Bos yang Sama

1423 Kata
Sudah lebih dari lima kali revisi power point yang Ara berikan tak satu pun diterima. Semua permintaan Julian sudah ia penuhi, tapi tak satu pun yang disukai Julian. Wajahnya yang terlihat datar seolah tak merasa bersalah. “Pakai yang pertama saja lebih bagus,” kata Julian saat Ara memberikan hasil revisi terakhir. Mendengar Jawaban itu membuat Ara terdiam. Dalam hatinya sangat kesal. Lagi, Julian mengerjainya. Capek-capek ia mengerjakan power point sembari makan siang di dalam ruangan. Ia merelakan waktunya selama istirahat makan siang tak pergi ke cafetaria. “Kenapa lihatin saya kayak gitu?” Julian menatap sekertarisnya lekat. Baisanya kalau sudah seperti ini mereka (sekertarisnya yang dulu) akan marah dan mengundurkan diri. Julian masih menunggu reaksi dari Ara. Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat menatap bosnya. Ia menghela napas dalam lalu berkata, “Semoga Bos diberi umur panjang.” Kemudian dia kembali ke meja menyelesaikan pekerjaannya yang makin menumpuk. Julian mengkerutkan dahinya. Julian jadi ikutan kesal karena apa yang dia inginkan tidak tercapai. Ara terlihat serius bekerja, selama dua hari ini gadis itu belum melakukan kesalahan fatal. Bahkan beberapa kali ia ingin mendekatkan diri dengan Julian. Sempat terbesit keinginan untuk menyudahi perang dingin dan mecari-cari kesalahan sekertarisnya. Julian mulai melunakkan hatinya, ia yakin Ara memiliki alasan mengapa ia tetap bertahan dengan bos galak seperti dirinya. “Ara,” panggil Julian. Gadis itu mendongkak, menghentikan sejenak pekerjaannya. Ruangan terasa hening, dengan hembusan angin AC yang kekurangan freon. Ara sudah melaporkan pada teknisi perusahaan tentang kerusakan itu, tapi sampai sekarang belum diperbaiki. Untungnya Julian tidak menyadarinya, beruntunglah teknisi itu yang tidak dipecat. “Iya, Bos?” Ara bertanya karena Julian tak kunjung melanjutkan ucapan. Pria itu hanya diam seperti menimang sesuatu. Ara semakin waspada kalau saja ada kata-kata buruk yang terucap dari bibir bosnya. Sementara Julian memainkan pulpen biru kesayangannya di atas meja. Ia belum pernah meminta maaf, ada rasa sungkan yang membuatnya enggan mengakui salah. Dia seorang atasan apa pantas minta maaf pada bawahan? Bukankah atasan adalah raja di kantor? Julian menghela napas lalu memutuskan pandangannya dari Ara. “Nggak jadi,” ujarnya cuek. Ara memutar bola mata kesal. Sepersekian dektik waktunya sangat berhaga. Julian baru saja membuang waktunya. Setelah percakapan singkat itu tidak ada lagi percakapan. Ruangan terasa sepi, Julian fokus dengan pekerjaannya meski beberapa kali mencuri pandang pada Ara. “Bos saya sudah selesai,” kata Ara membuat Julian menoleh pada jam dinding. Ia baru sadar tiga puluh menit lagi jam kantor berakhir. Ara berdiri membawa laptop di depannya untuk memberikan laporan pekerjaan. Kali ini Julian setuju dengan design power point gadis itu. Sesuai dengan keinginannya. “Oke, saya setuju. Bagaimana dengan tempat dan waktu meeting?” tanya Julian kemudian memberikan laptop hitam kembali pada Ara. Gadis itu menutup laptopnya setelah sebelumnya menyimpan hasil pekerjaan. “Saya akan tulis laporannya dan kirimkan ke email,” jawab Ara. “Nggak perlu, bilang saja langsung biar gak ribet,” kata Julian. Ara menghela napas lalu memberitahu Julian kalau pertemuan besok dilakukan di sebuah hotel pukul 9 pagi. Julian meminta Ara kembali ke mejanya. Gadis itu tidak banyak bicara, dari pada berdiri lama-lama di depan Julian ia lebih suka duduk di kursi empuknya. Tiga puluh menit terasa sangat lama bagi Ara. Beberapa dokument sudah ia persiapkan untuk besok, tapi waktu masih tersisa lima belas menit. Pulang awal rasanya tidak mungkin. Kalau saja benar Julian tidak kembali ke kantor mungkin sekarang ia sudah di parkiran duduk di atas motornya sembari memakai helm bersiap pergi ke rumah Tina. Dua menit yang lalu ketika ia meng-copy dokumen dengan printer, Ara mengirim pesan singkat, Tina bilang ia akan di rumah dua puluh menit lagi. Itu artinya sekarang temannya sudah di rumah menunggu. Suara detak jarum jam terus mengisi kesunyian dalam ruangan. Julian akhirnya berdiri memakai kembali jas yang tersampir di kursi. Ara berdiri berharap Julian akan pulang lima menit lebih awal. Hari ini ia tidak ada lemburan, siapa tahu Julian berubah baik. Sebuah keajaiban kalau bosnya berbaik hati. Julian berjalan ke jendela, menutup gorden yang membuatnya bisa melihat jalanan ibu kota. “Ara tolong bawa semua bahan presentasi saya besok. Kita bertemu di hotel saja. Saya harap kamu sudah siap tiga puluh menit sebelum rapat dimulai,” kata Julian. Ara mengangguk patuh. Semua sudah ia persiapkan ke dalam sebuah tas tangan warna biru. Ia akan membawanya pulang sehingga besok tidak perlu ke kantor. Nanti malam dia hanya perlu memberitahu Mawar kalau dia ada rapat di luar kantor sehingga absen sidik jarinya bisa diganti dengan tanda tangan. “Bos saya boleh--” “Gak boleh,” potong Julian membuat Ara cemberut. Ia belum selesai bicara. Julian berjalan ke aquarium memberi makan Prety. Satu-satunya ikan yang menghuni aquarium berukuran 60×40×40 dengan ketebalan kaca 5 mm. “Kasihan dia kesepian Bos, gak ada niat buat nambah ikan lagi?” tanya Ara memperhatikan Prety. Julian menatapnya lalu menggeleng. “Tidak. Dulu dia punya banyak teman, tapi mereka jahat gak mau bagi makanan ke Prety,” jawab Julian. Ara menatap bosnya dengan kening mengkerut. Ternyata Julian psesif dengan ikan kesayangannya. Tiba-tiba Julian bersiul. “Bos, ini ikan bukan burung,” kata Ara membuat Julian tersentak. Sadar apa yang ia lakukan terlihat konyol, tapi bukan Julian namanya kalau tidak bisa mengendalikan rasa malunya. Ia bersikap layaknya hal itu biasa dilakukan untuk seekor ikan. “Saya tahu ini ikan bukan burung. Mata saya masih sehat.” Julian mencuci tangannya lalu bersiap pulang. Satu menit lagi jam kantor akan berakhir. Ara pun melakukan hal yang sama. Ia memeriksa sekali lagi barang-barang yang akan dibawanya pulang. Mereka jalan bersama, setiap orang yang berpapasan dengan Julian akan menyapa dan menundukkan kepalanya sebagai bentuk rasa hormat. Ara berjalan di belakangnya mengekori seperti itik. Bahkan saat beberapa karyawan lantai 5 sudah masuk ke dalam lift ketika Julian muncul mereka kompak keluar mengosongkan lift untuk bosnya. Ara merasa kalau dia dan Julian seperti virus yang dijauhi orang, tapi bagi Julian itu adalah hal wajah mengingat ia adalah bos yang harus diprioritaskan. Ara menekan tombol 1 kemudian lift mulai bergerak turun. Ara berdiri tepat di samping Julian. “Pak kenapa gak ada yang mau satu lift sama kita?” tanya Ara membuat Julian menoleh. “Emang kenapa?” tanya Julian. Wajahnya datar, tidak ada ekspresi yang berlebihan. “Kan enak kalau bisa berbaur dengan karyawan lain. Biar mereka kerjanya lebih bagus lagi,” ucap Ara. Julian kembali menatap lurus, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. “Saya lebih suka seperti ini,” kata Julian. Pintu lift terbuka Julian berjalan lebih dulu. Ara mengikutinya sampai Julian masuk mobil. Kaca mobil diturunkan, Julian sudah mengenakan kaca mata hitamnya. Benar saja ia tidak mengenali mobil bosnya karena Julian mengendarai mobil baru ditambah pria itu parkir cukup jauh dari biasanya. “Saya tidak menerima alasan keterlambatan. Apa pun itu, kalau besok kamu berulah saya pastikan kamu dihukum,” kata Julian. Kaca mobil kembali tertutup lalu Julian melesat meninggalkan area kantor. Ara menghela napas menatap mobil itu pergi. Tiba-tiba ia teringat akan sopir tua yang pernah menyerempetnya. “Apa bapak itu dipecat?” gumam Ara. Ia belum pernah melihat sopir tua itu lagi. Julian bahkan menyetir sendiri mobilnya. Ada rasa bersalah dalam hatinya. Ia harus bertanya pada Julian, jika benar pria itu dipecat maka Ara akan merasa sangat bersalah. *** “Dari cerita lo itu mirip banget sama mantan bos gue. Jujur kalau gue jadi lo lebih baik gue resign. Masih banyak pekerjaan lain di luar sana yang lebih bagus,” kata Tina. Mereka duduk di sofa sembari memeluk bantal. Di atas meja ada sirup dan kulit kacang. Sambil mengunyah Ara jadi penasaran dengan bos Tina. “Lo enak resign langsung dapat kerjaan baru, lah gue harus nganggur setahun baru dapat kerja. Emang bos lo resek kayak gimana?” tanya Ara. Ia meraih minumannya. Kerongkongan terasa kering saat makan kacang. “Itu pertama kalinya gue ketemu bos galak, tapi ganteng. Andai saja dia gak judes gitu mungkin gue bakalan betah jadi sekertarisnya. Seumur hidup pun gue gak masalah.” Tina mengganti chanel televisi yang menurutnya lebih seru, sementara Ara tidur selonjoran di sofa panjang. Ia benar-benar lelah duduk seharian di belakang komputer. “Nama bos lo siapa?” tanya Ara. Ia penasaran siapa yang bisa membuat Tina menyerah secepat itu. “Julian ….” “Hah?” Ara segera duduk setelah mendengar nama mantan bos Tina. Tidak mungkin mereka memiliki bos yang sama. Tina terlihat santai menonton acara televisi mengabaikan keterkejutan Ara. “Nama bos gue juga Julian....” “Apa?” Kini Tina yang terlihat kaget. Gadis itu mengabaikan tayangan televisi yang menyajikan siaran adventure. Mereka terdiam dalam waktu yang cukup lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN