Jatuh Cinta?

1207 Kata
Bab 8 "Kai, bukankah aku wanita hebat itu?" Kirana duduk di pangkuan Kaizar dan memeluknya dengan erat. Dia sengaja melorotkan tali gaun tidurnya, hingga membuat sebagian dadanya terekspos. "Kyaaa!" Kaizar menjerit, sontak dia menutup mata dengan kedua telapak tangan. Kemudian, bangkit dengan tergesa yang membuat wanita cantik itu terjungkal. Bagian bawah gaunnya tersingkap, paha putih mulus itu tampil dengan begitu liar. Alih-alih tergoda, Kaizar merasa jijik dan ketakutan, bahkan tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. Kaizar berlari secepat kilat setalh kejadian itu, untunglang dia berhasil menukarkan ponselnya. Buru-buru pergi ke toilet untuk memenangkan diri, sembari melihat kalau-kalau ada pesan dari Nara. Sejurus, mata Kaizar membelalak saat melihat begitu banyak notifikasi panggilan tak terjawab dari Nara. Buru-buru dia menelepon, tetapi tak mendapatkan jawaban. "Aish, sial!" umpat Kaizar. Tanpa berpikir lagi, Kaizar pun langsung melesat menuju bandara. Dia tidak menyadari jika ruam merah itu kini mulai menyerang wajahnya. * Setibanya di apartemen … Nara melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki pria yang kini berdiri di ambang pintu. Kemudian, dia mendengkus kasar. Kaizar yang mendapati istrinya tak bersikap seperti biasanya pun hanya bisa mambalas tatapan itu sekilas. "Aku akan mandi? Apa kamu sudah menyiapkan air hangat?" tanya Kaizar. "Ya," jawab Nara singkat. Lagi, Kaizar pun megembuskan napas kasar setelah mendapat respon yang begitu singkat dari Nara. "Ada apa dengannya?" gumam Kaizar, lalu dia melepaskan pakaiannya, dan meletakkan di kasur. Perlahan, Nara pun mengikuti Kaizar ke kamar, dia memunguti pakaian suaminya, bermaksud untuk mencuci. Lagi-lagi, dia mendapat kekecewaan, yang tak bisa membuatnya menepis segala pikiran buruk dalam benak. Sebuah noda lipstik tertinggal di kemeja Kaizar. Nara menggenggam itu erat-erat, menandakan betapa remuk redam hatinya itu. "Apa yang sebenarnya kalian lakukan di belakangku?" gumam Nara. Saat Nara tertegun memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, memikirkan mimpi buruknya adalah suatu pertanda. Kaizar keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melingkar di pinggang. Lalu, dia mengibaskan rambutnya yang basah, membuat cipratan kecil mengenai wajah Nara. Seketika, Nara terhenyak. "Woa!" teriak Kaizar saat mendapati istrinya duduk di kasur dengan mata yang melotot. "Apa yang kamu lakukan di sana?" teriaknya lagi. "Tidak ada!" jawab Nara. Kemudian dia bangkit dari duduk dan bermaksud keluar dari ruangan tersebut. Namun, Kaizar mencegahnya untuk pergi, dia menarik tubuh wanita itu ke pelukannya. "Apa maumu?" tanya Nara. "Kamu harus ingat, kita ini hanya pasangan kontrak! Jangan labil, dan memberikan harapan. Jangan mentang-mentang kamu itu pria kaya, lalu seenaknya mempermainkan hati wanita!" cerocos Nara tak tertahan. "Hah?" Kaizar tercengang mendengarkan istrinya mengoceh seperti itu. Pria itu benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan Nara, dan alasan apa yang membuatnya mengatakan hal menyakitkan seperti itu. Kaizar yang awalnya begitu bersemangat dan ingin berterima kasih, serta mengucapkan rasa syukurnya pada Nara pun urung. Dia melonggarkan dekapannya, dan membiarkan Nara pergi begitu saja. Nara pun pergi tanpa peduli, langkahnya sedikit dihentak-hentakkan, sebab kekesalan menumpuk dalam dadanya. "Kalau dia tak menyukaiku, kenapa dia membawakan makan siang yang begitu lucu dan manis? Bukankah itu merepotkan?" Kaizar pun benar-benar kebingungan. Sebab Nara yang terlihat tak baik-baik saja, dan selalu menghindarinya, Kaizar pun memilih untuk menemui Sean dan berkeluh kesah. Dia memikirkan hal itu saat hendak mengambil minum dan melihat teh yang diberikan Sean bertengger manis di meja dapur. * "Ada apa? Kenapa tengah malam begini kamu menelepon orang, hah?" Sean meninju lengan Kaizar yang kini sedang menikmati minuman kaleng bersoda di sebuah halaman minimarket. Itu adalah tempat favorit keduanya untuk nongkrong sewaktu kuliah. "Sial!" pekik Kaizar. "Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus bertanggung jawab atas semuanya!" geram Kaizar kemudian, seraya menatap Sean dengan tatapan tajam. "Astaga! Kamu menakutiku!" komentar Sean, dia tercengang sebentar lalu duduk di hadapan Kaizar. "Aish! Semuanya gara-gara kamu!" Lagi-lagi Kaizar menyalahkan Sean. "Ada apa? Kenapa? Jelaskan! Dan kenapa dengan wajahmu? Apa jangan-jangan teh daun kelor itu ya?" oceh Sean mencoba menebaknya. "Ada yang lebih gawat dari itu, b******k! Nara, dia tiba-tiba diam padaku!" celetuk Kaizar. "Apa?" Sean tercengang. "Nara, iya, si cerewet itu, dia tiba-tiba diam padaku. Sejak kepulanganku dari Bali, wajahnya selalu cemberut dan irit sekali bicara, dia membuatku tidak nyaman berdiam diri di rumah, sial!" oceh Kaizar, lalu dia mereguk kembali minumannya. "Hahaha, apa kamu juga sejenis suami yang takut istri?" ledek Sean. "Ah, sialan, mana ada aku takut sama Nara, aku hanya heran kenapa dia bersikap seperti itu, padahal sebelumnya, kamu ingat kan, dia membawakan makan siang untukku," jelas Kaizar, kemudian dia menekuk wajahnya, sepertinya pria itu benar-benar terluka oleh sikap Nara. "Kenapa kamu terganggu dengan perubahan sikapnya? Apa kamu mulai nyaman dengan Nara, wanita yang kamu tiduri tanpa sengaja itu, hah?" goda Sean, seraya tersenyum tengil dan menaik-turunkan alisnya. "Hah? Aku? Nyaman dengan Nara? Cih!" elak Kaizar, sembari menunjuk diri dan seolah mencemooh pendapat sahabatnya. "Lantas apa? Kan kamu sendiri yang bilang, jika kamu merasa tidak nyaman dengan sikap Nara saat ini!" tangkas Sean. "Sejak kapan kamu peduli sama orang lain? Bukankah selama ini kamu yang memintanya seperti itu, 'hiduplah seperti kamu tidak ada di dunia ini! Berhenti menggangguku dengan pertanyaan konyolmu, jangan merepotkanku ini-itu dengan alasan permintaan bayi, bla-bla-bla' itu kan yang selalu kamu katakan saat menjawab teleponnya?" papar Sean. "Ya, ya, ya aku hanya—" "Hanya apa? Merasa kehilangan sesuatu? Karena dia tak lagi mencampuri urusanmu, begitu?" terka Sean. "Ya, aku hanya bingung saja, kenapa dia berubah begitu cepat." Kaizar masih mengelak. "Astaga, Kai. Kayaknya kamu lagi jatuh cinta sama Nara. Buktinya, kamu tidur sama dia sampai dia hamil, kamu baik-baik aja. Sekarang, cuma pergi dua malam sama Kirana, ruammu parah, kamu harus pikirkan ulang menjadikan Kirana sekretarismu deh," oceh Sean, "bahaya tahu, enggak." "Kenapa jadi bahas Kiran? Aku kan lagi bahas Nara," tepis Kaizar. "Kalau kamu begitu peduli, sekarang pulang, tanyakan langsung padanya, jangan lupa bawakan makanan kesukaannya," tukas Sean, dengan menepiskan tangan mencoba mengusir Kaizar dari hadapannya. Kaizar ogah-ogahan, dia selalu membayangkan wajah Nara hari ini. Wajah cemberut, yang membuatnya takut. "Astaga, Kai, kamu memang cerdas dalam berbisnis, tetapi tidak ada apa-apanya soal wanita. * Sementara itu, di kamarnya, Nara sedang berswatelepon dengan Winda. Dia pun sama mengeluhkan tentang firasat buruk dirasakannya saat ini. "Aku, aku mendengar Kaizar, memanggil nama wanita itu saat aku meneleponnya. Udah gitu semalaman Kaizar tidak bisa dihubungi. Lebih lagi, semalam aku juga mimpi buruk, Win. Dan juga ada noda lipstik di kemeja Kaizar." Nara merengek pada sahabatnya yang berada di seberanh sana. "Sungguh? Wah dasar pria gila! Harusnya dia itu sadar jika sudah memiliki istri di rumah, b******k banget, sih," umpat Winda, dia ikut kesal karena sahabat karibnya mendapat perlakuan kurang baik dari pria yang menikahinya secara dadakan itu. "Sebenarnya, bagaimana ceritanya kamu bisa menikah dengan Bos Kaizar, Ra. Kamu belum memberiku penjelasan tentang hal ini? Apa yang terjadi di antara kalian, hah?" cecar Winda. Selama ini dia memang hanya tahu kisah karangan yang diposting di media saja. Sebab, Nara sudah berjanji untuk menyembunyikan rahasia itu. "Emh, semua itu sudah dijelaskan media, kan? Kenapa kamu bertanya lagi padaku?" Nara menjawab pertanyaan Winda dengan pertanyaan lagi. Hal itu membuat Winda semakin curiga, yang dia tahu Nara adalah orang yang tak bisa berbohong. "Baiklah, aku akan mempercayaimu kali ini, awas aja kalau sampe bohong," kecam Winda. "Mana ada aku bohong, Win," elak Nara. Padahal hatinya sudah ketar-ketir takut ketahuan. "Nara!" Tiba-tiba saja, Kaizar sudah berada di belakang Nara, dia berdiri mematung di sana entah sejak kapan. "Tu-an kap-an—" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN