Kaizar Gila?

1211 Kata
"Interview?" Nara menyela sekaligus meluapkan rasa penasarannya. "Sebenarnya bukan interview, tapi mulai besok aku akan bekerja di sini," ralat Kirana dengan senyum sinis kemenangan. "Maksudmu?" tanya Kaizar, dia juga cukup kaget dengan kedatangan wanita itu. "Tante Lidia yang memintaku langsung, dan dia memastikan aku akan bekerja di sini tanpa tes tanpa wawancara. Katanya, aku lebih cocok untuk posisi itu karena aku mengenalmu sudah lama. Eh, bukan kenal, melainkan kita sangat akrab," oceh Kirana, sekali lagi dia tersenyum puas seraya sesekali mendelik ke arah Nara. Dengan gemetar Kaizar merogoh saku dan menelepon ibunya untuk mengonfirmasi. "Apa yang ibu lalukan?" Kaizar tidak terima urusan pekerjaannya dicampuri. "Apa maksudku?" tanya Lidia, dengan nada yang sama tinggi. "Kirana, kenapa memintanya jadi sekertarisku dang tak berduskusi dulu denganku? Kenapa Ibu harus ikut campur tentang pekerjaan? Hah!" sentak Kaizar, dia benar-benar kesal dengan situasi itu. "Sudahlah, aku sudah menelepon HRD dan dia setuju, Kirana juga bukan gadis sembarangan, dia cerdas, cantik, berpendidikan dan akan membantumu memajukan perusahaan," jelas Lidia, wanita itu sama sekali tidak memedulikan perasaan Kaizar. Panggilan telepon pun terputus, Kaizar yang merasa diri belum selesai bicara, benar-benar marah dengan situasi tersebut. Akan tetapi, dia tidak tau harus mengungkapkannya seperti apa. Nara mengerti situasi suaminya sedang tidak baik-baik saja, tetapi dia tak tahu harus bagaimana. "Keluar kamu dari sini!" sentak Kaizar. Seketika Nara terhenyak. "Ya, orang berkepentingan memang dilarang masuk ruangan CEO begitu saja," dukung Kirana. Nara melirik ke arah Kirana sekilas, lalu mengambil tas dan hendak keluar dari ruangan itu. "Aku memintamu untuk keluar, Kiran! Bukan istriku!" tegas Kirana. "Kenapa? Kenapa aku, Kai? Aku sekretarimu, sekarang!" protes Kirana. "Maka dari itu, sekretaris harusnya mengerti, jika saat ini aku sedang membutuhkan privasi dengan istriku. Pergi!" Kaizar pun mengusir Kirana dengan lebih kasar lagi. Nara yang mengerti situasi suaminya pun ikut panik, buru-buru dia pun meminta Kirana untuk meninggalkan ruangan tersebut. Kirana bersikeras, tetapi Nara lebih bersikeras lagi. Dengan enggan, Kirana pun keluar dari ruangan itu. Setelah Kirana pergi, Nara mengunci pintu dan menutup tirai, lalu dia berlari kecil ke arah Kaizar, dan membantu melepaskan jas yang dikenakan. Benar, lagi-lagi Kaizar mengalami sesak napas dan ruam yang hampir hilang kembali menggila. Kaizar menggaruk acak tubuhnya. "Kendalikan dirimu, Tuan," ucap Nara seraya menahan kedua tangannya untuk tak menggaruk lagi. "Ambilkan obatku, Nara, cepat!" pinta Kaizar. Nara pun mencari obat di semua laci, tetapi dia tak menemukannya. "Di toilet, obatnya di toilet," ujar Kaizar. Nara pun kembali berlari menuju toilet, karena panik dan tidak fokus, Nara pun terjatuh dan terpeleset di sana. Kaizar yang masih berantakan, dengan napas tersenggal-senggal, seketika terhenyak saat mendengar jeritan Nara di dalam sana. "Nara!" Kaizar sontak berdiri dari duduk, dan berlari ke arah toilet. Dia melihat Nara sedang terduduk di lantai kamar mandi dan memegangi perutnya. "Nara!" Kaizar langsung berjongkok di hadapan Nara, tatapannya hangat dan penuh kekhawatiran. "Kamu baik-baik saja?" tanya Kaizar, lalu dia memeluk Nara dengan spontan. "Aku baik-baik saja, hanya terkilir sepertinya," jawab Nara. "Anak kita, bagaimana dengannya?" tanya Kaizar lagi. "Aman, aku akan melindunginya, tidak terjadi guncangan ataupun benturan, aku hanya terpeleset sedikit—" "Kita ke rumah sakit sekarang, aku enggak percaya teori dan penjelasanmu, apa kamu seorang dokter, hah? Apa kamu seorang ahli? Enggak, bukan, aku hanya percaya pada dokter," oceh Kaizar, sontak membuat Nara tercengang. Jarang sekali pria itu berbicara banyak, kalau bukan sedang marah padanya. "Anda marah, Tuan?" tanya Nara dengan wajah polosnya. "Ya, aku marah! Sekarang aku akan membawamu ke rumah sakit!" tegas Kaizar. Lalu, Kaizar pun menggendong Nara, berniat untuk membawanya ke rumah sakit. "Tuan, aku bisa jalan, gimana dengan obat Anda? Tuan …." "Diam! Obat itu sudah enggak penting!" tegas Kaizar, "kamu lebih penting!" Mendengar itu senyum Nara merekah, tepat di depan pintu ruangannya, dia meminta Nara untuk membuka kunci karena kedua tangannya sibuk dengan tubuh langsing Nara. Dia pun segera merendahkan posisi berdirinya agar memudahkan Nara meraih kuncinya. "Turunkan saja aku," pinta Nara. "Kenapa?" tanya Kaizar. "Di luar sana, mungkin ada rekan bisnis Anda dan sudah pasti banyak kolega yang akan melihat," jelas Nara. "Aku enggak peduli," sahut Kaizar. "Buruan buka Nara, aku pegal," ucap Kaizar. Nara pun terhenyak, lalu pintu pun terbuka lebar. Tak disangka di sana ada Sean yang sedang berdiri dan nyaris membuka pintu. "Uwah!" Sean terkejut melihat pemandangan tak biasa di hadapannya itu. "Kai, kamu—" Kaizar mendelik tajam, lalu tanpa peduli apa pun dia bergegas menuju parkiran dengan masih menggendong Nara. "Kai, meetingnya!" teriak Sean. Kaizar sama sekali tak menjawab, dia terus berlalu dan fokus pada tujuannya yaitu membawa Nara ke rumah sakit. * "Kan sudah, kubilang aku hanya terkilir," ujar Nara, yang kini duduk di brankar UGD. Kaizar mendengkus, "Kenapa kamu tidak bilang sejak awal, kalau kamu baik-baik saja. Kenapa harus repot-repot ke rumah sakit, hanya karena terkilir kan bisa ke tukang urut," cerocos pria bermata lebar itu. Nara tercengang mendengar Kaizar mengomelinya seperti itu. Padahal, dia yang memaksakan untuk pergi ke rumah sakit. "Aku harus meeting, kamu bisa pulang dengan taksi, bukan?" lanjut Kaizar sebelum Nara menjawabnya. "Tentu saja, pergilah," jawab Nara tenang. Kaizar termenung sesaat, kemudian dia beranjak dari duduk dan hendak pergi. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, dia kembali lagi ke hadapan Nara. Dia bahkan membawa kursi roda. "Aku berubah pikiran, aku akan mengantarmu ke apartemen," ujar Kaizar. "Meetingnya?" tanya Nara dengan raut wajah kaget. "Ada Pak Dimas," jawab Kaizar singkat. "Anda yakin?" tanya Nara. Tanpa menjawab, Kaizar pun membantu Nara untuk pindah ke kursi roda. Lagi-lagi tanpa banyak kata dengan penuh hati-hati dia mengantar Nara pulang. "Anda akan kembali ke kantor?" tanya Nara, saat keduanya tiba di depan gedung apartemen. "Haruskah?" tanya Kaizar. "Hah?" Nara ingin memastikan jika dirinya tak salah dengar. "Jangan salah paham, maksudku kita, eh, bukan, maksudnya aku baru saja mengalami hal buruk, haruskah aku kembali ke kantor dan bekerja?" sahut Kaizar gelagapan. "Kalau begitu, kenapa tidak bersantai dulu di rumah, dan besok baru kembali, bagaimana?" goda Nara, dia sedikit tergugu tingkah pria dingin yang tiba-tiba menjadi pria manja seperti itu. "Mungkihkan itu efek alerginya?" gumam Nara, masih menatap Kaizar dengan saksama. Untuk sesaat, dia lupa jika pria itu hanya sekadar relasi pernikahan kontraknya. Namun, sikap penuh tanggung jawab dari Kaizar membuat Nara sedikit serakah dan berandai-andai. "Andai dia memang peduli padaku, andai dia memang suamiku, suami yang sesungguhnya." Lagi-lagi batinnya bergumam. * Sementara di kantor, meeting berjalan dengan lancar, karena seperti biasa, Kaizar selalu mendiskusikan apa yang akan dilakukan dengan Dimas. Jadi, Dimas akan langsung menangani semuanya saat Kaizar tak bisa hadir. "Apa yang terjadi dengan si kulkas?" Sean bertanya pada Dimas. "Bos hanya ingin istirahat, mungkin terlalu lelah," jawab Dimas menjawab sesuai isi pesan yang diberikan Kaizar. "Bukan itu maksudku, dia menggendong Nara tanpa peduli dengan orang lain. Bukankah dia memiliki alergi terhadap wanita? Tapi, tadi dia baik-baik aja. Bahkan, setelah kupikir-pikir bagaimana Nara bisa hamil jika kita tahu, tersentuh wanita asing saja, Kaizar akan gatal-gatal?" celoteh Sean. Dimas menggaruk kepala tak gatal, mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan dari Sean, rekan bisnis sekaligus sahabatnya itu. "Tunggu sebentar, kamu diminta untuk memakan, makan siangnya kan, dan dia bilang jika dia akan makan siang di luar bersama istri. Dia sebut istri atau Nara?" selidik Sean masih penasaran. "Istri! Dan dia memintaku memberikan poto makanan yang dibuat Nara, dan kurasa dia sangat senang," jawab Dimas dengan sejujur-jujurnya. "Kayaknya Kaizar emang mulai gila, apa efek teh yang kukasih, ya?" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN