Hamil Anak CEO

1515 Kata
Nara dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Tak ada yang mengantarnya karena peraturan perusahaan tidak memperbolehkan mereka untuk meninggalkan jam kerja sebelum waktunya. Di rumah sakit, Nara terlihat mulai membuka waktu setelah cukup lama tak sadarkan diri. "Anda sudah siuman?" tanya seorang perawat yang kebetulan sedang memeriksanya. "Saya di mana?" Nara terkesiap, lalu bangkit dari pembaringan. Dia memijat kening yang terasa begitu berat. "Anda di rumah sakit, Bu," jawab perawat tersebut. "Ah, iya, tadi saya merasa pusing terus pingsan. Sekarang saya mau pulang, Sus," ucap Nara. "Kalau begitu, temui dokter dulu ya, Bu," sahut Suster tersebut. "Emh!" Setelah selang infus dibuka, Nara pun pergi ke ruangan dokter yang tempatnya tak begitu jauh. "Jadi, apa yang terjadi dengan saya, Dok? Apa penyakit saya serius?" tanya Nara tampak cemas. Dokter tersebut hanya tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan Nara. "Apakah akhir-akhir ini ada mual, muntah, kurang selera makan, badan terasa tidak enak, pusing yang tak kunjung hilang, pagi hari terasa lebih berat?" "Ya, benar, bagaimana Dokter tau?" Nara menjawab sekaligus heran. "Apa Anda telat datang bulan, Bu?" tanya Dokter kembali tanpa menjawab pertanyaan Nara. Nara tertegun sesaat, lalu menjawab setelah mengingat beberapa detik, "Sepertinya, Dok. Mungkin karena terlalu stres banyak kerjaan." "Tapi bukan itu penyebabnya, Bu.” “Terus apa, Dok?” Nara mulai ketakutan. Sebenarnya dia sudah bisa menebak saat sang dokter mulai mengulas senyuman. Namun, dia tidak ingin mendengar apa yang akan dokter katakan. “Jangan bilang saya ….” "Selamat atas kehamilannya ya, Bu. Saat ini, kandungan Anda sudah masuk usia 5 minggu! Jadi, pesan saya Anda jangan terlalu capek dan kelelahan, ya," ucap dokter tersebut. Mendengar diagnosa sang dokter, dunia Nara seketika hancur. Dia tak tahu harus merespon seperti apa kabar tersebut. Senang? Tentu tidak. Sedih? Pastinya, tetapi bukankah itu konsekuensi yang harus dia hadapi. "Bagaimana ini?" *** Nara berdiri di depan pintu apartemen Kaizar. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Namun, bukan Kaizar yang membukakan pintu melainkan Dimas–asistennya. Pria yang meminta Nara mengantarkan berkas ke apartemen Kaizar karena dirinya terhalang urusan keluarga. "Emh, Nara?" Dimas terkejut saat Nara datang dengan wajah pucat dan penampilan terkacaunya. "Apa Bos ada?" tanya Nara, parau. "Bos? Ada, dia sedang mandi," jawab Dimas. "Masuklah!" Dimas mempersilakan Nara untuk masuk ke apartemen Kaizar. "Siapa yang datang?" Kaizar yang baru selesai mandi dan bersiap untuk meeting kecil bersama asistennya itu seketika terkejut, ketika ekor matanya melihat Nara lah yang datang. "Kamu? Bukankah kamu sedang cuti sakit? Kenapa datang kemari alih-alih datang ke kantor untuk bekerja?" Kaizar langsung mengatakan hal yang semakin membuat Naya merasa geram. "Ada yang ingin saya bicarakan, Bos," ungkap Nara. "Baiklah, katakan!" tukas Kaizar dengan entengnya. Nara tampak ragu karena ada Dimas di sana. Kaizar pun tampak memahami itu. "Katakan saja, apa maumu? Kamu tenang saja Dimas bisa kamu percaya," ujar Kaizar, lalu dia mengambil teh yang telah disiapkan Dimas dan mencoba meminumnya. "Saya hamil!" celetuk Nara. Teh yang nyaris tertelan itu menyembur dengan spontan ke wajah Dimas. "Aish!" desis Dimas seraya mengusap wajahnya yang basah karena ulah bosnya. "Kenapa kamu hamil mengatakan pada Bos Kaizar? Harusnya kamu datang ke rumah pacarmu dan meminta pertanggung jawabannya," sahut Dimas, masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Iya, saya memang ingin meminta pertanggung jawaban dari orang yang menghamili saya," jawab Nara, sorot matanya terlihat tegas menatap wajah Kaizar. "Terus kenapa kamu ke sini?” tanya Dimas bingung. "Jadi, bagaimana? Anda bersedia bertanggung jawab, bukan, Bos?" tanya Nara memastikan. "Hah? Bos? Kamu gila?" Dimas terdengar memarahi yang menurutnya berkata sembarangan. "Sial!" Kaizar tak bisa berkata apa-apa. Pria itu tahu jika dirinyalah yang pertama kali merenggut keperawanan Nara. Dimas pun mengalihkan pandangannya pada Kaizar, terlihat pria gagah itu sedang syok sampai kehilangan wibawanya. Buru-buru Dimas mendekati Kaizar dan berbisik dengan penuh desakan. Namun, Kaizar tak berkata apa-apa, dia sedang tidak ingin menjelaskan apa pun pada asistennya. "Duduklah, kita bicara!" Kaizar meminta Nara duduk dan tentu saja Dimas pun ikut. Nara mengeluarkan hasil USG dan menjelaskan jika usia kehamilan dan waktu kejadian malam itu memang sesuai. "Aku menunjukkan ini, hanya untuk menjelaskan jika Anda memang ayah dari janin yang saya kandung," ungkap Nara. "Apa uang itu tidak cukup untuk menggugurkannya? Bukankah ini semua merusak masa depanmu? Kita berdua tahu malam itu hanya sebuah kesalahan!" Kaizar mencoba bersikap rasional. "Saya sempat memikirkan itu, saya pun tau apa yang kita lakukan hanya sebuah kesalahan. Em bukan, lebih tepatnya itu sebuah kebodohan, tapi apakah adil untuk janin ini jika saya tidak memberinya kesempatan hidup? Apa pantas dia menanggung akibat dari kesalahan yang kita perbuat? Tidak, bukan?" jawab Nara, dengan mata berkaca-kaca. Berbeda dengan Kaizar, pria itu tampak kesal karena tidak sependapat. "Lalu, apa rencana kamu? Aku tidak ingin karirku hancur hanya karena anak harammu itu!" tegas Kaizar penuh penekanan. Nara tampak mengembuskan napas pendek, lalu dia menatap Kaizar lekat-lekat. "Saya tau, saya pun sudah menduga Anda akan mengatakan hal ini. Jika begitu, biarkan saya membesarkan dan merawatnya," ujar Nara lalu dia mengeluarkan sebuah amplop yang memang sengaja dia siapkan untuk diberikan pada Kaizar. “Apa itu?” “Ini surat pengunduran diri saya. Saya akan pulang ke kampung halaman saya.” Sejenak Kaizar terdiam. Merasa lega karena keputusan Nara tak merugikannya sama sekali. "Ya, lakukan semaumu, tapi jangan pernah menyeretku atau memerasku dengan kehamilanmu itu!" kecam Kaizar, hatinya bagai batu, keras, dan tak tersentuh sedikit pun. "Tenang saja, saya mengerti!" jawab Nara, lalu dia bangkit dari posisi duduknya. Sebelum pergi, Nara merebut kembali foto hasil USG yang ada di tangan Kaizar. Beberapa detik setelah kepergian Nara, Kaizar masih tidak tenang dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Hal itu terlihat jelas oleh Dimas. "Apa yang ingin Anda lakukan, Bos?" tanya Dimas. "Apanya?" tanya Kaizar balik bertanya. "Bagaimana jika Nara mengungkapkan hal itu pada media, karir Anda akan jauh lebih hancur, Anda tahu?" "Bukankah lebih baik Anda menikahinya? Lagi pula, walau bagaimanapun itu terjadi, dia darah daging Anda, mungkin seorang putra yang nantinya akan menjadi penerus Anda?" Dimas coba menyadarkan bosnya dengan menjelaskan dampak positif dan negatif dari situasi yang dihadapi Kaizar. Mendengar saran dari asistennya, Kaizar tiba-tiba memikirkan sebuah ide yang menurutnya bisa jadi solusi dari masalahnya. Pria itu pun beralih menatap Dimas sebelum memberi perintah, "Kejar dia! Bawa dia kemari! Cepat bawa Nara kemari!" Dengan sigap, Dimas langsung berlari mengejar Nara setelah mengiyakan perintah Kaizar. Tak butuh banyak waktu, sepuluh menit kemudian, Nara sudah berhasil dibawa Dimas kembali. “Ada apa Anda memanggil saya lagi?” tanya Nara merasa kesal karena Dimas tiba-tiba menariknya paksa untuk ikut. "Aku akan menikahimu dengan kesepakatan!" "Kesepakatan?" "Ya! Kita buat kontraknya malam ini juga! Minggu depan kita menikah!" jelas Kaizar merasa yakin jika pernikahan adalah jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah itu. *** Dua minggu kemudian. Kehidupan Nara berubah total dari hanya seorang sekretaris menjadi istri dari Kaizar. Pengusaha muda yang namanya sedang jadi perbincangan di dunia bisnis, bahkan beberapa media juga banyak mengaitkan keberadaan Nara sebagai faktor pendukung atas pencapaian Kaizar. Setelah menikah, Nara tak lagi bekerja. Dia hanya tinggal di apartemen Kaizar. Tempat di mana keperawanannya saat itu direnggut paksa oleh pria yang saat ini menjadi suami kontraknya. "Bos, bisakah sepulang kerja kamu belikan strawberry untukku?" tanya Nara saat mengantar Kaizar berangkat ke kantor. "Tidak!" jawab Kaizar. "Untuk bayimu?" ralat Nara. "Oke!" jawab Kaizar singkat. Nara tersenyum manis, setidaknya pria itu peduli pada janin yang dikandungnya. "Jangan lupa malam ini kita ada makan malam keluarga, gunakan pakaian terbaikmu, jangan mengecewakanku! Mengerti?" "Oke! Lalu, kita juga harus berperan layaknya pasangan suami-istri, bukan?" goda Nara. Kaizar mendelik sekilas, lalu berbalik dan pergi tanpa menjawab. *** Sore harinya, Nara sudah bersiap menunggu Kaizar menjemputnya di apartemen. Dia juga menanti strawberry yang diidamkan. Kaizar pun datang, disambut dengan senyuman Nara yang lebar dan penuh keceriaan. "Aku mandi dan ganti baju dulu, tunggu sebentar!" tukas Kaizar. "Pesananku mana?" tanya Nara. "Aku tidak ada waktu untuk itu!" Tentu saja hal itu membuat Nara benar-benar kecewa. "Berharap apa aku ini?" gumamnya setelah Kaizar pergi dari hadapannya. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah keluarga besar, Nara diam seribu bahasa. Hatinya benar-benar sakit karena Kaizar tak menepati janjinya. Tak lama kemudian, keduanya tiba di mansion tempat mereka makan malam. Seperti yang sudah direncanakan agar tak ada yang curiga, keduanya bersikap layaknya suami-istri yang sebenarnya. "Aku tidak melihat ruam saat kamu dekat denganku?" bisik Nara. "Karena kamu sekertarisku!" jawab Kaizar asal. Keduanya pun disambut dengan hangat, lalu duduk di tempat yang disediakan. "Apa ada hal istimewa? Kenapa makan malamnya kelihatan mewah?" tanya Kaizar pada sang ibu begitu tiba di depan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan awet muda itu. "Ya, hari ini kita kedatangan tamu spesial, Kai," jawab Lidia—ibu Kaizar. "Hmm, siapa? Apa aku kenal?" Kaizar penasaran, terlebih sang ibu tak menyebutkan nama tamu spesialnya. "Nanti juga kamu tahu!" goda Lidia. Kaizar pun kembali mengalihkan fokus pada Nara, kemudian pria itu melihat strawberry sebagai sajian pembuka makan malam tersebut. Senyum Kaizar mengembang saat melihat Nara antusias dengan strawberry-nya. "Hallo, Semua, maaf aku terlambat." Dari arah pintu utama, terdengar suara yang begitu familiar di telinga Kaizar. Pria itu menoleh untuk memastikan. Wajah tampan tanpa ekspresi Kaizar seketika menegang. Senyumnya menghilang saat melihat wanita yang dulu pernah menorehkan luka, kini muncul di hadapannya. "Kirana?!" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN