Pas sekali bahwa hari ulang tahun Dinda berada di tanggal kerja. Jadi seusai pulang sekolah ini, laki-laki itu sudah siap untuk membuat kemeriahan di rumahnya. Karena bundanya yang bekerja, tak perlu Arya mengendap-endap ataupun hanya menunggu saat yang tepat. Terlebih, seusai kerja Dinda tetap akan selalu sibuk. Beliau hanya akan tertidur, saat Arya sudah sedang tertidur di rumahnya.
Bahkan terkadang Arya langsung memilih tidur seusai makan malam. Sehingga sudah pasti bundanya akan ikut tidur. Namun, sering kali pula Dinda malah tetap terjaga karena pesanan catering yang didapatinya. Dan saat itulah, Arya memilih untuk menemani bundanya. Biasa duduk di kursi meja makan, atau di sofa ruang keluarga. Anak itu akan menatap bundanya yang tengah berkelut dengan berbagai bahan dan alat masak di dapur. Lampu yang mulai temaram dan suara televisi yang dibiarkan menyala, adalah suasana yang menyenangkan. Arya akan mengisi ketenangan itu dengan suaranya. Bercerita mengenai banyak hal, dan kemudian mulai mengantuk dan tertidur.
Arya selalu menawarkan bahwa dia sangat ingin membantu. Namun, selalu pula Dinda menolaknya. Beberapa kali menyuruh putranya itu untuk belajar atau tidur saja. Dan jika Arya tetap bersikeras, maka Dinda akan mengalah dan membiarkan putranya itu membantu. Ya, membantu sedikit dari semuanya. Dinda begitu membatasi, sampai membuat Arya heran sendiri.
Arya sudah besar. Bahkan tingginya menjulang lebih dari bundanya. Laki-laki itu dewasa, terbukti dengan sudah ada banyak perempuan yang tertarik akan dirinya. Tapi, ingin membantu bundanya membuat kue saja tidak boleh. Padahal itu tidak akan melukainya, sungguh.
Arya teringat akan satu hal begitu dirinya hendak keluar— setelah makan siang dan kepulangan sekolahnya.
Di rumahnya hanya ada satu motor, dan itupun digunakan Dinda untuk bekerja. Lantas, sekarang bagaimana?
Jika toko swalayan luas itu berada di depan gapura, maka Arya rela berjalan kaki atau bersepeda. Namun, masalahnya adalah— letak toko yang lebih jauh dari gapura kampung.
Masa iya jalan kaki? Itu pemikiran yang sangat konyol.
Mana laki-laki itu sudah siap dengan jaketnya lagi. Lalu rambutnya yang telah tertata rapi dengan celana jeans yang selalu menambah pesona kedua kaki panjangnya.
Arya menghela napas. "Nasib, nasib."
Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Menggulirkan ratusan nomor dengan malas— dia bingung ingin meminta bantuan pada siapa.
Gavin? Laki-laki berbadan besar itu sangat dapat diandalkan. Dia akan melakukan semuanya, apalagi yang hanya meminjamkan motor. Namun, hari ini orang yang dibutuhkan Arya itu lagi sibuk. Bercengkrama dengan teman-temannya seperti biasa.
Rehan? Sama saja. Dipastikan ikut-ikut dengan Gavin.
Bagas? Tidak. Meskipun Bagas sangat dan sangat baik, melebihi dirinya sendiri, tetapi saat ini dia tidak dapat membantu. Baiklah. Bagas hanya tinggal menetap di sini, di rumah pakdhe dan budhe-nya. Jelas Bagas tidak mempunyai motor. Namun, mas-nya dan pakdhenya pasti punya. Hanya saja Arya tidak akan berani meminta bantuan. Dia selalu tidak enak pada Bagas, entah mengapa. Mungkin karena sifat kaki-kaki itu yang kelewat lembut dan baik. Terlebih saat ini Bagas sendiri seperti memiliki masalah pribadi.
"Rafli kali, ya?" Arya bergumam. Dirinya sudah sampai tepat di depan pintu rumah yang masih tertutup. Tangannya terulur menggenggam gagang pintu, tetapi tidak menariknya. Seolah masih betah berdiri dengan tatapan fokus pada layar ponsel.
"Gak, lah." Arya menggeleng kuat-kuat sedetik setelahnya. Rafli kini bertingkah jauh lebih menyebalkan, membuat emosi Arya kian naik. Saat kecil pun, tak jarang keduanya bertengkar. Pertengkaran itu akan berhenti saat salah satu di antara mereka menangis.
Dering telepon membuyarkannya. Arya langsung menatap ke arah layar. Di antara dua pilihan: merah dan biru. Profil dan namanya terpampang. Profil perempuan cantik dengan rambut sebawah bahunya yang lurus, tersenyum mengejek ke depan. Di bawahnya sebuah nama tertera; 'Vidya'
Arya mengangkatnya.
Dia tidak akan pernah mengeluarkan kalimat duluan, sebelum lawan bicaranya. Bahkan dengan bundanya sekalipun. Seolah harus lawan peneleponnya yang harus mengatakan tujuan lebih dulu.
"Lo angkat telepon gue?" Suara di seberang terdengar cukup terkejut.
Arya mengangguk meski tahu Vidya tak akan melihatnya. "He'em."
"Wah, langka. Gue kira lo bakal matiin atau biarin, sih. Kayak yang lalu-lalu. Eh, gue cuma pernah nelepon lo sekali, deng." Suaranya sangat khas, meski tidak senyaring atau sebesar Billa.
"Lo iseng nelepon gue?" terka Arya, yang kemudian jawabannya adalah; Vidya terkekeh di seberang.
"Maaf." Begitulah suara setelah beberapa kekehannya. Aura positif dan kesenangannya mengalir hingga sini.
"Yah, cuma gabut gue! Gak usah sok-sokan!" Kemudian nadanya seolah membela. Padahal Arya belum menyalahkan Vidya sama sekali.
Arya menghela napas. Sepertinya memang Vidya lah yang bisa menolongnya. "Vid, lo ada waktu gak?"
Hening pembicaraan telepon di telepon itu. Sampai suara Vidya hanya membeo, "Haaa?"
"Lo ada waktu gak?"
"Oh ...."
"Ya ada, dong! Ada, ada!"
Arya tersenyum tipis, dan mungkin di ujung sana Vidya dapat merasakannya. "Sekarang. Bisa gak?"
"Bisa, dong, Arya! Tunggu, ya!"
"Jangan lupa bawa motor." Setelahnya Arya memutuskan sambungan telepon itu. Kemudian memasukkan ponsel kembali ke dalam saku celananya. Tangan yang sejak tadi hanya menggenggam gagang pintu, kini bergerak membuka pintu tersebut. Arya berdiri dan menutup kembali pintunya setelah merasa tak ada lagi yang tertinggal.
Tak lama kemudian motor masuk ke dalam pekarangan rumahnya dengan Vidya sebagai pengendara. Dia turun dan melepaskan helm, sementara Arya turun dari teras— berjalan mendekatinya.
"Waaah ...." Vidya menampakkan raut wajah tidak percayanya. Ekspresi yang terlalu berlebihan bagi laki-laki itu. Gambaran Vidya saat mengangkat saluran telepon pun, mungkin hampir mirip seperti ini.
"Pinter, lo, Yak!" Dia tersenyum dan menepuk bahu Arya mantap.
Arya mengernyit. "Maksud lo?"
Vidya mencebik. "Ya, pinter milih keputusan, lah. Tau aja kalau gue ini cantik. Jadi masih anggukin ajakan kencan gue yang udah lalu." Perempuan itu tersenyum dengan bangga.
"Oh?" Arya menaikkan kecil salah satu alisnya. Kemudian ujung bibirnya terangkat. "sok tahu lo."
"Idih! Gue tahu lo gak mau ngaku!" Suara Vidya sangat meninggi di telinga Arya. "terus, gunanya lo rapiin rambut apaan? Mana pake jeans, terus jaketan item, gradasi warna merah lagi. Terus, terus, badan lo kelihatan seger banget. Mana pake parfum macho yang harumnya kebangetan!"
Arya mengabaikannya. Dia hanya menatap wajah Vidya, kemudian menelitinya dari atas hingga bawah. Laki-laki itu baru sadar.
Vidya sungguh tampil cantik saat ini. Dengan pakaian modis dan fashion feminim khas remaja perempuan yang fresh. Rambutnya dia biarkan tergerai hingga bawah bahu. Wah, Arya bahkan sempat terkecoh dengan penampilan perempuan di hadapannya. Sangat tidak menggambarkan Vidya yang suka berbicara dengan nada tinggi dan kasar.
Vidya gelagapan mendapat reaksi tersebut. Begitu tatapan Arya sudah kembali sepantaran dengan wajahnya, Vidya mendesis, "Apaan lo liatin gue begitu?"
"Menurut lo? Dah, cepetan. Entar kesorean. Gue yang boncengin." Arya sudah mengambil helmnya sendiri dan memakainya. Naik ke atas motor, dengan kedua tangannya yang telah menggenggam masing-masing stang.
Lali-kaki itu menatap ke arah Vidya. "Udah pake helm, kan? Ya udah, cepetan naik."
Vidya membentuk bibir dan berucap seolah mengejek. Tapi dirinya tetap naik juga. Kedua tangannya berpegangan pada sisi kanan dan kiri pinggang Arya. Hanya berpegang pada jaketnya, sebenarnya.
Arya langsung melajukan motornya begitu telah berbalik arah keluar dari halaman rumah. Dia akan mengendarai motor dengan kecepatan sedang, meski Vidya di belakangnya berulang kali menyuruh untuk sedikit lebih cepat.
Akhirnya keluar dari gapura kampung, dan dapat melaju di tengah-tengah jalan raya. Menjelang sore, dan keadaan yang sangat padat. Orang-orang balik dari kampus dan kantornya. Arya memikirkan bundanya, tetapi hanya menggeleng pelan.
Dinda pulang lebih larut, wanita itu sudah mengatakan sebelumnya. Jadi, jauh lebih nyaman dan tidak masalah. Arya tidak akan takut dirinya kececeran, hingga akhirnya malah ketahuan sedang mempersiapkan sesuatu.
Masih fokus melajukan motornya, dari balik helm Arya berujar, "kok bisa?"
Melaju pada jalanan yang keramaiannya mulai menurun, Vidya di belakang mendengarnya. Perempuan itu bergerak sedikit mendekat maju. "Hah? Apa, Arya?"
"Kok bisa lo tadi nyebutin detail penampilan gue, bahkan parfum gue."
Vidya tercekat dan terdiam. Dia tidak menjawab ataupun menyanggah hal itu, hanya diam seraya menundukkan kepalanya. Sungguh, Vidya sangat ingin lari dari siatuasi ini. Pokoknya rasanya ingin menjauh, dan menjauh. Saking malunya dan hanya menggigit bibir bawah.