aku tahu karena kita biasa vcall-an saat kamu baru bangun pagi.  “Serius, kita kayak yang lamaran deh” “Iya kamu juga ganteng gaya kayak gitu. Agak dewasa gitu,” pujimu. Aku hanya tersenyum dan kembali menyetir mobil hingga tiba di rumahku. “Ayang, Yuk turun” “Aku gugup hon” “Gak kok, mereka baik” Setelah meyakinkan kamu, kamu menggandeng lenganku masuk ke rumah. “Assalamu alaikum,” sapaku. Ayah dan Kak Icha sudah berkumpul di ruang tengah lengkap dengan keluarga kecilnya. Kak Hana mungkin masih sementara di make-up di kamarnya. “Wa alaikum salam,” balas mereka bersamaan. “Hai, sini masuk,” Kak Icha menghampirimu. “Perkenalkan aku kakak tertua Zlatan. Nama aku Nafizah, biasa dipanggil Icha” “Aku Rindu Asmarani kak.” “Nama kamu bagus deh,” puji Kak Icha. “Yuk duduk, aku perkenalkan. Ini suami aku mas Ryan, ini anakku yang pertama Abidzar dan yang kedua Khaira” “Salam kenal tante. Pacarnya om Eza yah,” tunjuk kedua anak kak Icha ke arahmu. Mukamu langsung bersemu merah. “Hust…kalian tuh bocah ngomong pacaran-pacaran,” tegur Kak Icha ke anaknya. Giliran Ayah yang masih menatap kita berdua. Aku berinisiatif untk salim ke Ayah dan kayaknya kamu ngerti kode aku. Kamu ikutan salim. “Ini yang sering dirindukan Eza yah,” ledek Ayah. “Ayah, jangan bikin Rindu malu gitu Yah,” tegurku. Aku sih lihat kamu salah tingkah gitu. “Hahaha..ya udah. Duduk nak, anggep aja rumah sendiri. Biar terbiasa nantinya,” kode banget sih Ayah. “Eh aku liat Hana dulu deh ke kamar, bentar lagi kan calonnya Hana dateng. Yuk Rindu, kita temuin Hana di kamar” “Oh iya kak,” kamu ijin dengan tatap matamu, aku mengerti dan mengangguk. Aku menemani ponakanku dan Mas Ryan duduk di lantai berkarpet sedangkan Ayah mengobrol dengan keluarga yang dateng. Gak banyak orang sih, hanya keluarga dan tetangga terdekat. Soalnya baru lamaran juga. Apalagi denger-denger kak Hana, ini hanya tunangan doang. Pernikahannya dilaksanakan saat Kak Hana selesai koas. Calon mertuanya yang desak dia, biar mereka ada ikatan. Takut kak Hana dan anaknya putus kali. Kamu sudah keluar bersama Kak Icha dan Kak Hana. Kak Icha diapit oleh kalian berdua. Sepertinya sih kedua kakakku sudah nyaman dengan kamu. Kamu juga gak secanggung tadi saat kita tiba di rumah. Gak mungkin mereka nolak pilihanku, karena kamu tuh punya kepribadian yang menarik dan  gampang banget bersosialisasi dengan orang. Terutama karena kamu juga cantik, itu sih poin plus sebenernya. Kapan lagi aku bisa dapet calon istri kayak kamu. Jam satu siang rombongan calon Kak Hana tiba, dengan membawa beberapa seserahan. Aku sih udah ngapalin ini semua, anggep aja latihan buat kita nanti menikah. Setelah saling memperkenalkan diri antara kedua keluarga, Kak Hana dan Kak Dimas saling bertukar cincin, aku diam-diam mengenggam tanganmu. Kamu tersentak, dan menunduk. Malu kali ya. “Kita nanti kayak gitu kan,” bisikku di telingamu.kamu hanya menangguk malu. Lihat gitu, aku terus terang ingat mamaku. Aku meninggalkan kamu berdua Kak Icha. Aku ke taman belakang rumahku. Aku malu sama kamu lihat mataku berkaca-kaca. Kak Hana anak yang paling disayang Mama, emang sih Mama sayang kami semua. Tapi karena Kak Icha kaka pertama, dan aku anak laki satu-satunya. Ayah tuh kayak ngasih perhatian lebih dan memanjakan kami. Karena itu, ibu memberikan kak Hana kasih sayang lebih menurut kami, tapi pasti orang tua gak berniat seperti itu. Orang tua pasti menyayangi semua anaknya. Aku aja yang sayang banget sama Mama, sering protes karena  Mama perhatian banget sama Kak Hana. Waktu kecil aku sering bertengkar dengan Kak Hana, gak pernah akur. Beda Kak Icha yang sayang banget sama aku dari kecil hingga besar kayak gini. “Hei, kamu disini,” tegurmu menghampiriku. “Kenapa?” “Kamu dicariin tuh. Kamu kenapa. Kok sedih gitu?” tatapmu melihatku mungkin dengan mata yang sedikit memerah. “Gak, aku kangen Mamaku” “Sini kamu” ucapmu merentangkan tanganmu ingin memelukku. Aku menghampirimu dan memelukmu. Aku sedikit menunduk agar daguku bisa bersandar di bahumu. “Kamu tuh disayang banget sama semua orang. Mama kamu udah tenang disana. Sekarang tugas kamu bahagiain orang yang sekarang masih ada disampingmu, termasuk aku. Ada aku buat tempat kamu berbagi cerita, senang maupun sedih. Kita hadapi bersama,” ucapmu menyemangatiku. Aku jadi lega banget. Aku emang bersyukur ada kamu disisiku. Semoga untuk selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN