9. Pencurian Uang Perusahaan

1087 Kata
"Aku tidak tahu bagaimana ke depannya nanti," kata Revan dengan nada dingin. Dada Revan sangat sesak ketika harus membahas rencana perjodohan itu. Dua hati sama-sama patah hati; sakit tak berdarah. Setelah memberikan nasihat pada Revan, Murni memutuskan untuk pamit dan menuju ke kamarnya. Ia ingin memberikan ruang pada Revan. Hari ini adalah Sabtu, jam di dinding sudah menunjukkan waktu yang semakin larut. Mata elang milik Revan seolah enggan terpejam. Bayangan wajah Mayang yang berderai air mata membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Kesakitan itu tampak jelas di mata Mayang--wanita yang menjadi cinta pertamanya. Revan mengambil ponsel di atas nakas tempat tidurnya. Ia membuka blokir mantan kekasih yang namanya masih ada di dalam hatinya itu. Revan ingin melihat kabar gadis yang selalu sabar menghadapinya itu. Nihil nama itu tidak ada sama sekali. Revan pun segera mencari di kolom pencarian dan hasilnya juga sama. Tidak ada nama Mayang Mandasari di berbagai media sosial milik gadis yang sangat dicintainya. Dua kemungkinan, pertama Mayang menutup media sosialnya dan kemungkinan kedua, Mayang juga memblokirnya. Entahlah, Revan sangat frustasi saat ini. Revan masih belum putus asa. Ia membuka aplikasi berlogo gagang telepon dan mengetikkan nomor Mayang yang sudah dihafalnya hingga saat ini. Lagi dan lagi sama, nomor itu tidak terdaftar dalam aplikasi itu. Revan memberanikan diri mencoba menghubungi nomor itu dan dijawab oleh operator. 'Mayang beginikah cara kamu pergi? Ah ... aku lupa, akulah yang menyakitimu begitu dalam. Aku ingin minta maaf, bisakah? Pasti permintaan maafku tidak akan kamu terima. Mayang, terima kasih sudah mau menjadi bagian dari hidupku selama hampir delapan tahun ini. Sungguh aku sangat mencintaimu. Kamu cinta pertama dan terakhir buat aku.' Revan mengatakan itu di dalam hatinya sambil mengusap air matanya. Laki-laki memang jarang menangis. Setiap ada masalah biasanya kaum adam akan berpikir dengan menggunakan logikannya. Revan sudah tidak sanggup lagi menahan segala sesak dan sakit dalam hatinya. Ini pertama kalinya ia menangis sebagai laki-laki dewasa. Minggu pagi datang dengan begitu cepat. Revan sama sekali belum beranjak dari tempat duduknya. Ia membuka ponsel karena ada satu pemberitahuan email yang masuk. Hardi--asisten Revan mengirimkan laporan pengeluaran perusahaan. Revan melotot tajam saat melihat nominal yang tertera. Bukan nominal dalam jumlah kecil di saat perusahaan sedang jatuh saat ini. Ia segera menghungi asistennya itu. Revan ingin tahu kemana aliran dana sebesar sepuluh milyar itu. "Pagi, Pak Revan." Hardi langsung mengangkat panggilan dari bos-nya. "Tolong cek kemana aliran dana itu." "Um ... itu diambil Tuan Adhyatsa untuk membeli dua unit perumahan." "Apa?!" Revan sangat terkejut dan segera mematikan panggilan secara sepihak. Revan meremas benda pipih itu hingga buku-buku tangannya memutih. Si tua bangka itu memang sangat keterlaluan. Sejumlah uang itu sepertinya bisa ditarik dengan bantuan bagian keuangan. Mendadak ia teringat pada sosok Pak Susilo. Lihat saja akan sampai di mana keberanian Adhyatsa juga kroninya bermain. Besok Senin, Revan akan memecat Susilo dengan tidak hormat. Anggap saja karena terbukti menarik uang perusahaan tanpa izinnya. Pasti besok akan terjadi kehebohan yang luar biasa. "Van ...keluar sarapan dulu," panggil Murni dari depan kamar Revan. Revan segera beranjak dari kursi yang semalam didudukinya. Ia akan memberikan pelajaran pada si tua bangka tidak tahu diri itu. Dua unit perumahan dan dibayar dengan uang perusahaan yang seharusnya untuk membayar uang gaji seluruh karyawan. Nominal itu saja masih sangat kurang untuk membayar gaji karyawan di kantornya. Revan terpaksa membuat pesan mendadak agar beberapa karyawab berangkat ke kantor. Ada yang harus ditanyakan. Tidak harus menunggu hari Senin besok. Revan sudah tidak sabar sama sekali ingin menyelesaikan masalah ini. "Jadi, siapa Dara Ayu sebenarnya?" Revan menatap tajam ke arah Nadira yang saat ini wajahnya seputih kapas. "Di-dia ....." Nadira harus jujur kali ini. "Dara Ayu keponakan Pak Susilo," lanjut Nadira dengan gugup dan rasanya ingin segera berlari, meninggalkan ruangan Revan. Revan tidak menyangka jika Pak Susilo berbuat nekat demi mendapatkan keuntungan. Sebuah kelicikan yang luar biasa dan tidak terduga sama sekali. Pasti ada karyawan dan karyawati lainnya. Naga tidak main-main rupanya. "Siapa lagi?!" Suara Revan menggelegar dan membuat banyak karyawan dan karyawati mendengarnya. "Ada beberapa, Pak. Akan saya sebutkan. Tapi, saya mohon jangan pecat saya. Saya masih membutuhkan pekerjaan ini." Nadira memohon pada Revan sambil berlutut. Sejak putus dari Mayang, Revan bersikap sangat dingin pada siapa pun. Ia tidak akan segan menendang keluar siapa pun yang berbuat kelicikan pada perusahaan ini. Saat semua sudah di ujung tanduk, ada saja yang membuat Revan sangat emosi. Nadira pun mengambil ponsel dan membuka semua email yang masuk. "Ini, daftar nama karyawan dan karyawati yang masuk tidak berdasarkan tes resmi perusahaan ini." Nadira menunjukkan beberapa daftar CV semua orang. Revan mengepalkan tangan hingga buku-buku tangannya memutih saat ini. Ingin rasanya memukul apa pun untuk menghilangkan rasa kesalnya. Ia segera menghubungi bagian HRD. Meminta datang dan memecat semua karyawan baru dengan tuduhan melakukan kecurangan dalam perusahaan. Masalah demi masalah datang silih berganti. Dalam satu hari ini saja sudah menemukan banyak orang yang terkait dengan kebangkrutan perusahaan Revan. Revan tidak menghiraukan waktu sama sekali. Banyak bawahannya yang sudah pulang malam ini. Revan memeriksa setiap laporan yang masuk. Baik masuk melalui email atau yang yang berupa sebuah berkas yang diberikan oleh Hardi. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan Revan masih belum beranjak dari kursi kerjanya. "Hardi, kamu pulang saja. Aku masih ingin memeriksa setiap dokumen. Banyak yang ganjil dan tidak masuk akal. Entahlah, aku tidak bisa percaya lagi pada orang-orang lama." Revan mengatakannya dengan nada dingin. "Baik, Pak Revan. Saya pamit," jawab Hardi dan segera berkemas untuk pulang. Revan meluruskan punggungnya yang sangat pegal. Delapan puluh persen berkas dan data sudah diperiksanya. Tanggung jika saat ini pulang. Lebih baik lanjut untuk mengerjakannya. Revan sengaja mematikan ponselnya saat ini. Ia tidak ingin diganggu sama sekali. Jam di tangan Revan menunjukkan pukul satu dini hari. Seolah kantuknya hilang saat melihat satu per satu nominal yang dikeluarkan oleh Pak Susilo. 'Tikus tetaplah tikus! Rupanya dia akan mendirikan perusahaan di dalam perusahaan ini. Pasti si tua bangka itu ikut andil dalam masalah ini!' Revan sangat geram dalam hatinya. Pukul empat pagi, Revan baru saja selesai memeriksa semuanya. Aliran dana tidak wajar itu akhirnya bisa diketahui. Hanya besok akan mencocokkan dengan tim audit. Semoga saja tepat dan sesuai dengan apa yang diperiksa oleh Revan. Revan berjalan menuju sofa yang ada di ruang kerjanya. Punggungnya meminta jatah untuk direbahkan. Pegal sekali seluruh tubuhnya. Perlahan mata Revan terpejam. "Pak ... bangun, sudah pukul tujuh pagi," kata salah satu satpam yang berjaga pagi ini. Revan tergagap karena terkejut. Lingkar matanya menunjukkan jika dirinya lelah saat ini. Cucu laki-laki pertama keluarga Adhyatsa itu segera mengusap wajahnya dengan kasar. Ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN