Dipecat

1706 Kata
Julian Fernando Aris, bos galak yang kini punggngnya dihiasi garis-garis merah hasil karya fenomenal dari pelukis kerokan, Ara Larasati. Hasil karya seni yang jarang Julian lihat selama hidupnya. Bahkan ia tidak sadar ada garis-garis merah di punggung. Dengan percaya dirinya Julian membuka baju saat akan berenang. Juan yang kebetulan sedang di rumah, bersantai di pinggir kolam sembari membaca majalah pun berhenti membaca saat Julian berdiri di depannya. Suara air beriak ketika Julian melompat ke kolam. Satu kali, dua kali dan sekarang tiga kali Julian bolak-balik berenang. Juan pindah duduk di pinggir kolam menunggu adiknya bersandari di tepi. Julian akhirnya muncul di permukaan kemudian bersandar di tepi kolam. Kaca mata renang pun diangkatnya sehingga mata hitam itu bisa melihat air yang berombak. “Punggung kamu kenapa?” tanya Juan penasaran. Ia juga baru pertama kali melihat garis-garis seperti itu. Dalam hidupnya tidak sekali pun ia melihatnya. Ia takut Julian sedang sakit kulit atau mengidap penyakit kelainan yang langka. “Gak kenapa-kenapa. Emang punggug saya kenapa?” Julian menatap Juan heran. “Punggung kamu merah-merah. Sebentar saya foto.” Juan beranjak mengambil ponselnya lalu meminta Julian menunduk. Juan pun memberikan hasil jepretan yang mampu membuat Julian membolakan mata. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat, tanda merah di punggungnya membentuk tulang-tulang ikan. “Gak sakit?” tanya Juan yang dibalas gelengan kepala oleh adiknya. Julian memberikan ponsel itu pada Juan. Ia tahu siapa dalang dari garis merah itu. Rahang Julian mengeras membayangkan wajah Ara yang sekilas nampak imut, tapi menyeramkan. Gadis itu berhasil membuatnya jengkel, meski mereka tidak bertemu. “Besok saya akan pergi, ada syuting di luar. Saya tidak tahu kapan pulang,” kata Juan. Liburan kakaknya bisa dibilang singkat. Sebagai publik figure jam terbangnya sangat padat. Julian bersyukur bisa bertemu kakaknya meski sebentar. Rumah besar ini akan kembali sepi. “Oh, tidak masalah. Semoga syutingnya lancar. Kalau sudah selesai tolong jenguk mama dan papa. Sudah lama kita tidak ke Singapura,” ucapnya. Juan menghela napas. Mereka sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sampai tidak sempat melihat keadaan orang tua. Walau sering kali mereka berbincang melalui telepon. Namun, itu belum cukup. “Kamu tidak mau jenguk?” tanya Juan. Selama ini sang adik belum pernah menemui orang tua mereka. Julian akan menyibukkan diri dengan pekerjaan dan tentu drama yang ia buat di perusahaan. “Nanti setelah semuanya beres.” Juan tertawa kecil membuat Julian mendongkak. “Saya rasa kamu anak tertua di keluarga ini. Kamu sangat tegas dan keras kepala. Bahkan kamu berani memerintah kakak sendiri,” ujar Juan sambil tertawa kecil. “Kak, kamu sendiri yang minta. Harusnya kamu yang memimpin bukan saya. Kamu sendiri yang memilih untuk tidak ikut campur,” sahut Julian. Juan mengusap kepala adiknya membuat Julian jengkel dan menepis tangan sang kakak. “Tapi saya suka lihat kamu cepat dewasa. Jangan terlalu keras bekerja nanti cepat tua.” Juan beranjak meninggalkan Julian yang kini kembali berenang. Tanpa diberitahu pun Julian merasa lebih tua dari kakaknya. *** Ara tertegun melihat apartemen kecil yang akan ditempati Tina. Hari ini Minggu sehingga mereka bisa mencari apartemen bersama-sama. Ada satu kamar yang bisa diisi dua kasur. Apartemen yang lengkap dengan dapur kecil dan juga toilet. Ruang tengah juga kecil hanya bisa diisi satu meja, tv dan satu sofa panjang. Sangat sederhana, tapi cukup nyaman dengan untuk ukuran apartemen harga murah di jantung ibu kota. “Keren sih, untuk berdua cocok banget asal barang-barang tetap rapi,” komentar Ara sembari duduk di sofa. Ada AC juga yang bisa mereka gunakan kalau sedang gerah. “Jadi lo mau tinggal di sini sama gue?” tanya Tina. Ara kembali galau, ia belum bercerita pada ibunya. Ia takut ibunya marah. “Pengen sih, tapi ibu gue belum ngasi lampu hijau. Nanti deh gue kasih tahu.” Tina terlihat murung, ia ingin sekali bisa tinggal dengan Ara sehingga mereka bisa curhat. Sebagai orang yang sama-sama anak tunggal tentu mereka sudah seperti saudara kandung. Sering curhat saat sekolah dulu, bahkan tidak jarang mereka giliran menginap tiap akhir pekan. “Semoga saja dikasi.” Ara mengangguk berharap hal yang sama. “Kapan lo bakalan tinggal di sini?” “Kalau deal mulai minggu depan, sekarang kayaknya pidahan sedikit-sedikit dulu,” kata Tina dibalas anggukan oleh Ara. Membayangkan hidupnya akan bebas membuat Ara jadi senang. Semoga saja Diana bisa mengerti perasaannya. Selama perjalanan pulang Ara selalu berdoa semoga ibunya mau memberi izin. Ia terus memikirkan cara meluluhkan hati sang ibu. Ara pun singgah ke toko peralatan rumah tangga. Membuat ibunya bahagia sesekali tidak masalah bukan? Siapa tahu dengan ini ia mendapatka izin. Sampai di rumah Ara bergegas mencari ibunya. Setelah menemukan Diana yang sedang rebahan di depan TV Ara pun segera menghampiri setelah mengucap salam. “Bu, Ara punya sesuatu buat ibu.” Ara memberikan barang yang dibelinya tadi. Diana segera duduk membuka kardus panci. “Panci di dapur sudah penyok jadi Ara belikan yang baru.” Wajah Diana berbinar. Itu adalah panci, tapi dia melihatnya seperti berlian. Diana terlihat antusias itu artinya Ara berhasil memberi kejutan. Tidak sulit ternyata membuat ibunya bahagia. “Kalau begini ibu jadi senang,” ucap Diana lalu membawa pancinya ke dapur. Ara masih menunggu kedatangan ibunya untuk bergabung menonton TV. Ayahnya belum pulang di jam 5 sore, paling lambat jam 7 malam sehingga hanya ada dia dan ibunya di rumah. “Bu, si Tina ngajak tinggal di Apartemen, boleh nggak aku bareng sama dia?” tanya Ara. Ia berusaha tenang meski pikiranya sudah kacau. “Boleh-boleh saja, tapi bukannya lebih hemat kalau nggak ngekos?” kata Diana. Ara coba memberi penjelasan supaya ibunya memberikan izin. Cukup lama Diana menimbang keputusan sampai akhirnya ia menyetujui. Ara mengepalkan tangan saking senangnya, tapi mimik wajah terlihat biasa saja. Ia memendam emosinya dengan baik. *** Suara mesin printer menjadi satu-satunya suara yang memenuhi ruang kerja Julian. Ini masih pagi belum banyak karyawan yang datang termasuk Ara. Julian sudah mempersiapkan hukuman kalau-kalau gadis itu terlambat. Mesin printer berhenti, Julian memeriksa hasil cetaknya. Foto punggungnya yang dikirim oleh Juan sudah ia cetak. Ini akan menjadi barang bukti yang kuat. Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Ara mengetuk pintu lalu masuk ke ruangan. Ia mulai terbiasa melihat Julian duduk di kursi ketika ia masuk ke ruangan. Sapaan Ara tidak dibalas seperti biasa. Gadis itu tidak mau ambil pusing. Lebih baik duduk di meja lalu membuat teh atau kopi untuk dirinya dan Julian. Itu pun kalau bosnya mau. “Ara,” panggil Julian. Pria itu meminta Ara duduk di depannya. Dengan berat hati Ara melangkah pelan, ia coba mengingat apakah ia melakukan kesalahan? Dalam ingatan gadis itu tak sedikit pun kesalahan yang ia buat. Apa tadi ia salah duduk sampai harus dipanggil? Ara terus menerka-nerka. “Iya, Bos? Mau saya buatkan kopi?” tanya Ara berusaha ramah. Julian menggeleng, tangannya menunjuk kursi yang ada di depannya. Perintah pria itu tidak bisa dibantah. Ara duduk manis menunggu Julian bicara. Setelah Ara duduk Julian memberikan foto yang sudah dicetak pada kertas A4 dan menunjukkan pada Ara. Kening gadis itu mengkerut saat Julian memberikan gambar punggung bekas kerokan. Ara tersenyum tipis bisa mengabadikan hasil karyanya yang bisa dibilang bagus. Garis-garisnya terlihat tegas dan sejajar. “Coba kamu jelaskan mengapa punggung saya bisa seperti itu?” tanya Julian. Ara meletakkan kertas itu lalu bersandar pada kursi. “Itu cara tradisioal buat ngilangin masuk angin Bos. Namanya kerokan,” jelas Ara. “Kenapa merahnya gak hilang-hilang sampai sekarang?” tanya Julian. Rencananya berlibur ke pantai hari Minggu lalu gagal karena goresan merah di punggungnya. “Entar juga hilang sendiri, dari pada bos sakit?” ujar Ara. Julian menatapnya jengkel. Punggung mulusnya bisa bercorak merah gara-gara gadis itu dan sekarang dia tidak mau tanggung jawab. Ara menarik kursinya lebih dekat pada Julian. Ia teringat akan pertanyaan yang ingin ia ajukan pada bosnya. Salah satunya mengenai sopir tua yang sempat menabrak Ara. Rasa penasaran semakin membuncah karena ia yakin Julian ke kantor sendiri, tanpa sopirnya. “Bos kenapa sekarang gak pakai sopir? Dulu waktu bos nabrak saya ada sopirnya,” kata Ara. “Oh, jadi kamu mau ditabrak lagi?” tanya Julian yang kini menopang dagunya. Ara langsung menggeleng, siapa juga yang mau ditabrak.Sudah cukup satu hari badannya terasa pegal dan kesakitan. “Itu … apa bapak sopirnya bos pecat?” tanya Ara. Julian menaikkan satu alisnya. Ia tidak langsung menjawab, tatapan Julian tidak bersahabat membuat Ara mulai takut. Ia harus bersiap kalau Julian akan membentak, paling tidak menggebrak meja. “Iya, saya pecat kenapa?” Ara kaget mendengar ucapan Julian. Wajah tua itu kembali melintas di pikiran. Suaranya yang lembut dan juga pancaran sinar matanya yang teduh di usia senja. Ara merasa bersalah dengan pria tua itu. Apa yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahannya. Ara tidak berucap, dengan kepala tertunduk ia kembali ke tempatnya. Sepanjang hari ia hanya diam, bahkan ketika Julian marah pun dia tidak melawan. Dia menunduk meminta maaf lalu kembali bekerja. Beberapa kali Julian sengaja memarahninya berharap Ara mau bicara panjang lebar, tetapi gadis itu hanya bicara sedikit. Wajahnya terlihat sedih sehingga Julian jadi kepikiran, apa dia berbuat salah? “Kamu pulang pakai motor?” tanya Julian setelah menutup laptopnya. Ia sedikit canggung karena pertanyaan itu sudah jelas jawabannya. Ara mendongkak lalu kembali membereskan meja. “Iya, Bos,” ujarnya. Julian mengendurkan dasi yang mencekik leher, sesekali melirik Ara yang ada di mejanya. Gadis itu sudah bersiap akan pergi, tapi Julian mencegat. Ara menatap bosnya penuh tanya. “Kenapa Bos?” tanya Ara. Ia merasa ada yang aneh dengan Julian. Hari ini bosnya lebih cerewet dari biasanya. Julian bahkan sering mengganggunya secara tidak langsung. “Enggak, cuma tanya saja.” Julian pun keluar meninggalkan Ara yang masih kebingungan dengan sikap bosnya. “Lagi banyak pikiran kali, ya?” gumam Ara mencoba menebak apa yang terjadi pada bosnya. *** Sampai di rumah Ara segera membongkar isi tasnya. Ia teringat akan kertas yang diberikan Juan. Dibukanya gulungan kertas itu lalu melihat ada sederetan nomor ponsel. Ara bimbang apa dia harus menghubungi Juan atau tidak. Lama dipandanginya nomor itu sampai akhirnya Ara memberanikan diri mengirim pesan singkat. Hai, ini Ara. Maaf baru mengirim pesan. Lama ia menunggu balasan, tapi Juan tak kunjung membaca. Ara tersenyum kecut, ia sadar mana mungkin pria seperti Juan benar-benar menyukainya. Ara meletakkan ponselnya sembarang. Gadis itu lalu beranjak mandi. Tubuhnya jadi gerah setelah terjebak macet cukup lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN