Bab 6: Tertangkap oleh Dewa Gairah

1686 Kata
Dua hari. Selama dua hari, aku menghindarinya, dan aku jadi lebih gugup setiap harinya. Aku tidak tahu bagaimana menghadapinya setelah apa yang terjadi padaku tempo hari. Pertengkaran dengan Abas memang cukup traumatis, tapi aku lebih malu Janu melihatnya. Ingatan akan bagaimana dia mendekapku ke dalam pelukannya memberi sensasi hangat ke seluruh tubuhku. Bau parfumnya yang beraroma tanah menempel di pikiranku saat dia mengusapkan jari-jarinya ke kulitku. Setiap bagiannya kucintai, namun, aku sadar aku tidak bisa memilikinya. Suara pintu depan terbuka menarikku dari pikiranku, dan saat melihat ke luar jendela, kulihat Janu berjalan ke mobilnya. Rambut hitamnya ditata dengan sempurna berpadu dengan setelan jas yang melekat di tubuhnya, menunjukkan lekuk otot yang tersembunyi di bawahnya. Sialan, dia sungguh menawan. Seolah-olah bisa mendengar pikiranku, matanya yang tertutup kaca mata memandang ke arahku, dan senyuman tersungging di bibirnya saat dia perlahan berbalik dan naik ke mobilnya. Melihatnya pergi membuatku kecewa, tapi aku bernapas lega. Saat napas panjang keluar dari bibirku, aku memejamkan mata, menikmati kenyataan bahwa aku telah terbebas dari satu pagi bersamanya lagi. Satu pagi lainnya di mana keheningan yang canggung akan mengisi ruang di antara kami, dan aku akan memikirkan ribuan kata yang ingin kukatakan tetapi tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Tapi lagi-lagi, mungkin itu yang dia inginkan. Situasi kami seluruhnya amat sangat membingungkan, dan aku harus mencari cara untuk menyelesaikan konflikku. "Bella?" Suara Tania memanggil dari balik pintu kamarku yang tertutup, menarik diriku kembali ke masa kini. Mataku melayang ke arah pintu. "Eh–ya!" Aku menyahut. "Masuklah, aku hanya sedang merasa bersemangat." Hal terakhir yang kuinginkan adalah agar dia tahu bahwa aku telah mengawasi ayahnya. Walaupun pemikiran itu membuatku cukup bersemangat. Oh Tuhan, ada apa denganku akhir-akhir ini? Saat pintu terbuka, aku tersenyum, berusaha bersikap biasa saja. Alis Tania sedikit terangkat saat menatapku dengan sedikit geli di sudut bibirnya. "Sedang apa kamu?" "Tidak ada yang khusus, ada apa?" Aku menjawab dengan segera, berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. "Karena kamu tampak seperti anak kecil yang ketahuan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan. Maksudku, aku belum pernah melihatmu seperti itu sejak perkemahan musim panas." Sambil memutar mataku, aku mengerang, tahu persis apa yang dia bicarakan, tetapi tidak ingin menghidupkan kembali ingatan itu. Aku masih kesal padanya. "Aku tidak mengatakan apa-apa. Apa maumu?" "Eh, hmm." Dia menghela napas, menggelengkan kepalanya. "Jadi, kupikir kita bisa pergi ke pantai hari ini." Dia serius? Setelah sebelumnya ... "Aku tidak tahu. Aku masih kesal denganmu mengenai yang terjadi sebelumnya." Menatapnya, aku melihat rasa bersalah di matanya. Dia tidak bermaksud agar Abas bertindak seperti itu padaku, dan ketika mengetahui yang sesungguhnya, dia tidak berhenti meminta maaf. "Sudah kubilang aku minta maaf, Bella. Tolong jangan biarkan ini terjadi di antara kita." "Hei Sobat, dia mencoba melakukan pelecehan seksual kepadaku. Untung saja ayahmu ada di sana untuk menghentikannya." Aku mengejeknya sambil memutari ruangan, mengambil pakaian yang berserakan. "Aku tahu, dan aku minta maaf," pintanya. "Tapi, pada akhirnya gagal ... jadi, itu hal yang bagus, 'kan?" "Tania!" Aku membentak. "Masalahnya bukan apakah dia jadi melakukannya atau tidak. Itu adalah prinsip dari fakta. Kamu mengabaikan apa yang kukatakan dan mencoba untuk mendorongnya ke arahku. Tepat di situlah masalahnya." "Kamu terlalu melebih-lebihkan ... " Langkahku terhenti, aku menatapnya dengan terkejut, "Kamu serius berkata seperti itu padaku?" "Bella ... " "Tidak!" Aku kembali membentak. "Apa kamu benar-benar serius berkata seperti itu? Karena perempuan yang dulu kukenal tidak akan pernah bersikap seperti itu. Sejak orang tuamu bercerai, kamu telah menjadi orang lain." Dengan mulut terbuka dan mata terbelalak, dia menatapku, terdiam. Dia tahu perkataanku benar. Tidak ada yang membantah apa yang telah kukatakan, karena dia memang telah berubah. Saat matanya dipenuhi air mata, aku merasakan rasa bersalah menggerogoti hatiku. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu?" "Tania, kamu tahu itu benar." "Tidak," isaknya. "Aku masih orang yang sama seperti dulu. Mengapa kamu kira aku berubah?" "Eh, karena kamu memang sudah berubah," ejekku sambil menyilangkan tangan di d**a. "Kamu benar-benar telah menjadi orang lain." Ayahnya telah mencoba untuk membuatnya menemui seorang konselor selama bertahun-tahun, tetapi demi harga dirinya yang terkutuk itu, dia menolak karena tidak ingin menodai citranya yang tinggi di masyarakat. Sambil menggelengkan kepalanya, dia menolak untuk percaya padaku, "Tidak, aku tidak berubah. Tolong biarkan aku membuktikannya padamu." Sambil menarik napas dalam-dalam, aku mencoba untuk memahami penolakannya. Mungkin kami sedang membicarakannya sekarang. Aku akan mampu membantu memperbaikinya. Mungkin saja Tania untuk kali ini akan tersadar. "Jadi, ke pantai?" Senyum tersungging di bibirnya saat dia mengangguk. "Ya, maukah kamu memaafkanku dan pergi ke pantai bersamaku?" Setelah mengambil waktu sejenak untuk memikirkannya, aku menghela napas sembari mengangguk saat aku menentang penilaianku yang lebih baik. "Baiklah. Kita bisa pergi ke pantai." Aku punya firasat bahwa mungkin aku akan menyesalinya nanti, tapi toh keputusanku memang tidak pernah sangat cerdas ketika menyangkut perempuan ini. Aku benar-benar harus belajar mengatakan tidak padanya. Sambil memekik gembira atas jawabanku, dia dengan cepat memelukku dan tersenyum. "Bagus! Bersiap-siaplah. Kita akan berangkat tepat pukul sepuluh." Sebelum aku sempat memprotes berapa lama sebelum kami pergi, dia sudah keluar dari kamarku untuk menyiapkan diri, sementara aku dibiarkan merenungkan percakapan itu di pikiranku. Mungkin kembali ke Kota Semarang untuk musim panas bukanlah ide terbaik. Di satu sisi, aku berurusan dengan Tania beserta akal sehatnya yang kurang, dan di sisi lain, aku berurusan dengan ayahnya Janu, dan hal-hal hina yang kuharap dia lakukan kepadaku. Kalau tidak berhati-hati, aku akan jatuh ke lubang kelinci seperti Alice. ******** Empat jam kemudian, dan banyak minuman di atas pasir, aku dan Tania tergopoh-gopoh melalui pintu depan, menertawakan hal-hal yang telah kami lihat sepanjang hari. Sangat menyenangkan menghabiskan waktu seperti ini dengan Tania, mengingat perbedaan yang kami temui selama beberapa tahun terakhir. Terutama setelah pertengkaran yang dia dan aku lakukan tadi pagi "Jadi, Chika mau berbelanja dan minum kopi. Apakah kamu mau ikut pergi?" Tania berhenti di puncak tangga dan menatapku sambil mengayunkan kunci mobil di jarinya. Dia tidak harus mengemudi jika dia minum, tetapi dia tidak akan mendengarkan siapa pun kecuali ayahnya. Sayangnya, ayahnya tidak ada di sini. "Uh ... " Aku ragu-ragu, memikirkannya, "Kurasa aku akan ikut lain kali. Aku ingin menelepon ayahku dan mandi. Tapi, kamu pergilah dan bersenang-senanglah." Matanya tampak memandangiku beberapa saat sebelum dia mengangkat bahu, dan mengeluarkan ponselnya. "Baiklah kalau begitu." Aku langsung bertanya-tanya apakah dia benar-benar mengharapkanku ikut, tapi saat dia berjalan ke kamarnya dan berganti pakaian, aku menerima kenyataan bahwa memang begitulah Tania. Begitu banyak usaha dibutuhkan untuk mencoba membantunya. Perutku keroncongan karena lapar saat aku melangkah ke kamarku. Aku belum makan malam, dan sang juru masak, Janu, sudah lama pergi. "Kalau begitu, mari kita pesan antar saja," kataku pada diriku sendiri sambil mengeluarkan ponselku dari saku dan memesan menu pesan antar sebelum berjalan menuju meja riasku untuk mencari pakaian yang lebih nyaman. "Baiklah, aku pergi!" Tania meneleponku beberapa saat kemudian saat dia menuruni tangga. "Hubungi aku kalau kamu berubah pikiran!" "Pasti." Aku tertawa, memutar mataku melihat tingkahnya. Tidak mungkin aku akan keluar dalam waktu dekat. Satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah membiarkan air panas mengalir di kulitku dan mencoba mengalihkan pikiranku dari semua yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir. Terutama Janu. Sambil melangkah ke kamar mandi, aku mencoba menyingkirkan pikiran yang dia ciptakan. Namun, itu tidak semudah yang kukira. Memikirkan tubuhnya yang kasar dan tegap menekanku mengirim sensasi ke dalam diriku yang tidak bisa kutahan. Jari-jariku dengan lembut menyapu bagian sensitif di antara kedua kakiku, dan dengan setiap sentuhan, itu membawaku semakin tinggi. "Janu ... " Aku mengerang pelan saat jariku perlahan terlepas. Membayangkan bibirnya yang padat menekan bibirku sangatlah menggoda. Aku membayangkan ereksinya yang panjang dan kokoh menekan ke dalam diriku saat dia mendominasiku dan mendorong tanpa henti. Tidak ada yang bisa menghentikan gambar-gambar itu ketika mereka mulai, dan kesenangan yang tumbuh di ulu hatiku berkobar seperti api yang mengamuk sampai aku meledak dalam rintihan kepuasan. Air panas membasuh jejak perbuatan dari kulitku saat senyum menghiasi bibirku. Aku menginginkannya, dan aku tahu itu tabu, tapi aku tidak peduli. Setidaknya kupikir aku tidak peduli. Saat aku selesai menjelajahi diriku sendiri, airnya telah menjadi dingin. Sambil meraih handuk putih berbulu dari rak, aku membungkusnya di sekitar tubuhku dan memeriksa teleponku mengenai pengiriman makanan yang aku pesan. Aku hanya punya waktu lima menit sampai pesananku tiba, dan pikiran itu membuat perutku keroncongan. Aku kelaparan. Sambil mengenakan baju tidur hitam, aku sedang menyisir rambutku tepat ketika bel pintu berbunyi. Setelah mematikan lampu kamar mandi, aku melompat menuruni tangga dan terdiam di tempat. Sesosok wajah yang tidak kuduga berdiri di bawah, memegang tas bungkus makananku. Janu. Oh, sial. "Lapar?" dia tersenyum, mengangkat tasnya. "Um ... " sambil mengangguk, aku melangkah menuruni beberapa anak tangga terakhir. "Ya ... sedikit." Keragu-raguan mengalir di antara kami saat dia perlahan mengulurkan tas untuk kuambil. Tapi saat jari-jariku terulur, jarinya menyentuhku dan rasa dingin menjalari tulang punggungku. "Kamu telah menghindariku, Bella." Kata-katanya membawaku kembali ke kenyataan. "T-tidak." Aku mencoba menghindarinya, tapi aku tidak ingin dia berpikir seperti itu. Situasi kami sudah canggung, karena aku sungguh-sungguh ingin menghindarinya. Aku juga ingin dia membekap diriku melewati tangga ini dan bercinta denganku sampai aku tidak bisa berdiri. Kedua keputusan itu sama-sama membingungkan, tetapi jika diriku tidak hati-hati, nafsulah yang akan menang "Ya, kamu menghindariku," dia tertawa. "Setiap kali aku mencoba menangkapmu ... kamu menghilang." Dia mengambil langkah lebih dekat, dan aku langsung melangkah mundur. Cara halus tubuhnya bergerak itu sungguh memikat diriku, dan semakin jelas bahwa seandainya tidak menahan diri, aku pasti akan menjadi konyol di hadapannya. "Apa yang kamu inginkan?" bisikku, mataku mengamatinya saat aku melihat senyum putihnya menerangi tangga yang gelap. "Tidak ada, aku hanya akan mengurus ini..." Sambil mendekat, dia menarik sesuatu dari sehelai rambut yang tergantung di sisi wajahku sebelum dengan hati-hati menyelipkan untaian itu ke belakang telingaku. "Itulah dia." Napasku tercekat di tenggorokan karena tindakan sederhana itu. Sungguh manis, namun, aku merasa dia menahan sesuatu. "Terima kasih." Balasan yang berbisik meninggalkan bibirku saat jari-jarinya dengan lembut mengangkat daguku, memaksaku untuk menatap matanya. "Kamu tidak perlu berterima kasih kepadaku, Bella. Kapan pun kamu membutuhkan sesuatu ... yang harus kamu lakukan hanyalah meminta. Kamu tahu di mana kantorku. Aku akan membantumu dengan cara apa pun yang kamu inginkan. " Pernyataan itu terasa sangat berdosa, tetapi aku merasa seperti terlalu berpikir berlebihan. Dia hanya bersikap baik. Dia tidak benar-benar menginginkanku, bukan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN